tag:blogger.com,1999:blog-33517905266109591412024-03-08T03:34:23.830-08:00Kisah-kisah MistisKisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.comBlogger111125tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-13979706332745448382008-12-17T22:00:00.000-08:002008-12-17T22:05:44.780-08:00TUJUH TAHUN DALAM CENGKRAMAN SANTET POLONG<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjL635gF7JZPN23OU2OOGcQPoKyXwgAr21H4qiCwAUYFSnGP6XzXxWZA7MWuDtQDN3TnXy1OBDrf2NjgNqPPtuO8t2dTQ3Y2_WRgpQ9v4EKwQzd91ic5AI0g2NHLLv9LfLyvOFQGFD6lSKB/s1600-h/ms.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 283px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjL635gF7JZPN23OU2OOGcQPoKyXwgAr21H4qiCwAUYFSnGP6XzXxWZA7MWuDtQDN3TnXy1OBDrf2NjgNqPPtuO8t2dTQ3Y2_WRgpQ9v4EKwQzd91ic5AI0g2NHLLv9LfLyvOFQGFD6lSKB/s320/ms.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5281007191567039842" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Kisah ini dialami oleh seorang wanita berinisial FN. Tujuh tahun lamanya dia dalam pengaruh ilmu hitam dari Tanah Karo ini. Tercatat sembilan belas orang pintar dan kyai, pernah berjuang untuk mengeluarkan tiga makhluk gaib yang bersemayam dalam tubuhnya. Penderitaan yang berkepanjangan tersebut, akhirnya berakhir setelah dia berumahtangga….<span style="font-weight:bold;"></span></span><br /><br />Kisah ini, bermula saat kepindahanku dan keluarga ke lingkungan Pondok Batuan, Kel. Tanjung Sari, Kec. Medan Selayang, Kota Medan, Sumatera Utara. Peristiwa ini terjadi delapan tahun lalu. Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP, tepatnya di SMPN 41 Medan. Di sekolah, aku dipercaya sebagai sekretaris OSIS. Maklum saja, aku memang sangat hobi berorganisasi. <br />Sekitar dua minggu tingal di Tanjung Sari, aku berkenalan dengan Kak Daning, tetanggaku, yang kemudian menjadi saudara angkatku. Waktu itu, dia sudah duduk di bangku kelas 2 SMU.<br /><span class="fullpost"><br />Suatu ketika, Kak Daning mengajakku bergabung di Remaja Masjid di lingkungan kami, yaitu Ikatan Remaja Masjid (IRMA) Al Ikhlas. Ajakan ini tak mampu kutolak. Malam Rabu itu, aku resmi menjadi anggota IRMA di kampungku. Aku pun berkenalan dengan sesama teman yang bergabung di organisasi ini. <br />Sudah menjadi tradisi bagi anak-anak yang bergabung di IRMA. Jika ada anak perempuan yang baru menjadi anggota, maka tak jarang anak laki-laki berusaha merebut hatinya. Termasuk pula aku. Baru saja menjadi anggota IRMA, malam itu aku diantar oleh banyak anak laki-laki. Jadilah aku layaknya kembang desa. Tiap pulang dari masjid, anak laki-laki banyak yang mencoba mencari perhatianku dengan mengantarku pulang ke rumah. Namun, tak sedikitpun aku menggubris mereka.<br />Di antara sekian banyak anak laki-laki yang mencoba mengambil hatiku, ada seorang pemuda yang sebut saja dengan inisial WN. Ternyata, diam-diam WN memendam rasa cinta kepadaku. <br />WN memang anak orang terpandang di tempat tinggalku. Ayahnya seorang mantan pejabat di salah satu intansi pemerintah. Tapi yang disayangkan, Ibu WN yang sudah bertitel haji diisyukan bersekutu dengan jin. Ibu WN yang akrab disapa Bu Haji ini kebetulan teman pengajian mamaku. <br />Setidaknya ada empat kali WN melayangkan surat cintanya kepadaku. Aku pun kaget bukan kepalang. Dia yang sepatutnya menjadi abang bagiku, karena usianya jauh lebih tua, ternyata memiliki maksud lain. Aku pun menolaknya mentah-mentah. Bukan saja karena aku tak menyukainya, tetapi usiaku pun masih terbilang bau kencur. Ya, waktu itu aku baru 15 tahun.<br />Rupanya, keganderungan WN padaku diketahui oleh ibunya. Suatu hari, sang ibu mengirimkan makanan berupa gulai ikan kakap ke rumahku. Mulanya, tak ada perasaan curiga sedikitpun dari kami sekeluarga. Kami juga tidak menaruh curiga ketika Ibu WN berulang kali mengirimkan hantaran makanan ke rumahku.<br />Anehnya, seminggu setelah hantaran makanan keluarga WN yang terakhir, aku justru menjadi teringat dan selalu membayangkan pemuda yang semula kubenci itu. Entah bagaimana awalnya, perasaanku selalu saja ingin bertemu dengannya. <br />Seminggu kemudian, WN menyatakan perasaannya lagi kepadaku melalui sepucuk surat. Kali ini, aku tak kuasa menolaknya. Sejak saat itu, WN sering menghubungiku. Bahkan hampir tiap malam dia menelponku. <br />Untuk menerima telpon dari WN, aku harus sembunyi-sembunyi. Aku pun terpaksa tidur di kamar belakang agar dapat menerima setiap panggilan telpon darinya. <br />Karena cintaku pada WN, belajar ku pun akhirnya mulai terganggu. Kedua orangtuaku tidak mengetahui apa yang sedang menimpaku. Saat kelulusan, prestasiku benar-benar jatuh. Biasanya rangking pertama, sekarang mendadak jatuh ke peringkat tiga.<br />Mama pun curiga. Dia berusaha mencari tahu penyebabnya. Apalagi mama sangat berharap aku bisa diterima di sekolah favorit di kota ini, yaitu SMUN 1 Medan. Aku pun menceritakan perasaanku kepada mama. Mendengar pengakuanku, mama sangat terkejut, dan menentang keras.<br />Sejak saat itu telepon genggam diambilnya. Aku pun seperti dipingit, tidak boleh keluar rumah. Sementara itu, lambat laun WN dan ibunya tahu dengan sikap kedua orang tuaku. Karena kenyataan ini, Ibunya WN nampaknya menaruh dendam kesumat.<br />Suatu hari, melalui perentaraan salah seorang temannya, WN menyampaikan pesan yang berisi memutuskan hubungan antara kami berdua. Mendengar keputusannya yang tiba-tiba, aku terkejut bukan kepalang. Hatiku benar-benar hancur. Aneh, memang! Padahal, hubungan kami saat itu hanya seperti cinta monyet. Tapi kenapa saat itu aku seperti tengah kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupku. Aku selalu teringat WN. Parahya lagi, aku mulai terbiasa meninggalkan sholat. Aku juga mulai kehilangan gairah hidup.<br />Semua keluargaku, termasuk Kak Daning, kakak angkatku yang mengajakku bergabung ke IRMA, merasa heran dengan keadaanku yang jauh berubah. Karena curiga, papa dan mama membawaku ke orang pintar di kawasan Polonia, Meda. Menurut paranormal tersebut, aku terkena pelet. Setelah meminum air putih yang diberikannya, keadaanku berangsur-angsur membaik. Aku pun dapat melupakan WN.<br />Tanpa disangka dan dinyana, pada saat perayaan ulang tahunku yang ke-17 WN muncul sebagai tamu tak diundang. Dia memberikan kue ulang tahun untukku. Begitu juga dengan ibunya WN. Dia memberi hadiah berupa bahan kain dan satu gelang perak. <br />Karena takut terjadi sesuatu, semua pemberian itu tidak kusentuh sedikitpun. Kue pemerian WN mama berikan kepada orang lain. Sedangkan bahan kain untuk membuat baju serta gelang tersebut, dibakar oleh mama dan papaku.<br />Setahun kemudian, tepatnya saat aku duduk di kelas tiga SMU, aku sudah akrab dengan RK, seorang siswa yang merupakan personil band di sekolahku. Perasaan cinta remaja pun tumbuh secara alamiah. Mungkin karena itu, aku pun semakin bersemangat dan termotivasi belajar. <br />Sama sekali tak kuduga, rupanya hubunganku dengan RK tercium oleh ibunya WN. Wanita yang akrab di sapa Bu Haji ini agaknya kembali membuat ulah dengan dibantu para dukunnya. Efeknya, aku pun sering jatuh pingsang di sekolah. Tak terhitung lagi betapa seringnya aku mengalami hal ini. Aku bahkan pernah dibawa pihak sekolah ke salah satu rumah sakit di kota Medan untuk diperiksa kondisi kesehatanku. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan aku tidak terkena penyakit apa-apa. <br />Karena kejadian ini, mama kembali mengajakku ke tempat Pak Harahap, paranormal yang dulu menyembuhkan penyakitku. Orang pintar ini bilang, aku kembali terkena pelet. Menurut dia, pelet itu berawal dari makanan, pakaian, juga benda-benda lainnya yang aku terima dari si pengirim pelet. Syukur Alhamdulillah Pak Harahap kembali menyembuhkanku. <br />Setamat SMA, aku pun berpisah dengan RK, sebab dia melanjutkan kuliah di UGM, Yogya. Aku sendiri diterima di salah satu Universitas Negeri di kota lain yang masih dekat dengan kotaku.<br />Menginjak semester 2, aku mulai kerasukan lagi. Berawal, pada suatu malam, aku seperti melihat sosok kuntilanak yang sedang berjalan di depan kamarku. Esok paginya, aku menemukan kotoran manusia persis di sebelah jendela kamarku. Nampaknya, ada yang sengaja mengirimkannya. <br />Jam dua siang, aku kembali kerasukan. Seketika itu, pikiranku tertuju pada sosok WN. Anehnya, menurut cerita keluarga, saat tak sadarkan diri, aku mengeluarkan suara tawa seperti laiknya ketawanya kuntilanak. Bahkan, aku juga terkadang berbicara dalam bahasa China.<br />Beberapa hari selanjutnya, aku pun bertingkah seperti seperti laiknya seekor ular. Memang, dalam pandanganku, aku melihat seekor berwarna hijau dan panjang. <br />Tak hanya itu, di saat yang lain, aku juga mengeluarkan suara Begu Ganjang, hantu khas Tanah Karo. Menakutkan sekali.<br />Sejak saat itu, hari-hariku ditemani kerasukan makhluk halus. Aku sempat divonis salah satu anggota keluargaku menderita sakit syaraf. <br />Sampai suatu hari setelah Idul Fitri, saat bersilaturahmi ke rumah nenekku di bilangan Tanjung Mulia, Belawan, Medan, aku kembali diganggu makhluk-makhluk gaib tersebut. Untunglah Mbahku punya pegangan ilmu gaib. Saat keluargaku turun dari mobil, aku justru tidak bisa keluar dari mobil, apalagi berjalan. Sepertinya, makhluk-makhluk gaib itu tahu kalau aku akan singgah di rumah orang yang berilmu. <br />Papa terpaksa menggendongku. Anehnya, tatkala memasuki rumah Mbah, menurut cerita keluargaku, mendadak saja aku tertawa cekikikan mirip kuntilanak. Mbah yang sepertinya faham dengan keadaanku, berusaha melakukan komunikasi dengan makhluk yang bersemayam dalam tubuhku. Beginilah cerita yang dituturkan mama padaku:<br />“Kenapa kamu begitu?” tanya Mbah.<br />Aku pun meronta-ronta seperti sedang kesakitan. Mbah pun melanjutkan pertanyaannya. “Siapa yang melakukan perbuatan terkutuk ini?” <br />Sang makhluk gaib pun menjawab singkat, “Bu Haji!”<br />“Darimana asalmu?” tanya Mbah. <br />Dengan tegas, makhluk itu menjawab, “Aku datang dari Tanah Karo!” <br />“Apa maksudmu?” tanya Mbahku lagi sambil matanya melotot.<br />“Aku akan menghancurka hidupnya! Aku dendam, makanya jadi perempuan jangan sombong!” jelas sang makhluk, jujur.<br />“Dia tidak mau menerima cinta anakmu?” Mbah pun kembali mengorek keterangan darinya. “Lalu kau ini siapa?” tanya Mbah pula.<br />“Aku Begu Ganjang, suruhan Bu Haji!” jawabku dengan lantang.<br />Mendengar dialog Mbah dengan makhluk yang merasuki tubuhku, mama, papa dan keluarga benar-benar terkejut. Mama menangis. Pantaslah, apa yang mama dan papa curiga selama ini, bahwa Bu Haji-lah biang keladinya. <br />Mbah dengan paksa mengeluarkan makhluk tersebut dengan sebilah keris keramat miliknya. Sang Begu Ganjang dan kuntilanak dalam tubuhku pun menjerit keras. Sejurus kemudian, mereka pun pergi dari jasadku walau hanya utnuk beberapa lamasaja....<br />Sialnya, di tengah perjalanan pulang dari rumah Mbah, aku kerasukan lagi. Setelah menelepon Mbah, beliau menyarankan agar aku dibawa ke tempat Buya, seorang guru ngaji di daerah Polonia. Buya berusaha mengeluarkan makhluk-makhluk itu lagi. Ketika ditanya oleh Buya, lagi-lagi jawabnya sama, yakni Bu Haji.<br />Setelah diobati oleh Buya, akupun pingsan sampai keesokan harinya. Buya memberiku sebuah cincin untuk pegangan. <br />Karena masih dalam suasana lebaran, keesokan hariya aku kembali diajak bersilaturahmi ke tempat keluarga mama di Diski, Binjai.<br />Siang hari yang terik itu, tepatnya pas azan Dzuhur, aku kerasukan lagi. Aku kembali diobati oleh orang pintar di sekitar tempat tinggal saudara mamaku. Aku disuruh mandi kembang besoknya, serta menyediakan benang tujuh warna dan kembang tujuh rupa. Benang tersebut kemudian dirajah sang dukun perempuan itu, untuk diletakkan di pinggangku.<br />“Benang tersebut tidak boleh dibuka atau dilepaskan sebelum kau menikah,” suruh sang nenek. Dia juga mengingatkan, jika keluarga Bu Haji memberikan makanan atau apapun, maka jangan sekali-kali diterima. <br />Setelah diobati sang nenek, aku memang sembuh. Selepas liburan panjang, aku pun kembali ke kota tempatku kuliah. <br />Ringkasan cerita, menjelang semester empat, ada seorang laki-laki yang suka padaku. Namanya sebut saja dengan inisial HF.<br />Tatkala HF menyatakan perasaannya kepadaku, beberapa waktu kemudian, aku mulai kerasukan lagi. Bahkan, saat HF mengunjungiku di rumah Tante Erni, tempatku tinggal di kota itu, entah syetan apa yang merasukiku, tibat-iba aku mengusir HF.<br />Sampai akhirnya, aku kembali diobati oleh orang pintar. Kali ini, yang mengobatiku adalah Bu IT, seorang ibu dari teman kuliahku yang kebetulan biasa mengobati orang-orang kerasukan. Bu IT menyuruh keluargaku membuka tali benang yang ada di pinggangku, berikut cincin yang diberikan Buya tempo hari. Alasannya, benda-benda tersebut justru mengikat makhluk-makhluk halus sehingga tetap berada di tubuhku. <br />Malangnya, setelah kedua benda bertuah itu dilepaskan dari tubuhku, justru penyakitku semakin parah. Aku malah kerasukan lagi selama lebih dari satu minggu. Selama itu pula, ada sembilan orang pintar yang mencoba mengobatiku dengan berbagai macam cara yang tidak masuk akal. Salag satunya menyuruhku merangkak seperti binatang.<br />Sampai akhirnya, Tante Erni menemukan orang pintar di pedalaman hutan yang jauh dari kota. Orang tersebut menyuruh mamaku mengambil kopi pahit, bawang putih dan daun kelor untuk dimandikan di sekujur tubuhku. Pada saat mengobatiku, orang tua ini mendapat serangan bertubi-tubi dari makhluk jahat yang bersemayam di tubuhku.<br />Atas saran orangtua ini, mama dan papa diperintahkan untuk berdzikir semalam suntuk membantu pengobatanku. Katanya, kalau mendengar bisikan atau sesuatu yang aneh jangan dihiraukan agar pengobatanku berhasil. <br />Diceritakan, sekitar pukul dua dinihari, mama dan papa mendengar suara letupan diatas atap rumah. Namun mereka tetap berdzikir. Seiring dengan suara letupan tadi, orang tua yang mengobatiku juga mendapat hantaman sehingga dadanya mendadak sakit.<br />Besoknya, orang tua tersebut mencari benang tujuh warna. Dia juga menyiapkan bunga macan kerah, bunga tujuh rupa dan daun jengkol. Semua digunakan untuk memandikanku. <br />Syukur Alhamdulillah, setelah pengobatan ini aku dapat kembali menjalankan aktivitasku sehari-hari.<br />Sekitar lima bulan kemudian, aku berkenalan dengan seorang calon dokter berinisial FS. Begitu gembiranya aku tatkala dia berniat melamarku. Namun, saat FS mau lamaranku, maka begitu banyak halangan yang menghadang hingga orangtuaku tidak mengijinkan hubunganku dengan FS.<br />Karena kecewa aku histeris hingga aku jatuh pingsan. Tekanan darahku hanya di angka 40. Hal ini membuat semua dokter yang merawatku terkejut. Mereka sangat tidak menyangka dengan tekanan darah yang sangat rendah itu aku masih bisa bertahan hidup, bahkan kemudian sehat kembali.<br />Kejadian aneh terus saja menimpaku. Saat aku menjadi panitia OSPEK di kampus, aku kembali kerasukan. Aku dibawa pulang ke rumah oleh teman-temanku. Di rumah, selama tiga hari berturut-turut aku terus kerasukan. Keluargaku kembali memanggil orang pintar yang berada di pedalaman yang pernah mengobatiku beberapa waktu lalu.<br />Namun, kali ini tak berhasil membuatku sembuh. Karena itulah aku kemudian diobati oleh Ustadz AP namun juga tak kunjung sembuh. <br />Di Medan, aku juga sempat diobati oleh Pak Sabirin yang tinggal dibilangan Tanjung Sari. Oleh Pak Sabirin, aku dimandikan dengan bunga kembang macan kerah selama tiga hari berturut-turut. Setelah ritual pun digelar. Pak Sabirin mencoba mengeluarkan makhluk jahat yang bersemayam di tubuhku. Makhluk yang telah mendarah daging tersebut yang pertama berupa siluman ular. Mama dan papa turut menyaksikan proses penarikan makhluk itu. <br />Tiga hari kemudian, aku kembali diobati Pak Sabirin. Malam terakhir, setelah mandi, orang tuaku diperintahkan untuk menjagaku agar aku tidak disetubuhi oleh Begu Ganjang.<br />Di malam terakhir ini, antara sadar dengan tidak, tiba-tiba pandanganku gelap. Sepertinya ada yang mau menindihku. Astaghfirrullah! Aku melihat makhluk yang sangat menakutkan. Tubuhnya hitam berbulu, dan dia berusaha menindihku. Aku pun menjerit. “Jangan!” <br />Teriakanku ini membuat cemas papa dan mama. Mereka segera membacakan ayat Qursyi berulang-ulang untuk melindungiku. Hingga akupun terjaga, dan tidak tidur sampai pagi. <br />Esok paginya, kami datang ke tempat Pak Sabirin. Ritual pengusiran Begu Ganjang pun digelar. Sang Begu mencoba melawan Pak Sabirini.<br />“Aku tidak mau pergi! Karena aku telah diberi makan oleh majikanku,” tolak sang makhluk.<br />“Siapa majikanmu?” tanya Pak Sabirin.<br />“Aku sudah berjanji dengan Bu Haji, kalau aku pergi dari tubuh anak ini, maka aku akan mati! Tetapi, sebaliknya, jika aku bertahan dalam tubuh anak ini, maka dia tidak akan bertahan hidup lama,” lata Begu Ganjang seolah-olah dia Tuhan.<br />Tiba-tiba suaraku mendadak berubah menjadi seorang perempuan. Menurut cerita mama, itu suara kuntilanak yang memakai tubuhku. <br />“Sebenarnya aku kasihan dengan anak ini. Hidupnya terombang-ambing bahkan terancam mati! Jodohnya tertutup! Inilah perjanjian kami dengan majikan kami.” <br />Mendengar pengakuan dua makhluk tak kasat mata ini, Pak Sabirin tertawa seolah mengejek mereka. “Banyak kali cakap kau ini!” katanya dengan logat Medan. “Cepatlah kau pigi, atau aku keluarkan kau dengan paksa!”<br />Begu Ganjang pun berontak dan mengultimatum, “Aku tidak akan keluar! Aku selamanya akan ada dalam tubuh anak ini!” <br />Mendengar ancaman tersebut, Pak Sabirin pun menyangkal, “Makhluk bodoh! Sebentar lagi majikanmu akan jatuh miskin dan melarat akibat perbuatannya sendiri. Dan kau tidak akan diberi makan lagi olehnya. Dan santet yang ada di tubuh anak ini akan kukembalikan padanya.” <br />Akhirnya, Pak Sabirin berhasil mengeluarkan dua makluk tersebut. Alhamdulillah, aku pun kembali pulih. Aku dapat mengikuti ritual mandi kembang selama tiga hari. Hari keempat, aku kembali datang ke tempat Pak Sabirin untuk mencabut pengaruh santet.<br />“Bu Haji menggunakan media foto anak ini dan sebuah boneka kecil,” jelas Pak Sabirin kepadaku, mama, juga papa.<br /> “Santet apa gerangan yang melanda puteri saya?” tanya mamaku.<br />Pak Sabirin menjelaskan dengan rinci, “Inilah yang namanya Santet Polong. Makhluk-makhluk ini memang sudah mendarah daging dalam tubuh anak ibu. Kalau pun nantinya sembuh, dia rentan kena santet, pelet dan sejenisnya. Kecuali pagar dirinya cukup, rajin sholat dan meminta perlindungan kepada Allah SWT.”<br />Singkat cerita, seperti kata pepatah: “Barang siapa yang menanam, maka dialah yang akan menuai hasilnya.” Sekecil biji zarahpun perbuatan manusia, niscaya Allah SWT akan membalasnya. Itulah kenyataan yang terjadi kemudian. Bu Haji, kini hidupnya melarat. Banyak sekali musibah yang menimpa keluarganya. Kabarnya, Bu Haji pun sering jatuh sakit. <br />Itulah pembalasan dari Allah SWT terhadap manusia yang mendzalimi sesamanya, bahkan melakukan perjanjian dan bersekutu kepada iblis. Semoga kita semua dapat bercermin dari kejadian ini.<br />Dan kini, saat menuturukan kisah ini, Alhamdulillah, aku telah menjalani hidup berumah tangga. Aku menikah di penghujung 2007 lalu. Dengan demikian, tepat tujuh tahun aku dalam nestapa akibat kekuatan setan Santet Polong.<br />Suamiku adalah seorang ustadz. Dia senantiasa membimbingku untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT. Kami pun tengah berbahagia menanti kelahiran sang buah hati. Dengan sholat dan banyak membaca Al-Qur’an, semua hambatan gaib yang menimpa diriku, Alhamdulillah sudah dapat kulalui dengan selamat.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com99tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-4056522412479432042008-12-17T21:54:00.000-08:002008-12-17T21:59:36.042-08:00DIPERKOSA JIN DARI BAGHDAD<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuTmweOb4u5PBmFDhgfeXcbpsXpNeDKWt_s3g_K2oSqDk2o9YIoaVe1LVK_NTj0xf8JHxGB2gnzmXgVKcTZfgsRHuzVEIrNuXHz42n7us3rhBlkgflAIwsdmyxIAfJ6hdrHvY1mWMgpQQ7/s1600-h/ms.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 198px; height: 215px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuTmweOb4u5PBmFDhgfeXcbpsXpNeDKWt_s3g_K2oSqDk2o9YIoaVe1LVK_NTj0xf8JHxGB2gnzmXgVKcTZfgsRHuzVEIrNuXHz42n7us3rhBlkgflAIwsdmyxIAfJ6hdrHvY1mWMgpQQ7/s320/ms.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5281005674382151266" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Biasanya, yang memerkosa itu adalah pihak laki-laki. Tapi, dalam kisah musykil ini ada dua sosok jin perempuan yang nekad memperkosa seorang lelaki dari bangsa manusia. Seperti apakah jalinan kisahnya…?</span><br /><br />Setelah merantau sebagai TKI di Iraq, negeri yang penuh dengan desingan peluru akibat konflik berkepanjangan antara warga Suni dan Syiah pasca invasi AS dan sekutunya, syukur Alhamdulillah akhirnya aku dapat pulang juga ke Indonesia. Betapa bahagia hatiku karena bisa kembali ke tanah kelahiran. Di kampung halamanku, kedua orang tua dan keluargaku telah lama menantiku. Sejak AS menyerbu Iraq untuk menggulingkan Saddam Hussein, bisa dikatakan seluruh keluargaku tidak bisa tidur nyenyak. Mereka begitu mengkhawatirkan keadaanku, yang hidup di tengah-tengah medan konflik peperangan yang amat panjang.<br />Sebulan sejak kepulanganku, aku menikahi seorang gadis cantik. Gayatri namanya. Dia adalah cinta pertamaku sejak kami masih sama-sama SMA dulu. Walau selama bertahun-tahun kami berpisah, Gayatri tetap setia menantiku. Dia memang pernah bersumpah untuk selalu menantiku sampai kapan pun. Gayatri telah menepati janjinya.<br /><span class="fullpost"><br />Pesta pernikahan kami sengaja kami langsungnya dengan sederhana. Setelah menikah, dengan tabungan yang kudapatkan dari tanah rantau, aku membeli beberapa sawah, tanah dan rumah yang sederhana, juga sebuah mobil angkut untuk bekerja mencari penumpang dari Ciledug menuju Semanan, Jakarta Barat, dan sebaliknya.<br />Suatu hari, tepatnya 15 Oktober 2008 silam, aku mendapat musibah. Mobil angkot yang kumiliki, tiba-tiba rusak dan ngadat. Dengan susah payah, aku mendereknya ke bengkel. Tepat saat terik matahari memanggang bumi, aku bermandi peluh mengurusi mobil yang ngadat itu. <br />Karena mobil yang ngadat, aku yang biasanya bisa mendapatkan uang ratusan ribu rupiah sekali tarik, hari itu sama sekali tidak berpenghasilan sepeserpun. Bahkan uang untuk belanja isteriku juga tidak terpenuhi. Naas benar nasibku hari itu. <br />Ketika sampai di rumah, hari sudah sore. Aku menemukan kucing kesayanganku terkapar di depan pintu. Entah kenapa kucing itu tak bernyawa lagi. Aku menduga dia makan racun tikus di rumah tetangga.<br />Saat aku tiba sore itu, isteriku sedang menidurkan buah hatiku yang masih berumur dua minggu. Karena itulah dia tidak bisa menyambut kedatanganku seperti biasanya.<br />Setelah mandi, aku masuk ke kamar. Aku memutuskan segera tidur, dan mengunci kamar tidurku dari dalam. Isteriku yang sudah kenal dengan watakku semenjak SMA, memahami gelagat yang kurang baik. Ia tahu, suaminya sedang gundah dan tidak mau diganggu. Bahkan terpaksa melepas shalat Maghrib dan Isya.<br />Malam telah larut, seisi rumah di sisi jalan tol Jakarta – Merak itu telah terbuai mimpi masing-masing. Anak semata wayangku yang biasanya rewel, malam itu pun tenang dalam dekapan ibunya.<br />Sementara di kamar ruang tengah, tempatku tidur dengan mengunci diri, aku merasa ada sesuatu yang semakin aneh. Antara sadar dan tidak, aku melihat pintu kamarku terbuka. Tak lama setelah itu, kulihat dua sosok wanita berwajah cantik melangkah gemulai menghampiri danjang tua tempat aku terbaring.<br />Di mataku, salah seorang wanita yang berjalan di depan adalah Maryam, nyonya majikanku saat aku bekerja di Iraq sana. Di belakangnya adalah Umi, puteri tunggal Nyonya Maryam yang cantik jelita. Aku sendiri masih bingung mengapa tiba-tiba kedua wanita itu ada di hadapanku.<br />Dengan senyum menggoda, dua wanita itu mendekati tempat tidurku. Kemudian duduk di bibir ranjang. Anehnya, di saat yang aku tak lagi merasakan kalau saat itu ada di dalam kamar rumahku yang temboknya belum diplester. Kamar itu sepertinya begitu indah, harum semerbak. Kedua wanita itu juga begitu menggodaku.<br />Singkat cerita, terjadilah hubungan intim seperti laiknya suami isteri. Dengan jantan aku bisa memuaskan kedua wanita itu. <br />Beberapa saat setelah persetubuhan itu, aku merasa sangat lelah dan kehabisan tenaga. Aku mengira, kedua wanita itu benar-benar bekas bosku di Iraq sana. Tapi, apa mungkin?<br />Pagi harinya, aku terduduk lemas di pinggir ranjang, mencoba mengingat-ingat peristiwa yang baru terjadi. Dan aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, bahwa kejadian itu hanyalah mimpi. Tapi, betapa kagetnya diriku, saat sekujur tubuhku telanjang bulat dan tidak ada sehelai kain pun yang menutupinya. Sarung dan celana dalam yang semalam aku kenakan, sudah terlepas dan berserakan di atas tempat tidur. <br />Aku ragu, apakah yang barusan kualami adalah sebuah mimpi? <br />Aku mencoba meluruskan kedua kakiku. Kuamati seluruh tubuhku sampai pada bagian bawah perut. Di saat melihat (maaf) bagian sensitif di selengkanganku aku pun dibuat terkejut. Bagaimana tidak? Karena kulihat bulu-bulu kemaluanku hilang, bersih seperti dicukur plontos.<br />Akhirnya aku yakin, peristiwa itu adalah nyata. Aku yakin, Maryam dan Umi benar-benar datang ke kamar dan melakukan semua itu. Buru-buru aku bangkit dan keluar dari dalam kamarku.<br />“Ayah! Apa-apaan kamu ini?” tanya isteriku terperanjat.<br />Aku yang terkejut bingung beberapa saat, sampai akhirnya aku sadar. Ternyata, ketika keluar kamar aku masih dalam keadaan polos, tak secuil kain pun menutupi tubuhku. Untung di dekat pintu ada handuk yang tersangkut di kursi makan. Segera saja aku menyambar handuk tersebut dan melilitkannya di tubuhku.<br />“Memangnya ada apa, ayah menggedor-ngedor pintu dan berkelakuan aneh seperti itu?” tanya isteriku lagi.<br />“Aneh...aneh gimana. Kamu itu yang aneh. Mana tamu kita?’ aku malah balik bertanya.<br />“Tamu siapa?” Gayatri menatapku.<br />“Tuan puteri Maryam dan anak gadisnya. Mereka mencukur bulu kemaluanku?”<br />“Apa? Mereka mencukur bulu anumu? Bulu apaan? Ayah yang bercanda, mana mungkin nyonya besar, bekas juragan ayah datang ke sini hanya untuk mencuku bulu anumu? Lagian jarak Iraq dan Indonesia itu sangat jauh. Ayah jangan bercanda, masih pagi,” jawab isteriku merepet seperti petasan.<br />Mendengar jawaban Gayatri, aku semakin dibalut oleh rasa heran. Mendadak pikiranku melayang tak karuan, bulu kudukku berdiri meremang disertai munculnya keringat dingin.<br />“Jangan-jangan ada makhluk halus yang menjelma menjadi nyonya dan anaknya. Dan mereka memaksaku untuk melakukan hubungan itu. Aku benar-benar tidak tahu,” kataku dalam hati.<br />Dalam keadaan bingung, aku menuju kamar mandi untuk mandi junub. Ketida sedang jongkok untuk buang air kecil, aku merasa ada yang aneh. Air seni yang keluar membuyar kemana-mana, mengenai kedua pahaku. <br />Kemudian aku mengambil air segayung untuk membersihkannya. Kali ini aku benar-benar kaget dan nyaris pingsan. Tangan kiri yang kugunakan untuk membersihkan penisku, tidak menemukan apa-apa. Benda milikku yang paling berharga itu telah hilang entah kemana.<br />“Ya Allah, apa yang terjadi denganku?” cetusku dalam hati. Lalu, aku berteriak memanggil isteriku,”Gayatri, lihatlah kemari!”<br />Gayatri datang. Dia mendorong pintu kamar mandi dan terpana melihatku. <br />“Alat vitalku benar-benar tidak ada, seperti terdorong masuk ke dalam. Bahkan aku merasa ada kekuatan yang menarik-nariknya dari dalam,” ucapku lirih. Gayatri berubah pucat wajahnya.<br />Sejak kejadian itu, aku berubah menjadi pemurung. Jujur saja, aku sangat terpukul sekali dan berubah menjadi pemarah. Tidak berselara makan, bahkan malas melakukan sholat. Pikiranku kalut, tidak tenang dan terombang-ambing. Aku sering dihantui bayang-bayang yang berkelebat, dan suara-suara aneh dalam bahasa Arab.<br />Berhari-hari aku tidur sendirian, tidak mau ditemani oleh siapapun, bahkan oleh isteriku. Selama 20 hari, aku mengalami tekanan psikologis yang dahsyat, meski secara fisik, aku tampak sehat dan baik-baik saja. Artinya, aku masih dapat melaksanakan kewajiban menarik angkot, walaupun hanya sebentar.<br />Anehnya, seiring dengan itu penghasilanku malah meningkat dua kali lipat dibanding penghasilan sebelumnya. Entah apa yang terjadi sebenarnya.<br />Untuk memulihkan keadaanku, maksudnya agar kejantananku kembali normal, aku dan Gayatri sudah mendatangi beberapa orang pintar untuk minta bantuan. Menurut Bapak S, seorang paranormal dari Cengkareng, Jakarta Barat, menyatakan bahwa aku masih berada di bawah pengaruh jin yang memperkosaku. Dia menyebut jin itu datang dari Baghdad dab sudah lama nengincarku.<br />Kemudian, si paranormal yang ahli Ilmu Hikmah ini memberi air yang sudah di doakan olehnya. Aku dianjurkan agar beristighfar sebanyak 1000 kali sehari semalam. <br />“Kalau Anda sudah minum air ini dan mengamalkan Istighfar, insya Allah, berangsur-angsur Anda akan kembali tenang, mampu mengendalikan jin-jin itu, tetapi alat vital belm normal seperti dulu,” kata paranormal itu.<br />Seminggu setelah itu, ternyata tidak ada perubahan yang cukup berarti, kemudian mertuaku membawaku ke Pandeglang, Banten. Dia pernah mendengar, di sana ada seorang haji yang mampu menangani kasus-kasus seperti yang kualami. <br />Singkat cerita, aku pergi ke Pandegleng dan berobat pada Haji dimaksud. Haji tersebut memberiku air putih yang dicampur dengan garam halus. Setelah dibacakan doa-doa, sebagian air itu kuminum dan sebagiannya lagi disiramkan di sekitar halaman rumahku. <br />Setelah tiga hari, kondisiku kembali normal. Akupun bisa tersenyum lepas. Kemudian mertuaku menganjurkan agar aku melakukan selamatan kecil-kecilan sebagai tanda syukur atas terhindarnya diriku dari godaan jin yang berasal dari Baghdad, negeri seribu satu malam.<br />Kisah ini memang hampir-hampir musykil. Tapi, aku sungguh-sungguh mengalaminya beberapa waktu lalu.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com52tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-54017709873825713892008-12-17T21:43:00.000-08:002008-12-17T21:54:08.042-08:00GUNA-GUNA PERUSAK CINTA DAN MALAM PERTAMA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgC-en6XzYN4-wIc6AF5NMExfGq8qsgwK2zhUCipGixm6RjkRIUlQYnCmmKXhgHlnV6MlrjNaMer_rnS8N3wZkMaPxHwej5hZt2gKovhFRSVDH5Qlzfh86WewoZPAAwHK2wfQYTRdS33u_/s1600-h/ms.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 225px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgC-en6XzYN4-wIc6AF5NMExfGq8qsgwK2zhUCipGixm6RjkRIUlQYnCmmKXhgHlnV6MlrjNaMer_rnS8N3wZkMaPxHwej5hZt2gKovhFRSVDH5Qlzfh86WewoZPAAwHK2wfQYTRdS33u_/s320/ms.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5281004262276040882" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Namanya, Guna-guna Gagap Mulut dan Guna-guna Layu Penis. Keduanya efektif untuk merusak keindahan cinta dan malam pertama. Dengan Guna-guna Gagap Mulut, mempelai pria tidak akan bisa mengucapkan ikrar pernikahan. Dan, kejantanannya akan loyo karena Guna-guna Layu Penis....</span><br /><br />Eksistensi ilmu-ilmu gaib sebaiknya jangan dianggap omong kosong belaka. Seperti yang tumbuh di kalangan masyarakat Melayu Langkat. Mereka, terutama yang tinggal di lingkungan pedesaa, pasti mengenal apa yang disebut Guna-guna Gagap Mulut dan Layu Penis. Biasanya, kedua ilmu gaib ini dipergunakan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab, atau karena sakit hatinya, untuk “meracuni” pasangan suami isteri pengantin baru. Guna-guna Gagap Mulut dilancarkan pada hari pernikahan, sedangkan Guna-guna Penis Layu dikirim menjelang malam pertama atau bulan madu. <br />Menurut cerita-cerita yang tumbuh di kalangan masyarakat Melayu Langkat, di zaman dahulu, kedua jenis guna-guna ini kerap menimpa setiap pasangan pengantin baru. Ada saja orang yang usil, lalu meminta dukun untuk mengirimkan guna-guna kepada pengantin baru. Memang, guna-guna ini tidak berlaku pada pasangan yang sudah lama menikah.<br /><span class="fullpost"><br />Media yang dipergunakan untuk mengirimkan Guna-guna Gagap Mulut adalah dengan mengurung seekor kodok dalam tempurung kelapa. Ada juga yang menggunakan media berupa tikar bekas. Tikar dilipat kemudian dijahit. <br />Dengan media kodok dikurung dalam tempurung kelapa, atau tikar bekas yang dilipat dan dijahit, maka saat prosesi ijal kabul sang mempelai pria dijamin tidak akan bisa menjawab ijab dari wali. Lidahnya menjadi kelu seperti terkunci. Makanya itu disebut Guna-guna Gagap Mulut. Mantera dan prosesi ritualnya sebenarnya sangat sederhana. Nah, untuk alasan takut disalahgunakan, maka Penulis sengaja menyimpannya rapat-rapat. <br />Masih menurut cerita, di zaman dulu, banyak remaja yang bisa mengerjakan Guna-guna Gagap Mulut ini. Tapi seiring perkembangan zaman, sekarang ini ilmu gaib tersebut sudah langka yang menguasainya. Mungkin, hanya dukun-dukun tertentu saja yang bisa mengerjakannya. Itupun jumlahnya tinggal beberapa orang saja.<br />Dengan Guna-guna Gagap Mulut, biasanya pada saat mempelai laki-laki hendak menjawab ijab lidahnya menjadi gagap. Meskipun sudah berulangkali diajari oleh penghulu atau naib, tetapi saja saja dia tidak bisa menjawab ijab. <br />“Pernah terjadi, setelah lima jam prosesi pernikahan berlangsung, tapi mempelai laki-laki tidak juga bisa menjawabnya, dukun kampung diminta bantuannya guna mengusir pengaruh dari Guna-guna Gagap Mulut,” kata sumber Penulis yang enggan disebut identitasnya.<br />Oleh sang dukun, si mempelai pria dimandikan dengan air yang diambil dari sembilan sumur dan bunga sembilan warna. Tiap-tiap sumur warga di kampung diambil airnya satu timba kemudian dikumpulkan dalam satu ember besar. <br />Sang dukun kampung membacakan mantera. Setelah itu baru air tersebut dipergunakan untuk mandi. <br />Apakah setelah mandi sang mempelai pria sembuh dari pengaruh Guna-guna Gagap Mulutnya? Ternyata belum. <br />Mandi itu hanya membuka jalan menuju tempat kuncian. Proses penyembuhan berikutnya, sang dukun kemudian mencari kodok yang terkurung dalam tempurung atau tikar yang sengaja dijahit lipatannya. <br />Setelah kodok dilepas dan jahitan tikar ditetas, barulah sang mempelai pria terbebas dari pengaruh Guna-guna Gagap Mulut. Selanjutnya dia dapat mengucapkan ijab qabul dan dua kalimah syahadat dengan lancar.<br />Menurut cerita Pak Yunus, kakek berusia 77 tahun, kodok yang sengaja dikurung dalam tempurung kelapa atau tikar dilipat lalu dijahit, sebenarnya hanya sebagai mediasi agar seperti itulah keberadaan mempelai pria. Dia seperti berada dalam tempurung kelapa, bingung dan tidak tahu harus berkata apa, dan mulutnya juga terkunci seperti tikar tadi.<br />“Yang bekerja menggerakkan guna-guna ini sebenarnya Jin Kafir. Dengan membaca beberapa bait manteranya, Jin Kafir itu dapat dipanggil untuk dimintai bantuannya,” terang Pak Yunus, yang mangaku masih sedikit ingat bacaan mantera ilmu gaib ini. “Tapi, sebaiknya jangan digunakan. Resikonya besar,” tegasnya ketika Penulis menyalin mantera dimaksud. Tentu saja Penulis menyanggupinya.<br />Masih menurut pengakuan Yunus, dirinya termasuk salah seorang yang pernah menjadi korban Guna-guna Gagap Mulut dan Layu Penis. Dikisahkan, saat dirinya menikah di usia 20 tahun, dan isterinya, Delima, berusia 16 tahun, memang banyak teman sebayanya yang iri hati. Calon isterinya yang cantik jelita itu diam-diam ditaksir banyak pemuda di desanya. Ada yang terus terang mengutarakan rasa cintanya, ada pula yang hanya diam-diam. <br />Di antara sekian pria yang menyatakan cintanya, hanya Yunus yang dipilih Delima untuk menjadi pendamping hidupnya. Pilihan Delima membuat pria yang selama ini mencintainya menjadi patah hati.<br />Delima memilih Yunus bukan tanpa pertimbangan. Pemuda ini selain berwajah tampan, juga sangat rajin bekerja dan sopan pada orang tua. Orang tua Delima sendiri merestui pilihan anaknya. <br />Tanpa diketahui oleh Yunus, ternyata ada Hasan, salah seorang pemuda kampung yang patah hati. Cintanya yang tulus ditolak mentah-mentah oleh Delima. Penolakan itu menimbulkan luka yang sangat dalam.<br />Ketika hari pernikahan Yunus dan Delima dilangsungkan, Hasan rupanya meminta Atok Uncu untuk mengguna-gunai Yunus. Permintaan itu dikabulkan Atok Uncu. Pada saat bersamaan, datang Budin. Pemuda ini bernasib sama dengan Hasan. Cintanya yang tulus hanya tertepuk sebelah tangan. Delima menolak mentah-mentah cinta pertamanya. Perasaan sakit hati mendorong Budin untuk menggunai-gunai Yunus di hari perkawinannya. <br />Pada mulanya, Budin berencana ingin mengguna-gunai Yunus dengan Guna-guna Gagap Mulut. Karena Hasan telah memilihnya, Budin memutuskan untuk mempergunakan Guna-guna Layu Penis.<br />Apa yang kemudian terjadi?<br />Di hari pernikahan itu, Yunus tampil percaya diri. Ucapan ijab qabul sudah dihafalnya selama satu minggu lebih. Tapi, keanehan terjadi. Menjelang lima menit akan dilangsungkan acara akad nikah, tiba-tiba Yunus merasa ada keanehan dalam dirinya. <br />Ya, Yunus merasa seolah-olah berada dalam kurungan penjara. Suasana di sekitarnya terasa gelap dan pengap. Lidahnya kelu tidak dapat digerakkan. Ketika Naib mengucapkan ijab, “Yunus, aku nikahkan engkau dengan Delima binti Rustam dengan maskawin berupa cincin seberat emas empat gram.” Yunus gagap menjawabnya. “Sa...sa...sa...!” Dia tidak dapat meneruskannya. Ia hanya bisa berkata seperti itu.<br />Naib kembali mengulangi kalimat yang sama, Yunus kembali menjawab gagap seperti jawaban pertama. Hal itu terjadi berulangkali bahkan sampai ratusan kali. Namun Yunus tetap gagap tidak dapat menjawab ijab qabul. Badannya basah oleh keringat dingin, dan naib akhirnya menyerah.<br />“Yunus...diguna-gunai orang!” komentar, ibunya sedih.<br />“Siapa yang tega mengguna-gunai Yunus, Makcik?” tanya anak keponakannya.<br />“Entahlah!” jawabnya.<br />Karena keadaan ini akhirnya pelaksanaan akad nikah ditunda. Keluarga mempelai wanita pergi ke rumah seorang dukun untuk meminta bantuan. Di kampung itu, penduduk memang tidak sulit mencari dukun yang dapat menghilangkan pengaruh Guna-guna Gagap Mulut. <br />Setiap ada kasus seperti ini, Atok Uncu diduga pelakunya. Karena ialah yang ahli mengerjakannya. Dia yang membuatnya, dan dia pula yang menyembuhkannya. Semua orang di kampung ini sudah tahu. Semuanya semata-mata demi uang! <br />Oleh Atok Uncu, Yunus dimandikan dengan air berasal dari sembilan sumur dan dicampur dengan bunga sembilan warna. Selesai melakukan mandi air bunga dan kodok dalam tempurung dibebaskan, acara akad nikah kembali dilanjutkan. Yunus merasa segar dan percaya diri. Ijab yang diucapkan wali dapat dijawab dengan lancar olehnya. <br />Kedua belah pihak keluarga mempelai merasa bergembira. Ibu Yunus bahkan melakukan sujud syukur, karena akad nikah telah terlaksana. <br />Kedua pasangan pengantin baru telah sah menjadi suami isteri. Pukul 22.00, tidak ada lagi tamu undangan yang datang. Suasana di tempat pesta terlihat sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih berjaga-jaga. Pasangan pengantin baru sudah berada dalam kamar. Delima nampak malu-malu mau. Yunus mulai terlihat nakal. Jemarinya liar menyentuh bagian tubuh Delima yang sangat sensitif. Delima menepis tangan suaminya.<br />“Jangan malam ini, Bang!” rengeknya, manja.<br />“Kenapa?” tanya Yunus.<br />“Masih banyak orang. Malu di dengar mereka,” jawab Delima memberikan alasan.<br />“Mereka semua sudah tidur kelelahan.”<br />Yunus tidak memperdulikan permintaan isterinya. Ia semakin agresif seperti seorang gitaris memainkan senar gitarnya. Delima akhirnya menyerah. Serangan dari Yunus dibalasnya. Nafasnya naik turun dan dia sudah siap untuk melakukan permainan yang sesungguhnya. <br />Tetapi, begitu Yunus hendak melakukan serangan pertamanya, dia merasakan seolah-olah berada diatas batang kayu yang licin, dan Mr. P nya seperti daun layu. Berulangkali dia terpeleset dari atas tubuh Delima, jatuh di sisi kanan atau sisi kiri tubuh isterinya yang elok itu. Hal ini terus berulang kali hingga subuh. <br />Malam itu, Yunus gagal menjalankan kewajibannya sebagai seorang sumai. Dia kecewa, dan Delima pun sebenarnya merasakan hal yang sama.<br />“Abang mungkin diguna-gunai orang!” kata Delima.<br />“Siapa yang sampai hati mengerjai Abang?”<br />“Abang tanya saja pada Atok Uncu saja,” jawab Delima. Dia menyarankan agar besok pagi pergi ke rumah Atok Uncu. Karena hanya hanya kakek itu yang dapat menghilangkan pengaruh guna-guna yang dialami Yunus. <br />Tapi, Yunus mengabaikan saran dari Delima. Dia berharap malam kedua perkawinannya tidak lagi mengalami peristiwa seperti malam kemarin.<br />Ternyata, Yunus masih juga mengalami peristiwa yang sama. Berulangkali Mr P-nya harus tergelincir dan terkulai tidak berdaya saat menembus benteng pertahanan Delima. Yunus menjadi frustasi. Dia seperti seorang petinju KO di sudut ring.<br />Guna-guna Layu Penis bisa berlangsung selama berminggu-minggu. Bahkan bila tidak diobati bisa berlangsung sampai setahun. Media yang digunakan untuk guna-guna ini adalah seekor kodok yang sedang birahi. <br />Setelah ditangkap, kodok jantan diikat kaki kirinya. Kodok betina berada didepannya. Dibuat jarak agar kelamin kodok jantan tidak bisa menyentuh kelamin sang betina. Setelah dibacakan mantera, kodok itu diletakkan dibawah tempat tidur sang dukun.<br />Kodok diibaratkan pengantin laki-laki dan perempuan sedang berhubungan intim. Dalam keadaan kaki terikat, tentu kodok jantan tidak dapat menyalurkan nafsu birahinya. Demikianlah yang dialami Yunus.<br />“Kalau aku tidak menuruti saran isteriku menemui Atok Uncu, mungkin selamanya aku tidak akan bisa melakukan tugasku sebagai suami,” kenang Pak Yunus dengan sorot mata menerawang masa lalunya.<br />Lima puluh tahun kemudian dari perkawinan mereka berdua menghasilkan sepuluh anak, empat laki-laki dan lima perempuan. Puluhan orang cucu pun sudah memanggilnya Kakek. Kini, Yunus dan Delima, isterinya, mencoba menikmati kebahagiaan hidup d ihari tua dalam kesehajaan.<br />Menurut cerita Yunus, guna-guna yang dulu pernah dia alami memang sudah langka. Tidak banyak lagi orang yang menguasainya. Apalagi guna-guna tersebut bersekutu dengan Jin Kafir yang menyesatkan. <br />Tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi membuat timbul kesadaran untuk berpikir secara realitis dalam menghadapi kenyataan. Selain itu, di zaman sekarang ini pandangan remaja tentang cinta sudah bergeser dari cinta suci abadi menjadi cinta materi dan birahi. Putus cinta, kemudian mencari cinta yang baru menjadi hal biasa. Berbeda dengan zaman dahulu. Cinta dibawa sampai mati.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com25tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-44134938427730610862008-12-01T21:05:00.000-08:002008-12-01T21:09:36.510-08:00BALAS DENDAM KUNTILANAK<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcRZPxBOaKwvauMAk-U4LKHx2M_uvlqS4FFIDPWi5jI6bjqIYxxBvkVnpPg-9EabI8saGdAMjDzKQwzJ1c1IkC9KX_mp5DiApFo9z_63t9p4X9O3QlTmDUqJrCyGzRxZfFZDozUAK8Z0DM/s1600-h/lp96.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 203px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcRZPxBOaKwvauMAk-U4LKHx2M_uvlqS4FFIDPWi5jI6bjqIYxxBvkVnpPg-9EabI8saGdAMjDzKQwzJ1c1IkC9KX_mp5DiApFo9z_63t9p4X9O3QlTmDUqJrCyGzRxZfFZDozUAK8Z0DM/s320/lp96.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275055438464398306" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Jakarta tempo dulu adalah sebuah perkampungan yang masih asri, penuh dengan pohon-pohon yang besar dan rindang. Sebuah kisah mistis terjadi di kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Kisah tentang seorang ibu yang mati dalam keadaan hamil tua dan arwahnya menjelma menjadi sosok Kuntilanak….</span><br /><br />Sosok kuntilanak sekarang ini menjadi primadona dalam sinetron maupun film layar lebar. Dalam tayangan sinematografi, umumnya digambarkan sang kuntilanak umumnya digambarkan sebagai sosok arwah penasaran yang membalas dendam pada orang-orang yang pernah mencelakainya sewaktu dia masih hidup sebagai manusia. Entah kebetulan atau tidak, peristiwa yang saya ceritakan ini persis seperti kisah dalam film, yakni tentang sosok kuntilanak atau pocong yang ingin balas dendam kepada mereka yang telah mencelakai dirinya.<br />Kejadiannya memang sudah cukup lama, yakni pada tahun 50-an, dan berlangsung di daerah Senayan, Jakarta Selatan. Waktu itu saya (Penulis) masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) atau yang sekarang disebut SD. <br /><span class="fullpost"><br />Perlu diketahui, pada tahun 50-an, Senayan tentu saja belum menjadi sebuah kawasan metropolitan seperti sekarang ini. Waktu itu Senayan adalah sebuah perkampungan masyarakat Betawi yang masih banyak ditumbuhi pohon besar. Orang Betawi tempo dulu memang sudah lazim menanam pohon nangka, cempedak, rambutan, durian, mangga dan kelapa di kebun atau halaman rumah mereka. Jadi saat itu kondisi Senayan mirip hutan atau daerah pegunungan.<br />Waktu, orang tua saya dan beberapa kepala keluarga lainnya yang berasal dari desa di Jawa Barat, merantau ke Senayan. Kami sebenarnya satu sama lain masih merupakan sanak saudara. Rumah orang tua saya, terletak di pinggir jalan, sebab kakek saya membuka usaha toko furniture. Bersebelahan toko kakek, adalah toko sembako milik seorang keturunan Cina totok yang akrab disapa Babah Jangkung.<br />Babah Jangkung dan keluarganya termasuk China yang kaya raya kala itu. Karena tak ada saingan, toko sembakonya sangat laris. Pembelinya bukan cuma penduduk sekitar, tapi ada juga yang datang dari jauh. Agaknya, Babah Jangkung memang menjual dagangannya dengan harga yang sedikit miring, karena itu pelanggan berbondong-bondong datang ke tokonya yang besar itu.<br />Sementara itu, di belakang rumah kakek saya, berjajar rumah-rumah sederhana milik orang yang sedesa dengan kami. Sedangkan rumah orang Betawi asli terletak agak jauh. Waktu itu, hampir semua pribumi Betawi masing-masing memiliki tanah yang cukup luas. Ukuran rumahnya pun besar-besar dengan banguan khas Betawi.<br />Suatu hari, tetangga di belakang rumah, persisnya seorang ibu muda baya yang bernama Ceu Tiyah terserang malaria. Tubuhnya menggigil, walaupun sudah diselimuti berlapis-lapis kain. Sementara itu pula suhu badannya kian meninggi karena demam yang hebat. <br />Malang sekali nasib Ceu Tiyah. Waktu itu dia tengah mengandung beberapa bulan. Karena waktu itu belum ada obat-obatan seperti sekarang, dan juga karena takdir Allah, Ceu Tiyah tak pernah sembuh lagi dari serangan malaria itu. Dia meninggal bersama bayi dalam kandungannya.<br />Malam harinya, setelah siangnya Ceu Tiyah dikuburkan, nenek saya kebetulan buang air kecil di kamar mandi. Letak kamar mandi dan wc kami terpisah dengan bangunan rumah. Kebetulan kamar mandi itu bersebelahan dengan rumah keluarga Ceu Tiyah. Selesai buang hajat kecil, nenek saya terkejut bukan kepalang. Apa lacur, nenek melihat sosok Ceu Tiyah sedang berdiri sambil menyaksikan orang main kartu di ruang tamu rumahnya. Kebiasaan orang Betawi waktu itu kalau ada yang sedang berduka atau lahiran maupun pesta, malamnya memang selalu diisi dengan main kartu. Apalagi, suami Ceu Tiyah memang dikenal sebagai seorang penjudi berat. <br />Di luar rumah almarhumah Ceu Tiyah memang tidak ada penerangan, tapi sinar lampu patromak dari ruang tamu lumayan terang. Ingat, waktu itu Jakarta belum ada listrik. <br />Karena yakin yang dilihatnya adalah Ceu Tiyah yang baru siang hari tadi dikuburkan, dengan melangkah perlahan-lahan dan sambil membawa segayung air, nenek saya yang pemberani menghampiri Ceu Tiyah. Kemudian air itu disiramkannya oleh nenek sambil berkata, “Pergi kamu!”<br />Ceu Tiyah berlalu. Tapi bukan dengan melangkah, melainkan melayang seperti terbang sambil mengeluarkan suara mirip anak ayam. <br />Beberapa hari kemudian setelah kejadian malam itu Uding, suami Ceu Tiyah terserang demam tinggi. Yang terasa aneh, bola mata Uding selalu melotot seperti orang ketakutan, dan mulutnya selalu berteriak-teriak menyebut nama almarhumah isterinya, “Ampun Tiyah! Ampun Tiyah!”<br />Hanya sehari sakit, jiwa Uding tidak tertolong lagi. Dia meninggal dalam keadaan kedua bola matanya membelalak, seperti melihat sesuatu yang amat menakutinya. Hal yang sangat aneh dan misterius, pada leher si mayat terihat bekas tangan mencengkeram sedemikian kuat. Karena itulah orang-orang menduga Uding tewas karena dicekik. Mungkinkah itu perbuatan Ceu Tiyah yang menurut kesaksian nenek saya telah berubah wujud menjadi kuntilanak?<br />Yang pasti, sejak kematian Uding, teror Ceu Tiyah semakin menjadi-jadi. Setelah suaminya meninggal dengan bekas cekikikan di leher, teman-teman berjudi Uding pun mengalami nasib yang sama. Mereka mula-mula terserang demam tinggi. Beberapa hari kemudian meracau dengan berteriak-teriak dan mata membelalak ketakutan. “Ampun Ceu Tiyah! Ampun Ceu Tiyah!” Begitulah yang keluar dari mulut mereka. <br />Teman-teman judi Uding itu akhirnya meninggal, dengan kondisi sama seperti suami Ceu Tiyah. Ada bekas cekikan di lehernya. <br />Ceu Tiyah pun tak urung melakukan balas dendam pada Babah Jangkung, si pemilik toko sembako. Babah Jangkung rupanya pernah memaki-maki Ceu Tiyah semasa hidupnya, karena utang belanja sembako di tokonya tidak terbayar.<br />Balas dendam juga dilakukkan pada tetangga yang pernah bertengkar dengan almarhumah. Bahkan, musuh anak Ceu Tiyah (ada dua anak remaja Ceu Tiyah) meninggal juga secara mendadak. <br />Atas kejadian demi kejadian misterius ini, oang sekampung tambah yakin bahwa semua teror maut itu adalah perbuatan balas dendam dari Ceu Tiyah yang disebut-sebut telah menjelma menjadi Kuntilanak.<br />Memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa Ceu Tiyah dengan suaminya hidup tidak harmonis. Kedua suami isteri itu sering telibat pertengkaran. Salah satu penyebabnya adalah karena suami Ceu Tiyah seorang pejudi berat. Uang yang didapat sebagai buruh bangunan selalu digunakan untuk judi, sehingga utang ke Babah Jangkung tidak pernah lunas.<br />Awal tahun 60-an, penduduk Senayan terkena penggusuran, karena di areal itu akan dibangun komplek Gelora Bung Karno dalam rangka Asian Games. Mula-mula yang digusur adalah tempat pemakaman umum yang lokasinya hanya beberapa puluh meter dari tempat tinggal kami.<br />Masing-masing kuburan digali lalu tulang-belulangnya dipindahkan ke pemakaman Blok P Kebayoran Baru. Sekarang pemakaman Blok P pun sudah tidak ada lagi, karena di lokasi itu sudah dibangun gedung kantor Walikota Jakarta Selatan.<br />Penduduk Senayan yang kena gusur pindah berpencaran. Ada yang pindah ke sekitar Kebayoran Baru, ada yang ke Simprug, dan ada yang ke Tebet. Kakek saya sekeluarga memilih pindah ke Tebet. <br />Sejak penggusuran itu, teror maut Ceu Tiyah tidak pernah terjadi lagi. Anak-anaknya yang menjadi yatim piatu pulang kampung. <br />Hampir setengah abad berlalu kejadian misterius itu, namun rasanya baru saja kemarin terjadi. Bila ingat lagi saya bergidik ngeri.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com22tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-52063068363137143712008-12-01T20:56:00.000-08:002008-12-01T21:04:09.200-08:00SUSUK PENGASIH NYAI SINGA BAWUK<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgva2itkbVnruy6hhAi2CsAS_ZsJuCh5yTaCLhCacY_tC5tUDUcsBghcHtIeqsbCUEla4X_nsFg98UFokd2lieIBf7nIkH068KfV1ER0tbh4WUdikD7kBawpGx7pMWs5k_fqEjU0SaB8otp/s1600-h/lp94.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 197px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgva2itkbVnruy6hhAi2CsAS_ZsJuCh5yTaCLhCacY_tC5tUDUcsBghcHtIeqsbCUEla4X_nsFg98UFokd2lieIBf7nIkH068KfV1ER0tbh4WUdikD7kBawpGx7pMWs5k_fqEjU0SaB8otp/s320/lp94.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275054023265898418" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Media susuk ini adalah bulu kemaluan seekor harimau. Siapa yang memasangnya, jika dia perempuan, akan menjadi banal dan hot. Berikut sebuah kisah nyata pemasang susuk kramat super langka ini….</span><br /><br />Dulu, dia dikenal sebagai perempuan cantik penebar pesona. Namun kini dia hanya bisa berbaring lemas hampir tanpa daya. Teriakan kesaktian setiap malam memecah dari mulutnya yang kering dan kisut. Entah apa yang dirasakannya. Mungkin kesakitan, atau mungkin juga ketakutan. <br />Kenyataan tragis itu harus dialaminya hanya karena sewaktu muda dia tergofa memburu nafsu dan ego keduniawian. Dia rela diperbudak kekuatan gaib yang berasal dari aura harimau betina yang sedang birahi, yang sukmanya dimasuki setan betina yang harus seks.<br /><span class="fullpost"><br />Dia terlahir dari pasangan orang tua yang secara kebetulan memiliki kelebihan dalam bidang suprantural. Trista namanya. Sejak masih kecil kehidupannya sangat kental dengan aroma mistis, meski ayahnya yang mendalami ilmu mistik kejawen itu tidak pernah menurunkan ilmu-ilmu miliknya kepada putrinya ini.<br />Diusia 16 tahun, Tirsta dijodohkan dengan lelaki murid terkasih bapaknya. Sebut saja bernama Pristono. Lelaki yang sudah berusia 30 tahun ini sangat ngemong, sehingga rumah tangga mereka selama 4 tahun berjalan sangat rukun. Sayangnya, mereka tak dikaruniai keturunan. Sampai di usia 34 tahun, usia yang sangat muda, Pristono meninggal karena suatu penyakit yang disebut orang desa dengan istilah “angin duduk”. <br />Di usia 20 tahun, jadilah Trista hudup menjanda. Statusnya ini sering menimbulkan kondisi yang tidak enak. Daia kerap kali jadi bahan gunjingan di kampungnya. Karena janda muda dan cantik, dia juga sering jadi bahan cemburu buta para ibu di desanya.<br />Merasa tak tahan dengan keadaan tersebut, akhirnya Trista melangkahkan kakinya untuk merantau ke Sumatera. Dia ikut menumpang di rumah kakaknya.<br />Di Sumatera Trista bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga kaya. Tanpa bisa dikendalikan, janda muda ini jatuh cinta pada anak majikannya. Sudah dapat dipastikan, pemuda tampan itu tak mungkin sudi menanggapi cinta janda kembang dari desa terpencil di pelosok Jawa ini. Trista sama sekali tidak sepadan dengan dirinya.<br />Cinta bertepuk sebelah tangan akhirnya membawa Trista berkenalan dengan dunia mistis. Dia menemui Mbah Darto, orang sakti yang juga berasal dari Jawa dan kebetulan adalah saudara seperguruan Bapaknya Trista. Terenyuh oleh nasib yang menimpa Trista, Mbah Darto menyarankan agar janda muda ini memasang susuk bulu kemaluan harimau betina yang sedang birahi, atau dalam istilah wong Jawa disebut Susuk Pengasih Nyai Singo Bawuk. Susuk ini tingkat kesulitannya luar biasa, karena mencarinya harus menunggu saat musim kawin harimau. Saat si raja rimba sedang melangsugkan hasrat birahinya, maka harus dibunuh. Yang betina untuk si pemasang wanita, demikian pula yang jantan untuk pemasang laki-laki. <br />Menurut pengakuan Nek Trista, untuk pemasangan susuk harimau birahi ini harus diambilkan bulu yang tumbuh (maaf) di kemaluan harimau tersebut, meski hanya satu helai saja. Cara pemasangannya dengan ritual yang rumit. Seteklah bulu kemaluan harimau disiapkan, maka kewanitaan Trista dibasuh dengan darah harimau. Lalu, dengan cara gaib, bulu kemaluan harimau itu dipasangkan di bagian terlarang tersebut. <br />Hasilnya memang luar biasa. Setelah memasang susuk keramat ini, anak majikan Trista yang tampan itu langsung bertekuk lutut di bawah kakinya. <br />Singkat cerita, mereka pun menikah. Trista merasa dapat menggapai keinginannya, meski sesungguhnya pernikahan itu terjadi tanpa didasari kasih sejati sebagaimana wajarnya.<br />Dalam rentang perjalanan waktu, karena pengaruh Susuk Pengasih Nyai Singa Bawuk, akhirnya Trista tak dapat mengendalikan nafsu birahinya. Dia telah dikuasai kekuatan gaib yang bersemayam dalam susuk tersebut. Sejak itu, mulailah badai menerjang bahtera rumah tangganya. <br />Setelah harta dan kejantanan suaminya habis, Trista meninggalkannya. Dia lari mengejar impiannya untuk memuaskan nafus birahinya, sekaligus mengumpulkan harta duniawi. <br />Trista memilih kembali ke tanah Jawa. Tapi dia berlabuh di Jakarta. Di kota ini dia semakin menjadi-jadi. Dia terjun ke dunia hitam pelacuran. Hebatnya, setiap laki-laki hidung belang yang berhubungan intim dengan dirinya pasti akan ketagihan, sehingga banyak diantara mereka yang ludes uang atau harta bendanya.<br />Sebenarnya, Trista bukanlah gadis yang matre. Ini semua karena pengaruh susuk harimau betina tersebut, sehingga dia menjadi liar. Dan keliarannya membutuhkan biaya yang tinggi demi memenuhi selera live stylenya yang telah berubah. Dia bukan lagi gadis kampong yang lugu dan apa adanya. Untuk semua ini, sudah tentu dia membutuhkan uang banyak.<br />Begitulah! Petualangan Trista baru berhenti ketika dia jatuh ke dalam pelukan seorang duda hiperseks. Jadi klop sudah mereka. Kebetulan juga lelaki bernama Harmoko ini punya kehidupan yang lumayan. Mereka menikah, dan Trista terentaskan dari lembah hitam. <br />Sayang, pernikahan ketiganya inipun juga tak dikaruniai anak. Di usia 50 tahun, usaha Harmoko bangkrut karena ditipu beberapa rekan bisnisnya. Akhirnya mereka jatuh miskin.<br />Biaya hidup di Jakarta sangat mahal. Karenanya mereka memutuskan pulang ke kampung halaman Trista di Jawa. Di tempat tinggalnya yang baru, Trista mulai tekun memperdalam ilmu klenik, dan akhirnya membawa dirinya bertemu dengan roh gaib yang bernama Nyai Pilut. Dari bisikan Nyai Pilut inilah, Trista tahu sesuatu masalah yang ditanyakan orang lain. Ya, Trista menjadi dukun prewangan.<br />Tak lama kemudian, Trista cukup kondang di daerahnya. Banyak orang datang kepadanya. Merasa dendam dengan nasib buruk yang menimpa Hormoko, suaminya, yang ditipu rekan bisnisnya, maka mendorong Trista sering menipu orang yang datang padanya, dengan pembayaran yang cukup mahal. Ada-ada saja alasan yang digunakan untuk mengeruk uang pasiennya. <br />Karena kelewat komersil, nama Trista akhirnya redup bak ditelan malam. Menurut orang-orang dekatnya, Trista telah ditinggal pergi oleh Nyi Pilut, yang tidak suka Trista telah berubah perangai menipu orang-orang yang meminta pertolongan padanya.<br />Akhirnya Trista jatuh miskin lagi. Dan yang lebih mengenaskan, Harmoko terkena stroke. Lima tahun sakit akhirnya dia meninggal dunia. Trista sering merenung, sekarang dia sendiri, tak punya siapa-siapa untuk berbagi cerita. Padahal dia benar-benar mencintai suaminya itu.<br />Usia Trista sekarang telah 75 tahun. Sejak Harmoko meninggal, dia memang sudah tak mau lagi bersentuhan dengan laki-laki, meski itu sangat berat. Ketuaan telah menggerogoti raganya. Dia jatuh terkulai tak berdaya.<br />Dalam ketidakberdayaan ini setiap malam, nenek Trista kerap berteriak-teriak kesakitan dan kadang-kadang menggeram bak seekor harimau. Oleh adik-adiknya, diusahakan cari syarat piranti gaib. Dari hasil deteksi ahli batin seorang paranormal wanita yang disapa akrab Jeng Rahayu dikatakan; “Ada 9 susuk ditubuh Mbah Trista, yang delapan saya sanggup mencabut, tapi yang satu, yang dipasang di kemaluannya, rasanya perlu waktu untuk mempelajarinya.”<br />Menurut Ahimsa, salah seorang adik Mbah Trista, ke-8 susuk pengasih berhasil dicabut oleh Jeng Rahayu. Untuk susuk yang satunya sedang mohon petunjuk ke Tuhan. Dua minggu kemudian, Jeng Rahayu bilang, kalau susuk itu bisa dikurangi daya gaibnya dengan Jadem Arab. <br />Jadem adalah tanaman semacam agave atau disebut lidah buaya, tapi yang tumbuh di gurun Arab. Entah dari mana dapatnya, sejak diberi Jadem Arab itu, teriakan Mbah Trista tak begitu memilukan. Tapi tetap saja menjerit-jerit hampir tiap malam, meski frekuensinya berkurang.<br />Jeng Rahayu juga bilang pada Ahimsa, Susuk Pengasih Nyai Singa Bawuk hanya dapat dihilangkan dengan darah kucing kembang talon (belang tiga) jantan dan tapelan kulitnya.<br />Betapa sulitnya mencari kucing kembang talon jantan, sebab kucing jantan jenis ini pasti dibunuh induknya sendiri, atau kucing dewasa lainnya bila diketahui hidup. Konon, bila sampai tumbuh dewasa ia akan menjadi rajanya kucing.<br />Tapi, puji syukur, Ahimsa, bisa mendapatkan kucing dimaksud meski masih anakan. Kucing mungil yang masih sangat muda itu dipotong, darahnya digunakan untuk membasuh kemaluan Trista, lalu kulitnya yang sudah diseset ditempelkan di tempat terlarang itu. <br />Ritual tersebut dilakukan sore hari. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Mbah Trista menjerit sangat keras dan mengaum panjang seperti harimau. Kata Ahimsa, dari pusarnya keluar cahaya kemerahan, meluncur menembus genteng. Tak lama kemudian, Mbah Trista tertidur pulas.<br />Satu minggu sejak peristiwa itu, Trista tiap malam tak teriak-teriak lagi dan tak menggeram. Nenek renta itu akhirnya wafat dalam damai setelah susuk Nyi Singo Bawuk terlepas dari raganya.<br />Bila melihat betapa cermin hidup yang ditayangkan Misteri ini begitu memilukan, masihkan kita akan memburu piranti gaib yang hanya memberi kenikmatan semu sesaat? Setelah itu terkena laknat? <br /><span style="font-style:italic;">Penulis mengungkap semua ini bukan untuk membuka wacana ajakan untuk mengikuti jalan sesat tersebut. Tapi bijaklah dalam menentukan pilihan hidup.<br />Kisah nyata ini, dengan segala rasa hormat, penulis tidak bersedia mengungkap jati diri para pelaku peristiwa, baik Trista sekeluarga maupun Jeng Rahayu. Karena ada hubungan persahabatan yang erat diantara kami. Nama-nama pelaku disamarkan.</span><br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-67313596102706401382008-12-01T20:51:00.000-08:002008-12-01T20:56:29.084-08:00BERSEKUTU DENGAN RAJA DEMIT<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOqO9PLdyBxXFHeYzFHk2Fmj5HCD22t9evqTTY9F2cpL1o9jDqUhl5THBOU4_0OeGjBNxd89hXOd_E0-M9pwer2iU4M9PXHu1BD9Sen28hdaE5igpqg1GGBwpFwM8QmfxA95AxfvXYwLzY/s1600-h/lp92.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 182px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOqO9PLdyBxXFHeYzFHk2Fmj5HCD22t9evqTTY9F2cpL1o9jDqUhl5THBOU4_0OeGjBNxd89hXOd_E0-M9pwer2iU4M9PXHu1BD9Sen28hdaE5igpqg1GGBwpFwM8QmfxA95AxfvXYwLzY/s320/lp92.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275052043766095522" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Pada tahun 2000 penulis mempunyai seorang teman dari Sidoarjo. Sebut saja namanya Fahrullah. Sang teman adalah salah satu contoh seseorang yang belajar ilmu gaib, tetapi mempunyai keimanan yang tipis sehingga terjerumus bujuk rayu setan yang menyesatkan. Berikut kisahnya….</span><br /><br />Pertengahan tahun 2000 itu aku (Penulis) bergabung dengan salah satu perguruan ilmu gaib yang ada di Solo. Pada waktu itu, ilmu gaib memang sedang ramai diperbincangkan orang, sehingga banyak sekali bermunculan perguruan-perguruan ilmu gaib. Aku memilih perguruan di Solo itu, karena waktu itu aku sendiri membacanya di salah satu majalah. <br />Mereka, maksudnya anggota perguruan ini, menginap di padepokan sampai berminggu-minggu lamanya untuk mengikuti pelatihan fisik berupa olah kanuragan maupun mental. Salah satu bentuk latihan tersebut adalah pada malam hari mereka pergi ke kuburan atau tempat-tempat angker untuk latihan terawangan.<br />Penasaran dengan cerita di majalah, aku pun menyambangi pedepokan perguruan ilmu gaib tersebut. Ternyata benar, apa yang telah diceritakan dalam majalah yang sempat kubaca. Di perguruan ini, aku memang bertemu dengan banyak orang dari berbagai daerah. Ada yang baru datang, ada yang sudah beberapa hari, beberapa minggu bahkan ada yang sudah sebulan, namun mereka mengaku masih kerasan tinggal di padepokan yang terletak di luar kota Solo itu.<br /><span class="fullpost"><br />Salah seorang murid lama di perguruan tersebut adalah Farullah. Dia mengaku berasal dari Sepanjang, Sidoarjo. Fahrullah adalah sosok lelaki muda, berusia sekitar 30 tahun, bertubuh gemuk pendek, kepala sedikit botak. Namun yang paling menarik, lelaki ini sosok yang sangat pemberani, sekaligus pula ambisius. <br />Mungkin karena sifatnya yang ambisius itu, maka Fahrullah termasuk pula sebagai seorang yang sangat rajin wirid. Wirid utamanya adalah surat Al-Fatihah. Menurut pengakuannya, dia sudah mewiridkan surah Al-Fatihah sebanyak 100.000 kali. Prestasi yang menurutku sangat luar biasa. Hal ini bisa dimaklumi karena memang kalau dia wirid, maka bisa sampai lima atau enam jam. <br />Untuk urusan terawangan, Farullah termasuk jempolan. Hingga pada suatu malam, sewaktu terawangan di Taman Pramuka Solo, Fahrullah bertemu dengan sosok bangsa halus yang mengaku bernama Siti. Dia adalah penghuni alam gaib Taman Pramuka yang wajahnya cantik jelita (Hal ini pernah penulis ceritakan dalam; “Penghuni Gaib Kota Solo”). <br />Melihat kecantikan Siti, sang penunggu alam gaib Taman Pramuka tersebut, Fahrullah tergoda imannya. Hingga tanpa sadar, dia melakukan hubungan biologis dengan makhluk halus tersebut. Anehnya, setela hubungan perzinahan itu, Fahrullah di datangi orang tua Siti, yang bermaksud meminta pertanggungjawaban darinya. Fahrullah mau bertanggungjawab, tapi harus di depan gurunya. <br />“Siapa gurumu itu?” Tanya orang tua Siti.<br />Fahrullah menyebutkan nama gurunya. <br />Setelah mendengar nama guru Farullah, orang tua Siti yang sudah tentu juga makhluk halus itu akhirnya bingung. Sepertinya dia tidak berani meneruskan perkaranya lagi. <br />Pada malam berikutnya, ditemani Penulis dan di tempat yang sama, Fahrullah kembali melakukan terawangan. Waktu itu, Fahrullah bertemu dengan apa yang disebutnya sebagai Raja Demit. Dia sangat ketakutan dan berniat mau lari, tetapi dicegah oleh si Raja Demit.<br />“Jangan takut. Saya akan membantu kesulitanmu,” kata Raja Demit.<br />Mendengar perkataan mahluk gaib tersebut mau membantu kesulitannya, Fahrullah tidak jadi lari. Bahkan, mereka kemudian berdialog. <br />Setelah dialog dengan makhluk itu, akhirnya Fahrullah bersedia bersekutu dengannya dengan syarat, apabila Fahrullah minta sesuatu ada syaratnya dan syarat itu harus dipenuhi.<br />Menurut cerita Fahrullah, pernah pada suatu malam, dia pulang ke Sidoarjo menumpang bus, tetapi tidak mempunyai uang. Di tengah perjalanan, dia diturunkan oleh kondektur karena tidak punya tiket dan tidak punya uang buat bayar ongkos. Setelah itu, dia minta bantuan Raja Demit agar bisa mengantarnya pulang.<br />Apa yang terjadi? Oleh Raja Demit, Fahrullah diminta mencari tempat yang gelap dan tidak ada orang. Perintah tersebut diikuti oleh Fahrullah. Di tempat yang gelap dan sepi tersebut, Fahrullah disuruh memejamkan mata dan jangan sesekali membukanya, kecuali diperintahkan buka oleh si Raja Demit. <br />Suatu keajaiban memang terjadi. Setelah diperintah membuka mata, dan Fahrullah pun membuka matanya, maka dia sudah ada di belakang rumahnya di Sidoarjo. <br />Kejadian yang Penulis dan teman-teman lainnya sering saksikan adalah, ketika Fahrullah membutuhkan uang. Setelah dia berkomunikasi dengan Raja Demit dan menyanggupi syarat yang diajukan oleh si Raja Demit, maka dalam waktu kurang dari lima menit, uang lima puluh ribu atau seratus ribu sudah ada di tangan Fahrullah.<br />Pada mulanya, syarat yang diminta oleh Raja Demit itu hanya hal-hal biasa saja, seperti harus mandi di WC, tidak boleh mandi di kamar mandi. Namun, lama-kelamaan syarat yang diajukan oleh si Raja Demit mulai menyalahi aturan-aturan agama. Misalkan saja, Fahrullah harus kencing di depan teman-teman yang sedang santai di lapangan olah raga, atau tindakan lain yang cenderung melanggar adapt dan etika kesopanan.<br />Menurut pengamatan Penulis, uang yang dibuat oleh Fahrullah lewat bantuan Raja Demit adalah sihir makhluk gaib. Karena uang tersebut tidak bisa bertahan lama. Setelah Fahrullah membelanjakannya, tidak berapa lama kemudian, uang tersebut kembali ke ujud semula. Ya, kalau semula Fahrullah memegang kertas atau daun, kemudian berubah menjadi uang, maka setelah uang tersebut dibelanjakan maka beberapa menit kemudian, uang tersebut berubah lagi menjadi kertas atau daun.<br />Salah seorang teman Penulis dari Lampung, pernah diajak oleh Fahrullah nonton bioskop dengan memakai uang yang disulap dari bungkus permen. Seusai pertunjukan, Fahrullah beli satu bungkus rokok dengan menggunakan sobekan karcis bioskop. Terus langsung naik taxi dengan uang yang juga hasil sihir si Raja Demit.<br />Ketika di tengah perjalanan, ada warung sate kambing, tiba-tiba Fahrullah minta berhenti. Mereka masuk warung itu, namun anehnya, Fahrullah memesan buat dia sate kambing mentah. Sedangkan untuk teman penulis sate kambing bakar. <br />Pada mulanya tukang sate menganggap pesanan Fahrullah hanya bercanda, namun Fahrullah meyakinkan bahwa memang dia memesan sate kambing mentah. Tentu saja tukang sate kambing menjadi terheran-heran setelah sate kambing mentah disediakan Fahrullah dengan lahap menyantapnya.<br />Anehnya lagi, setelah sampai di Padepokan, Fahrullah langsung menuju dapur kemudian makan nasi sama lauk pauk seadanya. Teman penulis dari Lampung ini karuan heran melihat Fahrullah makan lagi. Namun Fahrullah bilang, yang makan sate kambing mentah tadi bukan dia, tapi si Raja Demit sahabatnya, sedangkan yang sekarang makan nasi dan sayur, adalah Fahrullah sendiri.<br />Kisah unik lainnya seperti ini….<br />Kalau biasanya uang bikinan Fahrullah hanya bertahan beberapa menit setelah dibelanjakan, maka lain lagi halnya jika Fahrullah butuh uang banyak dan agar tahan lama. Caranya yaitu dengan memakai satu uang asli ditambah beberapa lembar kertas atau daun sesuai kebutuhannya.<br />Waktu itu, Fahrullah tertarik dengan iklan di salah satu koran yang menyatakan bahwa ada satu cara agar uang di ATM bertambah dengan sendirinya. Kemudian Fahrullah meminjam uang lima puluh ribu pada salah seorang teman Penulis. <br />Setelah itu, uang tersebut digabung dengan sobekan-sobekan koran. Aneh, tidak lama kemudian di tangannya sudah tergenggam sejumlah uang lima puluh ribuan, sama persis dengan uang lima puluh ribuan yang asli. Uang yang asli dikembalikan sedangkan uang sihir Raja Demit dibawa ke bank untuk ditansfer ke rekening orang yang pasang iklan.<br />Menurut Fahrullah, uang tersebut bisa bertahan sampai tiga hari, setelah itu baru berubah seperti semula.<br />Kisah lain yang aneh bin ajaib seperti ini….<br />Fahrullah bukan hanya bisa bikin uang dari kertas atau daun untuk dirinya saja, tetapi dia juga bisa menurunkan ilmunya pada orang lain. Hal ini pernah dia lakukan pada teman-teman Penulis. Sebut saja seperti kepada Fahri dari Sintang dan Fahran dari Pontianak, Kalimantan Barat, Ferdi dari Bandung, Jawa Barat, dan Gunawan dari Negara Ratu, Lampung.<br />Caranya, tiap orang teman Penulis itu diberi 7 biji gotri kecil yang sudah dimanterai oleh si Fahrullah. Gotri tersebut harus ditelan dengan air putih yang sudah dicampuri dengan setetes darah Fahrullah. Hanya Fery yang bersedia meminum air bercampur setetes darah Fahrullah itu, sedangkan Fahran, Ferdi dan Gunawan tidak mau meminum air yang bercampur darah, mereka hanya minta minum dengan air biasa.<br />Akhirnya, hanya Fery yang berhasil. Katanya, yang ikut Fahry bukan Raja Demit, tetapi anak bajang, yang permintaannya juga tidak aneh-aneh seperti permintaan Raja Demit jiak dia memberikan sesuatu sebagai imbalan.<br />Memang, persekutuan antara Fahrullah dengan Raja Demit berlangsung cukup lama dan tidak terkontrol oleh guru Penulis, yang waktu itu memang sedang tidak ada di Solo. Karena beliau sedang menunaikan ibadah haji. Sepulang beliau dari ibadah haji, maka Fahrullah dipanggil olehnya agar jangan lagi melakukan perbuatan yang merugikan orang lain dengan cara membuat uang sihir atas bantuan Raja Demit.<br />Di depan guru kami, Fahrullah berjanji untuk tidak berbuat seperti itu lagi. Namun, setelah dia pulang ke Sidoarjo, perbuatan tersebut diulangi lagi. Hal tersebut berlangsung sampai tiga kali. <br />Setelah peringatan ketiga tidak diindahkan, maka guru kami akhirnya bertindak tegas. Dengan paksa, Raja Demit teman Fahrullah dipasung kemudian ditanam di gunung Galunggung. <br />Setelah Raja Demit tidak mendampingi Fahrullah, maka hilanglah kesaktiannya. Dia tidak bisa lagi membikin uang dari kertas atau daun. <br />Demikianlah salah satu contoh orang yang belajar ilmu gaib tetapi tidak mempunyai iman yang kuat. Oleh sebab itu, pesan kami kepada semua Pembaca, kalau ingin belajar ilmu gaib terlebih dahulu harus belajar ilmu-ilmu Fiqh, Tauhid, Akhlaq dan lain-lainnya agar jangan sampai tersesat dijalan yang tidak dibenarkan oleh agama.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-5076997632361441732008-12-01T20:36:00.000-08:002008-12-01T20:50:20.945-08:00MENJADI DUKUN SETELAH 11 TAHUN TINGGAL DI KERAJAAN BUNIAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2_iJHglyBBwNZdyPSemrKh05aJ6jDE6OlHkB4PEb7zKByoqL4-U3_6PN2ft1ddzOwbRf20Z62npERCErJd7mMkrTgsFgztDFZRceBdxH_N-UqC2ZH8cUrtjw8ngKEazp4augsSMr7YQ1z/s1600-h/ms84.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 219px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2_iJHglyBBwNZdyPSemrKh05aJ6jDE6OlHkB4PEb7zKByoqL4-U3_6PN2ft1ddzOwbRf20Z62npERCErJd7mMkrTgsFgztDFZRceBdxH_N-UqC2ZH8cUrtjw8ngKEazp4augsSMr7YQ1z/s320/ms84.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275050440283982962" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Sebuah kisah nyata yang sangat fantasis. Sebelas tahun lamanya dia tinggal di kerajaan Bunian dan membina kehidupan rumah tangga di sana. Saat memutuskan kembali pulang ke dunia nyata, dia pun menjelma menjadi seorang dukun yang andal….</span><br /><br />Nek Juhai adalah seorang dukun kampung yang sangat terkenal kemampuan ilmunya. Penyakit atau hal apa saja yang disebabkan oleh gangguan non medis, Insya Allah bisa sembuh berkat tangan dingin perempuan yang telah uzur ini. <br />Kabarnya, ilmu perdukunan diperoleh Nek Juhai dari saudara suaminya yang berasal dari kerajaan Bunian. Memang, semasa muda dia telah menikah dengan bangsa bunian. Dari pernikahannya dengan orang Bunian ini, Nek Juhai memperoleh empat orang anak, dua laki-laki dan dua orang perempuan. Semua anaknya tinggal bersama mertuanya di kerajaan Bunian. Tidak seorangpun anaknya mau tinggal bersamanya. Meski demikian, pada waktu-waktu tertentu, anak cucunya berkumpul di rumahnya. Kedatangan mereka itu tidak dapat dilihat orang biasa, kecuali oleh mereka yang memiliki kemampuan indera ke enam.<br /><span class="fullpost"><br />Dua bulan sebelum Nek Juhai meninggal dunia, persisnya di akhir tahun 2007 silam, beliau telah mengobati penyakit salah seorang Bibi Penulis. Penyakit yang diderita sang Bibi sudah diobati melalui medis, tapi tidak juga sembuh. Bahkan, beberapa orang dukun atau paranormal yang mengobatinya, juga tidak berhasil. <br />Suatu hari, ada orang yang mengatakan pada Bibi, bahwa ada seorang dukun yang dapat menyembuhkan penyakit apa saja, termasuk penyakit yang diderita Bibiku. Orang itu memberikan alamatnya. <br />Karena Bibi ingin sembuh dari penyakit yang sudah hampir selama tujuh itu, maka Bibi meminta Penulis untuk menemaninya pergi berobat ke rumah Nek Juhai. Maka berangkatlah Penulis bersama Bibi ke rumah sang nenek. Tidak sulit untuk menemukan alamatnya. Semua orang di Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumut, pasti mengenalnya. Nek Juhai tinggal di rumah yang cukup sederhana dan masih sangat asri lingkungannya. <br />Saat itu, Nek Juhai menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Beberapa orang pasiennya terlihat antri menunggu giliran untuk diobati penyakitnya. Umumnya yang berobat padanya pasien yang tidak dapat disembuhkan melalui pengobatan medis di rumah sakit. Seperti penyakit yang diderita Bibiku, yang memang diduga kuat termasuk penyakit non medis. Hasil tes darah di laboratorium menunjukkan Bibi tidak menderita penyakit. Fungsi darah, lever, ginjal, paru-paru dan jantungnya normal. Anehnya, setiap pukul 12 siang dan pukul 24 malam, rasa sakit menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya.<br />Bila malam, sebelum penyakit itu datang, Bibi mendengar suara lolongan anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup, hingga sang anjing itu berada di samping rumah. Gonggongannya membuat bibi meraung-raung ketakutan. Perut bibi seketika terasa seperti ditusuk ribuan jarum, dan kepalanya seperti dipalu.<br />Yang tak kalah aneh, hanya bibi seorang yang mendengar suara lolongan anjing itu, sedangkan orang lain yang berada di sekitarnya tidak mendengarnya.<br />“Kau diguna-gunai orang, Nak?” Kata Nek Juhai setelah memeriksa keadaan Bibi. <br />“Siapa yang melakukannya, Nek?” Tanya Bibi. <br />Nek Juhai menggelengkan wajahnya. Kabarnya, dia memang tidak pernah mau menyebutkan orang yang melakukan serangan ilmu gaib.<br />“Tak penting kau ketahui siapa orangnya. Yang penting adalah kau bisa sembuh!” Katanya, setengah berbisik.<br />Nek Juhai kemudian menyiapkan mangkok kaca berisi air putih, bunga rampai dan jeruk purut. Setelah membaca mantera, jeruk purut dia belah menjadi dua bagian sama besar. Salah satu belahan jeruk dia letakkan di telinga kanannya. Aneh, potongan jeruk ini sepertinya dia pergunakan persis tak ubahnya seperti HP. Rupanya, dia berkomunikasi dengan keluarga suaminya yang berada di alam bunian. Misteri hanya mendengar kata-kata yang diucapkan Nek Juhai saja.<br />Sesaat setelah selesai berhubungan dengan alam gaib, tiba-tiba ada benda berbentuk bundelan di bungkus kain putih jatuh ke dalam mangkok. Sejenak Penulis terperangah melihatnya. Jelas sekali, bundelan kain itu jatuh dari atas, padahal rumah Nek Juhai atapnya terbuat dari seng dan tidak ada orang yang menjatuhkannya.<br />Perlahan, Nek Juhai membuka bundelan itu dengan sangat berhati-hati. Setelah terbuka, isinya boneka terbuat dari kayu. Seluruh tubuh boneka ditusuk dengan puluhan jarum dari kepala hingga kaki.<br />“Boneka ini diumpamakan seperti tubuhmu, Nak!” Kata Nek Juhai menjelaskan.<br />“Pantaslah jika penyakit Bibi kambuh perut dan kepalanya seperti ditusuk seribu jarum,” gumam Penulis dalam hati. <br />Nek Juhai lalu membungkus boneka kayu itu dan membakarnya hingga hangus. <br />“Sebaiknya kau menginap beberapa malam di rumah Nenek. Ada pengobatan lanjutan yang harus kau jalani. Besok pagi sebelum berkumandang suara adzan Subuh, kau harus mandi air bunga rampai,” tutur Nek Juhai. Tentu saja Bibi dan Penulis menyetujuinya.<br />Malam itu, sengaja Penulis mencarai kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Nek Juhai. Untunglah, dia punya waktu untuk bercerita karena setelah pukul 8 malam, dia memang tidak lagi menerima pasien.<br />“Kata orang-orang, Nenek bersuamikan orang bunian. Bagaimana ceritanya Nenek bisa bersuamikan orang bunian?” Tanya Penulis. Mendengar pertanyaan ini, Nek Juhai hanya tersenyum.<br />“Kau mau mengetahui kisah Nenek bersuamikan orang bunian?” Nek Juhai malah balik bertanya. <br />Penulis tersenyum. “Ya, itulah yang saya dengar dari banyak orang. Saya harap Nenek sudi menceritakannya pada saya,” ujar Penulis.<br />Nek Juhai menarik nafas berat. Sorot matanya yang teduh itu berubah kosong, seperti menerawang jauh. Lalu, pelan-pelan dia bertutur. Beginilah ringkasan kisahnya…:<br />Saat aku baru berusia 5 tahun, ayahku meninggal dunia. Setelah ayah meninggal, Ibu memutuskan tetap menjadi janda. Untuk menghidupiku, Ibu bekerja mengambil upahan merumput di sawah tetangga. <br />Memang, setelah kepergian Ayah, hidupku semakin miskin dan penuh dengan penderitaan. Sehari kadang makan hanya sekali. Paman dan bibiku juga hidupnya miskin. Untuk menghidupi keluarganya saja sulit, apalagi untuk membantu aku dan Ibuku. <br />Setelah lama mengidap penyakit asma, Ibuku akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Perasaan hatiku sangat sedih, bahkan sampai ada niat untuk bunuh diri. Tapi untunglah hal itu tidak aku lakukan. <br />Selama berhari-hari aku larut dalam kesedihan. Kepergian Ibu rasanya begitu cepat, Kepada siapa lagi aku harus menggantungkan hidupku?<br /> Suatu hari di suatu pagi, saat hujan gerimis, aku pergi berziarah ke kuburan Ibu. Lama aku duduk termenung di tengah hujan gerimis. Waktu itu, tiba-tiba terdengar suara seorang Ibu menegurku.<br />“Sudahlah, jangan lagi bersedih. Jika Ibumu tahu kau seperti ini, dia pasti sangat bersedih juga di alam sana!” Kata ibu-ibu itu. <br />Mendengar ada suara, maka aku sangat terkejut dibuatnya.<br />“Ibu siapa, mengapa Ibu tiba-tiba ada di sini?” Tanyaku merasa heran. Maklum saja, selama ini aku belum pernah melihat sosok perempuan paruh baya ini. Aku begitu terkesima melihat kecantikan wajahnya. Di desaku sepertinya tidak ada perempuan secantik dia.<br />“Nama Ibu Habibah,” sahutnya dengan ramah.<br />Dia lalu tersenyum sambil memandang wajahku. Sorot matanya tajam menyejukan perasaan hatiku. Dari busana yang dipakainya Ibu Habibah, jelas isteri orang kaya. Ini terlihat dari perhiasan emas yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya, serta cincin dijari manisnya. Aku kian terkagum-kagum melihatnya.<br />“Semua yang hidup akan merasakan mati. Beberapa hari lalu Ibumu meninggal dunia, suatu saat kita juga akan mengalami peristiwa yang sama. Kau harus tabah dan ikhlas menerimanya,” kata Ibu Habibah menasehatiku.<br />“Tapi sekarang aku udah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidupku sebatang kara di dunia ini. Rasanya lebih baik aku mati saja,” jawabku berkeluh kesah. Air mataku seketika kembali deras mengalir.<br />“Siapa bilang kau tidak punya siapa-siapa. Jika kau mau kau bisa tinggal bersama Ibu!” Katanya sambil mengusap rambutku. Hangat kurasakan menjalar ke sekujur tubuhku. <br />Mendengar Ibu Habibah berkata demikian, aku merasa tidak percaya. Apakah aku sedang bermimpi?<br />“Benarkah Ibu mau memberiku tumpangan hidup?” Tanyaku sambil menyusut air mata.<br />Ibu Habibah tersenyum menyejukan. “Percayalah, Ibu pasti akan menganggapmu seperti anak Ibu sendiri. Mari ikut Ibu!” Ajaknya. Dia lalu menuntunku keluar dari areal kuburan.<br /> Di depan tanah pemakaman sudah menunggu mobil sedan mewah. Bagai terhipnotis, aku mengikuti saja ajakan Ibu Habibah, yang menyetir sendiri mobil sedannya. <br />Sekitar seperempat jam mobil yang dikemudikan Ibu Habibah meninggalkan desaku, ada keanehan yang kurasakan. Semula di kiri kanan jalan aku hanya melihat hamparan persaawhan dan rumah-rumah gedek dan semi permanen milik penduduk. Tapi pemandangan yang kulihat kemudian bertukar menjadi perumahan mewah dan jalan beraspal yang sangat licin. Mobil-mobil mewah hilir mudik di jalan raya. Penduduk yang tinggal di sepanjang jalan sepertinya semua keluarga kaya. Mereka tinggal di perumahan elite lengkap dengan fasilitas kemegahannya. Ada kolam renang dan halaman yang asri.<br />“Bu, kita sekarang berada di mana?” Tanyaku terheran-heran. Maklum saja, selama ini aku memang tidak pernah melihat rumah-rumah mewah seperti yang ada di depan mataku.<br />“Juhai, ketahuilah, kau kini berada di alam gaib. Bangsamu menyebut kami orang bunian,” kata Ibu Habibah menjelaskan.<br />Mendengar penjelasan Ibu Habibah, jantungku berdebar-debar ketakutan.<br />“Juhai, jangan cemas dan merasa takut. Ibu akan melindungimu dan menjaga keselamatanmu. Ibu beragama Islam dan sudah berulangkali pergi menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Kita ini sesungguhnya bersaudara dan persaudaraan sesama muslim itu digambarkan oleh baginda Rasulullah SAW seperti bangunan tubuh kita. Jika ada salah satu anggota tubuh kita sakit, maka anggota tubuh yang lain juga ikut merasakannya,” jawab Ibu Habibah dengan tutur kata lemah lembut. Dia seolah-olah dapat membaca kegelisahan hatiku. <br />Mendengar Ibu Habibah berkata begitu, perasaan hatiku menjadi tenang kembali. <br />Mobil pun terus bergerak di atas jalan yang amat licin. Tak berapa lama kemudian, mobil berbelok ke sebuah rumah paling mewah di antara perumahan yang berada di sekitarnya.<br />“Apakah ini rumah Ibu Habibah?” Bisik hatiku, heran dan kagum.<br />Halaman rumah itu sangat luas dan tertata rapih dengan bunga-bunga yang indah. Ada juga kolam renang yang berair sangat jernih. Menurut hematku, rumah dinas gubernur saja yang pernah kulihat tidak sebagus dan semewah rumah Ibu Habibah.<br />“Kita sudah sampai. Ini rumah Ibu!” Kata ibu Habibah. Aku bengong seperti seekor rusa masuk kampung. <br />Ibu Habibah lalu mengajakku turun dan menuntunku masuk ke beranda rumah. Di depan pintu, seorang pemuda menyambut kedatangan kami. <br />“Ibu membawa siapa?” Tanya pemuda itu yang sepertinya adalah putera Ibu Habibah. Wajahnya sangat tampan. Di kampungku pasti tidak ada remaja setampan dia.<br />“Dia bernama Juhai. Ibu temukan dia menangis di pusara kedua orangtuanya,” jawabnya. Lalu sambil melirik ke arahku, Ibu Habibah menyambung, “Juhai, ini anak Ibu. Namanya Haikal!” <br />Aku dan Haikal kemudian saling berjabat tangan. Ketika itu muncul juga seorang anak berusia 10 yang kemudian kuketahui bernama Haidar. Dia adiknya Haikal.<br />Saat masuk ke dalam rumah, kulihat ruang tamu rumah Ibu Habibah sungguh megah. Semua perabotan rumahtangga di ruangan itu terbuat dari kayu pilihan dan berukir indah. Aku terkagum-kagum melihatnya. <br />Ibu Habibah lalu mengajakku ke kamar yang diperuntukkan buatku. Interior dalam kamar ini tak ubahnya seperti kamar tidur puteri raja. Ranjangnya terbuat dari kayu jati dan dilapisi emas, meja rias berukir sangat indah dan bingkai kacanya dilapisi emas. Dalam kamar tidur ini terdapat juga toilet yang harum dan bersih. <br />Aku juga diperlihatkan baju yang disimpan dalam lemari, yang sepertinya juga telah dipersiapkan buatku. Aku terbelalak melihat baju-baju yang semuanya baru dan terbuat dari sutera itu. <br />Setelah aku berganti pakaian dan tak lagi terlihat seperti gadis kampung, namun telah menjelma bak seorang puteri, aku diminta menghadap di ruang keluarga. Di ruang ini Ibu Habibah duduk bersama seluruh anggota keluarganya. Disebelahnya duduk Pak Abu Bakar, suaminya.<br />“Ibu sudah bercerita pada Bapak tentang dirimu. Bapak sangat terharu mendengarnya. Tinggallah bersama kami di sini beberapa waktu yang kau kehendaki. Kami akan mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit. Di istana ada beberapa orang tabib. Nanti Bapak akan meminta mereka mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit.<br />Ilmu pengobatan itu penting bagimu sebagai bekal hidupmu di duniamu nanti, jika kau memutuskan untuk tinggal di sana.” Papar Ibu Habibah. <br />“Bapak mohon tinggallah bersama kami beberapa tahun di sini. Bapak dan Ibu telah sepakat mengangkatmu sebagai anak angkat kami. Kami berdua akan menyayangimu seperti menyayangi anak kandung kami sendiri. Kebetulan kami memang tidak dikarunai anak perempuan. Besok kami akan mengadakan acara pengangkatanmu sebagai anak angkat kami agar warga di sini mengetahuinya,” tambah Pak Abu Bakar suami ibu Habibah.<br />Pak Abu Bakar ini ternyata salah seorang menteri di kerajaan Bunian. Setiap hari, dia keluar masuk istana raja. Ibu Habibah juga masih kerabat raja. Ketika aku dinobatkan sebagai anak angkat, semua pembesar istana datang menghadirinya, termasuk juga rakyat jelata. Yang sangat membanggakan perasaanku, raja dan permaisurinya turut datang memberikan ucapan selamat.<br />Pak Abu Bakar mengadakan pesta rakyat, berlangsung selama tiga hari tiga malam. Aku benar-benar merasa menjadi puteri di negeri kayangan. Aku dikenalkan pada kelaurga besar Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah. Mereka semuanya baik-baik dan sangat ramah.<br />Begitulah! Hari-hari kulalui dengan tinggal di dunia orang Bunian. Kehidupan disana seperti kehidupan kita di dunia ini. Hanya, di dunia orang Bunian, matahari selalu bersinar cerah, dan udara dingin sepanjang siang dan malam. Disana tidak ada polusi udara, karena pepohonan tumbur subur. Lingkungan hidup tertata rapi. <br />Tinggal bersama keluarga Pak Abu Bakar, selain bermain, menikmati masa remaja bersama Haikal dan gadis-gadis sebayaku, pagi hari aku juga belajar ilmu pengobatan dari tabib istana yang datang ke rumah. <br />Di sana juga terdapat tempat rekreasi yang berada di luar kota. Aku bersama Haikal sering mengunjungi tempat rekreasi tersebut, hingga akhirnya tumbuh benih cinta di hati kami berdua. Rupanya, Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah mengetahui hal ini. Sampai suatu malam, aku dan Haikal dipanggil untuk menghadap mereka. Duduk di hadapan Ibu Habibah dan Pak Abu Bakar, aku menundukkan wajah sebagai orang yang bersalah. Denyut jantungku berdebar-debar tidak beraturan.<br />“Haikal, Ayah ingin bertanya kepadamu. Mohon dijawab dengan jujur. Apakah kau mencintai Juhai?” Tanya Pak Abu Bakar tiba-tiba.<br />“Benar, Ayah! Haikal sangat mencintainya,” jawab Haikal.<br />“Bagaimana denganmu Juhai? Apakah kau mencintai Haikal?” Tanya Ibu Habibah. Aku hanya mengangguk malu-malu.<br />“Karena kalian sudah saling mencintai, Ayah dan Ibu akan menikahkan kalian besok pagi,” kata Pak Abu Bakar memutuskan.<br />Aku terkejut mendengar keputusan Pak Abu Bakar. “Mengapa pernikahan itu dilangsungkan mendadak?” Bisik hatiku.<br />Pernikahan itu benar-benar terjadi. Saat aku membuka jendela kamar, di halaman rumah sudah siap perlengkapan pesta. Bahkan, kamar tidurku sudah dihias seperti laiknya kamar pengantin. “Kapan mereka melakukannya?” Bisik hatiku terheran-heran.<br />Singkat cerita, akad nikah telah siap. Saat itu aku teringat pada almarhum Ayah dan Ibu. Aku menangis terharu dan bahagia, lalu memeluk Ibu Habibah yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku.<br />Resepsi pernikahan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Raja dan permaisuri kerajaan Bunian datang bersama semua pembesar istana. Mereka mengucapkan selamat berbahagia dan mendoakan agar perkawinan kami langgeng. Rakyat di kerajaan Bunian larut dalam kegembiraan menikmati makanan dan hiburan selama tujuh hari tujuh malam.<br />Demikianlah kisah yang kujalani di negeri Bunian. Setelah sepuluh tahun membina rumah tangga, aku dikarunai dua orang putera dan dua orang puteri. Hingga, suatu malam, nenek bermimpi bertemu dengan almarhum ayah dan ibu. Dalam mimpi ini mereka menangis karena kuburnya tidak pernah aku ziarahi. Aku sampai menangis dan berjanji pada mereka akan datang berziarah.<br />“Juhai, kau mimpi apa?” Tanya Mas Haikal. Kuceritakan mimpi yang barusan kualami.<br />“Besok kita pergi berziarah. Bawa anak-anak,” kata suamiku. Mendengar suami berkata begitu, aku merasa bahagia.<br />Ketika kami berziarah di kuburan kedua orangtua, ternyata ada beberapa warga melihat kehadiranku. Mereka tidak percaya. Tapi setelah kuyakinkan, mereka baru percaya bahwa aku adalah Juhai. Rupanya, aku telah menghilang selama 11 tahun lebih. <br />Berita kepulanganku setelah 11 tahun menghilang dari desa, menghebohkan warga. Bibiku, anak-anak keponakanku, semua menangis dan menyambutku dengan penuh haru. Mereka sampai mengadakan kenduri selamatan dan meminta agar aku tinggal di desa. Berat rasanya untuk menolak permintaan mereka, juga berat meninggalkan suami dan anak-anak yang tinggal di alam berbeda. <br />“Keluargamu memintamu agar kau tinggal bersama mereka. Sebaiknya kau penuhi keinginan mereka,” kata suamiku menjelang tidur di dalam kamar rumah Bibi. Tentu saja tak ada seorang pun yang bisa melihat kehadiran suami dan anak-anakku kecuali aku sendiri. <br /> “Bagaimana dengan dirimu dan anak-anak kita?” Tanyaku.<br />“Anak-anak biarlah tinggal bersama neneknya. Karena kehidupan mereka ada di sana bukan disini. Sedangkan aku bisa setiap saat berada di sisimu, dan kau bisa datang menjenguk anak-anak kita setiap saat,” jawab suamiku.<br />Tapi aku tidak dapat mengambil keputusan saat itu. Kepada keluarga di desa, aku bilang akan bermusyawarah dahulu dengan suami dan mertua. Semoga mereka mengizinkanku tinggal di desa kelahiranku. <br />Syukur Alhamdulillah, 11 tahun setelah aku pergi meninggalkan desa, kehidupan ekonomi Paman dan Bibi membaik. Mereka sudah bisa membangun rumah gedung. Keponakanku juga bisa sekolah sampai meraih gelar sarjana. Tak hanya itu, jalan-jalan dikampungku juga sudah dibangun aspal. Bahkan, Paman juga berjanji akan membuatkan rumah buatku di tanah pusaka peninggalan almarhum ayahku jika memang aku tinggal menetap di desa\.<br />Ketika kuutarakan niat kembali ke desa kelahiranku, Ayah dan Ibu mertuaku merestuinya. <br />“Jika itu sudah menjadi keputusanmu dan suami merestuinya, kami tidak bisa bilang apa-apa kecuali mendukung rencanamu. Di desamu kau bisa mengobati berbagai penyakit yang diderita warga disana,” kata Ayah mertuaku.<br />“Terima kasih, Pak!” Jawabku sambil sujud di kakinya.<br />Setelah berpamitan, aku diantar mobil sedan yang dikemudikan suamiku. Ya, aku memilih pulang ke kampung halamanku yang pernah aku tinggalkan belasan tahun lamanya.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com22tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-49488632502145231192008-12-01T20:21:00.000-08:002008-12-01T20:35:26.499-08:00TERJEBAK DI DUNIA LAIN KETIKA BEKERJA DI HUTAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVYRflkhvBFTjk3lUo5wsvWAxi8ploM01vgzOkZww-PtKnMKhzaJeJs3IIeXmElvofJvx4GvV4JUhCtiHeORaxfLTHYZ0rATS_YdGmnsng3Mx26IsQXDCYGO6jvJjB4CzVQJfO-G2f30-M/s1600-h/ms72.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 181px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVYRflkhvBFTjk3lUo5wsvWAxi8ploM01vgzOkZww-PtKnMKhzaJeJs3IIeXmElvofJvx4GvV4JUhCtiHeORaxfLTHYZ0rATS_YdGmnsng3Mx26IsQXDCYGO6jvJjB4CzVQJfO-G2f30-M/s200/ms72.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275046620522963538" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Bagaimana bisa seorang yang menyetubuhi jin lalu memiliki keturunan? Kisah berikut merupakan kesaksian dari salah seorang yang pernah bekerja di sebuah perusahaan penebangan kayu. Saat bertugas dia terjebak ke dunia lain milik para jin…. </span><br /><br />Adelin Lis, Direktur Keuangan PT Keang Nam Deveploment Indonesia (KNDI), adalah salah seorang sosok yang kontroversial dalam kacamata hokum pidana. Setelah Jaksa menuntutnya sepuluh tahun kurungan, ternyata dibebaskan tanpa syarat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negara Medan. Ini suatu perkara yang dianggap sangat menyakitkan nurani keadilan, mengingat kasus korupsi Adelin Lis dengan nilai yang sangat besar. <br />Tulisan berikut ini memang bukanlah kisah tentang Adelin Lis. Tetapi aku pernah bekerja di perusahaan miliknya. Hampir tiga tahun aku menjadi karyawan pada PT KNDI, yakni sebuah perusahaan pengolahan kayu berskala besar yang cukup bonafid di daerah Mandailing Natal (Madina), Sumut. <br />Kalau Adelin Lis, orang yang misterius dalam bidang penegakan hukum, sementara aku sendiri mengalami kejadian misterius ketika bekerja di perusahaan tersebut.<br /><span class="fullpost"><br />Pertama kali masuk kerja, aku ditempatkan diunit Tely, yakni melakukan tugas mencatat dan mengadakan kelompok-kelompok kayu yang sudah diolah menjadi bahan bangunan ke dalam masing-masing jenis dan tipe serta ukuran yang sama.<br />Jumlah karyawan kurang lebih 500 orang. Mereka punya tugas di bidang masing-masing. Meskipun demikian, di antara mereka ada yang punya tugas rangkap. Dan aku sendiri sering ditugaskan rangkap pula terutama kalau ada karyawan yang berhalangan karena sakit.<br />Tugas yang kurasa cukup berat dan punya resiko tinggi adalah kalau diperintahkan mengadakan survey di lapangan guna meneliti pohon-pohon kayu di areal hutan yang sesuai dengan HPH dari Menteri Kehutanan. Menandai pohon yang akan ditebang di tengah hutan belantara yang masih perawan.<br />Hari itu, dengan ditemani oleh rekan seprofesi yang akrab kupanggil Bang Ucok Regar, aku ditugaskan melakukan penelitian ke sebuah areal hutan. Tanpa bisa menolak, Bang Ucok berangkat duluan ke sana. Aku sendiri janji akan menyusul sejam kemudian. Soalnya, masih ada urusan yang akan kukerjakan di lokasi pabrik.<br />Setelah urusan tersebut selesai, dengan mengendarai sepeda motor perusahaan, aku segera menyusul rekanku itu. Lokasi hutan yang akan kutuju sekitar 75 km dari pabrik. Tepatnya berbatasan dengan sebuah desa bernama Umang-Umang. Desa itu pernah kukunjungi dengan tugas yang sama. Jalan kesana merupakan jalan darurat yang dirintis oleh pihak perusahaan. Dari desa terpencil tersebut, kayu tebangan diangkut menggunakan truk khusus atau lengging.<br />Hari itu, cuaca cerah dan cukup panas. Dengan kecepatan sedang, kupacu sepeda motor menyusul Bang Ucok. Mendekati sebuah tikungan, tiba-tiba mesin mati dan sepeda motor berhenti tepat di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Segera kuperiksa apa penyebabnya.<br />Hampir setengah jam aku mengutak-atik mesin, namun tidak kutemukan juga. Mesin sepeda motor tetap saja tak mau dihidupkan. <br />“Dasar sepeda motor sialan!” Makiku dalam hati sambil kemudian duduk istirahat di bawah pohon rindang itu.<br />Aku mulai berpikir untuk mengadakan kontak dengan pihak manajemen atasanku, ketika dihadapanku melintas seorang pria tua mengenakan pakaian agak aneh. Tampangnya terlihat sangat kumuh seperti gelandangan.<br />“Cucu mau kemana?” Sapanya sambil berhenti melangkah. Dia menatapku.<br />“Ke desa Umang-Umang, Kek!” Sahutku sambil bangkit berdiri.<br />“Lalu kenapa berhenti di sini?”<br />“Mesin motorku ngadat, Kek!” Jawabku sambil mendekati sepeda motor.<br />“Apanya yang rusak?” Si kakek datang mendekat. Dia bahkan turut jongkok di dekatku.<br />“Entah apa yang membuatnya mogok. Saya sudah menelitinya, tapi saya tidak bisa menemukan kerusakan mesin motor ini.”<br />“Coba kulihat!” Si kakek bergeser ke depan sambil menyentuh busi dengan ujung telunjuk jarinya.<br />Sekejap aku terkejut, sebab ujung jari si kaki yang ringkih itu seperti memancarkan sinar kebiru-biruan. Anehnya, dalam hitungan detik, mesin hidup tanpa distater sama sekali. <br />Belum habis rasa heranku, terdengar si Kakek berkata, “Kalau cucu ingin ke desa Umang-Umang, kakek ingin menumpang. Apakah boleh, Cu?”<br /> “Tentu saja aku tak keberatan, apalagi Kakek telah membantu menghidupkan mesin sepeda motorku,” jawabku sambil berusaha menekan perasaan heran dan aneh di dalam dadaku.<br />Ringkas cerita, pria tua itu kusilhakan duduk di jok belakang. Mungkin karena tubuhnya yang kurus, maka sepertinya aku tidak merasa membawa beban di boncengan belakang. Begitu lewat tikungan di depan, di sebelah kiri jalan nampak pohon yang lumayan tinggi dan akar-akarnya ada yang menyembul kepermukaan, bahkan melingkar-;ingkar merangkul batang pohon itu sendiri. Begitu melintas di depan pohon ini, tiba-tiba mesin sepeda motor mati lagi. Anehnya, sepeda motor membelok sendiri menuju ke arah pohon tanpa dapat kukendalikan. Tubuhku terdorong ke depan lalu membentur pohon raksasa tersebut. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.<br />Apa yang terjadi kemudian? Setelah siuman, sepertinya aku sedang berada di sebuah kawasan perkotaan dan tubuhku terbaring di tempat tidur dalam ruangan yang lumayan besar digedung yang megah dan indah. Waktu itu, laiknya aku sedang bermimpi. Tapi kali ini bukan mimpi, karena ketika kucubit terasa sakit di kulitku. <br />“Aneh, di mana aku sekarang? Mengapa aku bisa berada di tempat ini?” Tanyaku dalam hati. Mendadak aku ingin bangkit dari tidur. Namun, pada saat bersamaan, aura mistis mulai kurasakan. Hal inilah menyebabkan bulu kuduk meremang, sebagai isyarat bahwa aku saat itu berada dan terjebak di dunia lain. Mungkin dihuni oleh makhluk gaib yang sulit ditebak.<br />Aku masih dalam kondisi kebingungan ketika muncul di hadapanku sesosok makhluk berwujud manusia. Dia mengenakan pakaian mirip serdadu kerajaan tempo dulu dan ditangan kanannya memegang sebatang tombak yang ujungnya bercabang tiga. Dengan menggunakan bahasa isyarat, laki-laki berwajah sangar dan menakutkan ini, meminta agar aku segera mengikutinya.<br />Aku tak bisa membantah ajakannya, sebab kesadaranku memang sepertinya kembali terhipnotis. Akhirnya, aku berjalan beriringan dengan lelaki penjemputku. Dia membawaku masuk ke ruangan lain yang bersebelahan dengan ruang tempatku terbaring tadi. Ruangan ini lebih megah dan lebih menakjubkan lagi. Perabotannya serba antic, seperti koleksi berabad-abad yang lalu. Kursi-kursinya penuh ukiran klasik, berpasangan dengan meja batu giok beralaskan lantai marmer mengkilat, berwarna-warni.<br />Di sepanjang ruangan, tergantung aneka lampu kristal yang memancarkan sinar beragam aneka warna. Bersamaan dengan itu, aroma wewangian sering hinggap di hidungku. Harum sekali.<br />Aku masih tertegun dan terpana, berdiri mematung, ketika ruangan yang super megah tersebut dipenuhi oleh perempuan ayu dan cantik. Perangai dan perilakunya sangat kontras dengan fenomena keindahan serta kesakralan suasana di sana. Pakaian mereka sangat merangsang, nyaris telanjang. Binal dan genit ketika berpelukan dengan teman laki-lakinya. <br />Keberadaanku di tempat itu seperti tidak diketahui mereka. Bahkan, laki-laki seradu yang tadi menjemputku tidak kulihat batang hidungnya. Dan aku hanya melongo saja berdiri mematung. Menyaksikan seks bebas yang berlangsung di hadapan mata. Persis seperti nonton film blue. <br />Belum habis rasa heran dan bingungku, di hadapanku telah berdiri seorang perempuan agak tua, bertubuh gendut dengan rias wajah yang sangat mencolok. Di sebelahnya turut pula berdiri seorang perempuan muda yang cantik dan ayu. <br />Cukup lama perempuan gendut ini menatap wajahku. Seperti ingin menaksir wajah dan penampilanku saja. Dengan bahasa isyarat, dia ingin tahu siapa namaku. Lalu aku jawab pula dengan bahasa isyarat. <br />Entah mengerti atau tidak, dia kemudian bertanya, “Anak muda, mengapa kau sampai berada di tempat hunian kami ini?”<br />Laiknya orang tunarungu, aku menjelaskan dengan bahsa isyarat bahwa aku tak sengaja berada di tempat mereka. Alasannya, karena sepeda motorku menabrak sebatang pohon di pinggir jalan. Dan kuungkapkan juga, bahwa sepeda motorku mogok. Lalu dibantu oleh seorang kakek, dan bersama pria tua itu menuju desa Umang-Umang.<br />Nampaknya si nenek paham, dan mengatakan, pria tua itu adalah ayahnya yang ingin mencari suami untuk cucuknya. Dan dia menunjuk perempuan di sebelahnya sebagai cucu si kakek.<br />Komunikasi menggunakan bahasa isyarat berlangsung dengan lancar tanpa menemui kendala yang berarti. Aneh, memang! Saat itu, aku juga sempat memastikan bahwa mereka berasal dari komunitas makhluk dari dunia lain, yang tidak bisa bicara. Kalaupun mereka berbicara, maka aku tidak akan mengerti dan memahaminya.<br />Ketika perempuan gendut mengisyaratkan bahwa pria tua yang menolongku menghidupkan mesin motorku itu adalah kakeknya, maka aku mulai curiga. Entah apa yang akan mereka lakukan terhadao diriku. <br />“Apakah kau bersedia kukawinkan dengan putri tunggalku ini?” Tanya perempuan gendut itu dalam bahasa isyarat yang mendadak saja bisa kumengerti dan kupahami.<br />Secepatnya aku memberi isyarat bahwa aku telah punya isteri. Bahkan, aku juga memberi isyarat bahwa sangat mustahil makhluk Tuhan berbeda alam untuk menyatu dalam sebuah perkawinan.<br />“Siapa bilang?” Tanya si perempuan gendut. Kali ini bukan lagi dengan bahasa isyarat, melainkan dengan kata-kata dalam bahasa Melayu.<br />Hal ini membuatku terperangah. Ternyata dia mampu berbicara dengan bahasa Melayu, dengan logat dan gaya Mandailing Klasik. <br />Aku makin terheran-heran ketika dia mengatakan bahwa perkawinan makhluk dari kalangan jin dan manusia sudah sering terjadi sejak era kenabian tempo dulu. Dia mengambil contoh dengan peristiwa Nabi Sulaiman yang menikahi Ratu Balqis, yang dipercaya berasal dari komunitas bangsa jin. <br />Aku bingung, karena aku tak tahu persis apakah Ratu Balgis memang berasal dari bangsa jin. Entahlah apakah perempuan gendut ini hanya mengarang-ngarang untuk meyakinkan diriku, bahwa perkainan manusia dengan jin bukan mustahil adanya.<br />“Kami memang dari bangsa jin yang tidak alim!” Ungkap perempuan gendut itu. “Asal kau tahu saja…kami memang selalu mengadakan perkawinan silang dengan manusia. Hal ini guna memperoleh keturunan yang lebih bermutu dan berkwalitas. Karena kami dari bangsa jin di kawasan ini ingin mensejajarkan diri dengan makhluk manusia yang kami anggap lebih tinggi derajatnya dari bangsa jin,” tambahnya menjelaskan dengan panjang lebar.<br />Cukup lama aku termenung dan tertegun. Aku menjadi sangat bodoh, sebab tak mampu berkomentar. Aku hanya bisa manggut-manggut, seolah-olah memahami apa yang dijelaskannya barusan.<br />“Bagaimana? Apakah kamu bersedia membantu kami?” Perempuan itu menatapku dalam-dalam.<br />“Gimana ya…?” Aku masih bingung. “Soalnya, tadi telah saya katakan, bahwa saya telah berumah tangga,” kataku menjelaskan sejujurnya.<br />“Itu tidak bisa dijadikan dalih. Karena di bumi, manusia banyak yang punya isteri lebih dari satu!” Kata si perempuan gendut sambil nyengir sinis.<br />Aku terbungkam. Ternyata dia cukup banyak mengetahui tentang ulah manusia selama ini. Tapi, aku sungguh tak sudi menikah dengan makhluk halis, meski putrid si gendut itu sangatlah cantik jelita.<br />Karena aku masih tetap menolak tawarannya, akhirnya aku diamankan di sebuah ruangan khusus dalam kondisi tertutup dan terkunci. Di dalam ruangan itu fasilitasnya sangat lengkap sekali, sehingga aku merasa berada dalam tahanan rumah. Namun, sewaktu berada kesendirian, aku mulai teringat isteriku di rumah yang kutitipkan pada ibu di Medan. <br />Aku masih coba membayangkan wajah Rini, isteriku, ketika pintu terbuka dan wajah perempuan cantik dan ayu yang tadi menemani perempuan gendut itu muncul sambil mengulum senyum. Gadis yang katanya cucu dari pria tua yang menolongku tersebut berjalan dengan langkah terukur bagai seorang pragawati. Dia datang menghampiriku yang sedang duduk dibibir tempat tidur. Kini dia mengenakan gaun terusan yang agak tipis tanpa BH dan celana dalam, sehingga apa yang berada dibaliknya menjadi terlihat sekali. Lekuk-lekuk tubuh yang sensual dan padat, serta bukit kembar di dadanya nampak jelas menonjol. <br />Sejenak ruangan kamar dengan aroma semerbak wewangian itu berubah sangat sunyi. Begitu sunyinya sehingga suara helaan nafasku yang tergetar oleh keindahan wanita di hadapnku seaakan-akan terdengar gemanya. Aku tidak ingin dikatakan munafik. Aaat itu gairah birahiku melonjak tajam. Disamping melihat ada perempuan cantik sekamar denganku, ini juga karena aku sudah cukup lama bekerja di tengah hutan belantara jauh dari godaan seks terhadap wanita cantik. Apalagi perempuan muda di hadapanku kini mulai melucuti pakaiannya, sehingga tubuhnya bugil tanpa sehelai benangpun.<br />Singkat cerita, saat itu aku tak mampu membendung gejolak libidoku. Dan apa yang terjadi selanjutnya, tak perlu kuceritakan secara rinci. Aku seperti anjing kelaparan yang begitu bergairah menikmati mangsanya. Bahkan, hubungan terlarang tersebut terjadi berulang kali, hingga aku pingsan alias tak sadarkan diri. Mungkin akibat kecapekan atau karena pengaruh lainnya.<br />Begitu siuman, aku merasa malu dalam keadaan tubuhku yang telanjang, sebab di dihadapanku ada beberapa orang pria. Mereka adalah pekerja yang melintas di tempat itu, mengangkut kayu gelondongan dengan truk. Katanya, aku ditemui dipinggir jalan di bawah pohon beringin. Ketika itu aku terkapar di sana dalam keadaan setengah sadar.<br />Tidak jauh dari situ, mereka juga menemukan sepeda motorku dalam kondisi berantakan. Karena itulah, untuk sementara aku dinyatakan mengalami kecelakaan, menabrak pohon di pinggir jalan. Namun satu hal yang membuat mereka bingung, kenapa aku bisa terbaring dalam keadaan telanjang bulat.<br />Rupanya, aku telah dikerjai oleh penunggu pohon beringin tua yang dipercayai sangat angker itu. Menurut cerita, kejadian serupa seperti yang kualami pernah juga dialami oleh para pekerja penebangan pohon di tempat itu. Bahkan, suatu ketika ada yang tewas meregang nyawa dalam kondisi alat vital membengkak seukuran biji kelapa.<br />Karena merasa trauma atas kejadian serupa, maka akhirnya aku memutuskan untuk hengkang dari perusahaan tersebut. Aku memilih kembali ke kota Medan, dan ingin mencari pekerjaan yang lebih laik. <br />Setelah peristiwa itu, aku juga mengalami suatu keanehan. Cukup lama aku tak mampu memberi nafkah batin ke isteriku. Lebih aneh lagi, kurang sembilan bulan kemudian,. aku dan isteriku sering mendengar tangisan bayi dekat tempat tidur kami. Kami sibuk mencarinya hingga ke bawah kolong ranjang ranjang. <br />Menduga rumah itu telah dihuni oleh setan, aku memutuskan cari kontrakan lain. Di tempat yang baru, tangisan bayi itu masih terdengar. Artinya dia terus mengikuti kemana aku pindah. <br />Karena keanehan ini, akhirnya mempertanyakannya kepada Pak Suparlan, orang pintar di lingkungan tempat tinggalku.<br />“Itu darah dagingmu…!” Jawab Pak Suparlan yang menguasai ilmu gaib.<br />Tentu saja aku bingung dan heran. Apa mungkin persetubuhan gaibku dengan sosok perempuan jin bisa membuat kehamilan? Untuk menjaga ketenangan dalam rumah tangga, aku minta pada sang paranormal agar memberikan solusi menghilangkan suara tangisan bayi tersebut, sehingga tidak terdengar lari.<br />“Kalau sekedar meredam suara tangisnya mungkin bisa, tapi kalau untuk mengusirnya tidak mungkin. Karena dia adalah darah dagingmu yang akan terus membayangi langkahmu kapan dan di mana saja.” Ungkap Pak Suparlan.<br />Aku semakin tak mengerti. Tapi kuserahkan semua ini hanya kepada Allah SWT.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-70473053242131529992008-12-01T20:14:00.000-08:002008-12-01T20:21:03.843-08:00GENDERUWO ITU NYARIS MENYETUBUHI IBUKU<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-84FBXj9Xz7dGd2kIixqILwkZJHNf_UXwlQDDq3L-jlN9YIiWX4eDPkOku4j71tjul0sTZ4qMByTBUZyyjcbPm4Iu4Sz6eKBU3En_o9vXAMZPLGDmzR_bMb7gTDyMg9VAPWDbFUnW1zDE/s1600-h/ms80.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 218px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-84FBXj9Xz7dGd2kIixqILwkZJHNf_UXwlQDDq3L-jlN9YIiWX4eDPkOku4j71tjul0sTZ4qMByTBUZyyjcbPm4Iu4Sz6eKBU3En_o9vXAMZPLGDmzR_bMb7gTDyMg9VAPWDbFUnW1zDE/s320/ms80.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275042911670223922" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Kalau saja Tuhan tidak mengarunai diriku dengan kemampuan melihat makhluk halus, niscaya Ibuku telah menjadi korban pelecehan seks yang dilakukan oleh bangsa gaib. Ya, genderuwo itu berniat menyetubuhi Ibuku. Celakanya, Ibu melihat makhluk jahanam ini sebagai wujud Bapakku….</span><br /><br />Genderuwo adalah sejenis jin kafir dari kalangan Ifrit yang namanya dikenal oleh masyarakat. Terutama oleh masyarakat Jawa. Jin ini konon sangat gemar berhubungan seks dengan bangsa manusia.<br />Menurut cerita, genderuwo sangat suka bersemayam di dalam rahim atau vagina seorang wanita. Maka tak heran, selain faktor biologis, konon seorang wanita yang mengidap kelainan hiperseks, diyakini dalam rahimnya telah dicokoli oleh jin jenis genderuwo ini.<br />Misalnya saja, seorang isteri yang hiperseks karena pengaruh genderuwo, maka dirinya selalu banyak menuntut pada suaminya agar selalu berhubungan seks dengannya. Seakan dia tak pernah lelah meski melakukannya berkali-kali. Jika sang suami tidak dapat memuaskannya, maka wanita ini tak segan-segan mencari pasangan lain di luar nikah.<br />Tentu ini tidak saja merugikan suami yang ditinggalkannya, tapi juga si wanita itu sendiri. Karena genderuwo mendapat kepuasan dari si wanita tiap kali wanita itu melakukan olah asmara bersama lelaki lain. <br />Dan sebaliknya, tak jarang sosok genderuwo juga kerap menyamar sebagai seorang suami dari isteri yang ditinggalkannya. Tujuannya tak lain untuk melakukan hubungan seks.<br />Berikut sebuah pengalaman yang dituturkan oleh Pak Ismawan, yang kini bekerja sebagai pegawai di salah satu Kantor Pos di wilayah Terisi, Indramayu. Dia berhasil menggagalkan genderuwo yang nyaris menyetubuhi ibunya. Kisah selengkapnya seperti yang diceritakan Pak Ismawan kepada Penulis. Berikut selengkapnya…:<br /><span class="fullpost"><br />Peristiwa ini terjadi beberapa puluh tahun yang silam. Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas 5 SD. Aku dan keluargaku masih tinggal di kampung Muara Baru, Jakarta Utara. Dan di kampung itu keluargaku tergolong paling berada. Ayahku adalah seorang pedagang yang memiliki beberapa kios besar, yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga. Bapakku juga memiliki 2 buah mobil angkutan. <br />Karena keberadaannya, maka tak heran kalau Bapak mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. <br />Dari keempat saudaraku yang lain, aku tergolong anak yang agak aneh. Kedua orangtua dan saudaraku kerapkali melihatku berbicara sendiri dan bermain-main sendiri, seperti laiknya aku sedang bermain dengan teman-teman sebayaku.<br />Memang begitulah yang aku rasakan. Ya, aku tidak pernah meresa berbicara atau bermain sendiri, melainkan ada teman-teman yang selalu menemaniku. Padahal mereka, maksudku orang tua dan suadara-saudaraku, sama sekali tidak melihat teman-teman mainku. <br />“Kamu kok main dan bicara sendirian?” Tanya kakakku.<br />Hal itulah yang membuatku heran. Karena sesungguhnya aku merasa ada seorang bocah yang kira-kira seusia denganku yang mengajakku bermain. Aku sendiri mengenal bocah itu sudah lama. Dia sering datang ke kamarku saat aku sedang sendiri.<br />Kadang bocah itu mengajakku bermain, seperti main petak umpat atau ngobrol-ngobrol layaknya teman-temanku yang lain. Wujud bocah itu berkapala botak, dan hanya mengenakan celana dalam, atau barang kali cawat.<br />Saat itu, kampung Muara Baru memang tidak seperti sekarang. Keadaan lahan pekarangan dan rumah-rumah penduduk kebanyakan masih tampak sederhana. Di kanan kiri jalan, pepohonan besar masih dibiarkan berdiri kokoh. Dan masih banyak lagi jalan dan tempat yang belum direnovasi.<br />Rumahku yang besar belum menggunakan lampu listrik. Jadi, untuk penerangan, kami menggunakan lampu teplok yang dipasang di setiap sudut kamar. Dan di belakang rumahku terdapat sebuah pohon tua. Sejenis pohon bakau. Menurut cerita penduduk sekitar, pohon itu ada penghuninya.<br />Entahlah, mungkin apa yang dikatakan orang itu benar. Karena, aku sendiri mempercayai hal-hal demikian. Lalu, adakah kaitannya antara bocah misterius yang menjadi temanku dengan pohon tua di belakang rumahku itu? <br />Sudah menjadi kebiasaan, Bapakku sering pergi keluar malam dan meninggalkan rumah. Ini harus dia lakukan dikarenakan ada keperluan dinas. Kami semua sudah maklum apa yang dilakukan ayah itu. <br />Seperti hari itu, Bapak juga harus keluar malam untuk urusan pekerjaannya. Namun, tidak seperti malam-malam sebelumnya, keadaan malam itu terasa lain dari biasanya. Jika biasanya masih sore aku sudah tidur, tapi malam itu sepasang mataku sulit sekali untuk kupejamkan. Ibu dan saudara-saudaraku yang lain mungkin sudah tidur. Hanya aku sendiri yang masih melek. <br />Kulirik jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Ah, belum begitu larut malam, pikirku. Tapi, entah kenapa saat itu suasana begitu mencekam. Sesekali aku terbangun dari tempat tidur, lalu kembali rebahan di tempat tidur yang sama. Begitu heningnya malam , hingga lolongan anjing terdengar lantang memecah keheningan.<br />Sesekali pikiranku tertuju pada sosok bocah misterius yang sering datang ke kamarku. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu siapa sesesungguhnya dia? Di mana rumahnya? Dan kemana tiap kali dia pergi? Dia selalu datang tiba-tiba tanpa kutahu dari mana munjculnya. Dan saat itu aku sendiri,\ tak pernah menanyakan dia tentang tempat tinggalnya.<br />Bocah sahabatku itu benar-benar aneh. Barangkali dia sosok tuyul, seperti cerita-cerita orang yang katanya suka mencuri uang. Namun, entah kenapa aku tidak merasa takut sama sekali dengan kehadirannya. Bukan karena aku tidak mempercayai cerita-cerita seputar keberadaan hantu, jin dan sebagainya. Tapi aku merasa ada sesuatu yang membuat diriku tidak takut dengan hal-hal demikian. Terutama sekaitan dengan bocah plontos itu.<br />Belum selesai aku berpikir tentang keanehan anak kecil itu, aku dikejutkan oleh suara langkah berat di luar kamarku. Suara langkah kaki itu datangnya dari ruang tamu. Seperti orang baru masuk dari luar. Aku bangkit dari tempat tidur dan segera menuju pintu kamar yang kebetulan berdekatan denga ruang tamu.<br />Aku mengendap-endap di balik pintu sambil mengintip dari lubang kunci untuk mengetahui siapa orang di ruang tamu itu. Dan apa yang kulihat kemudian? Jantungku nyaris saja copot saat kulihat makhluk tinggi besat yang sangat menyeramkan. Ya, aku dapat melihat dengan jelas karena cahaya lampu teplok di ruang tamu cukup terang. <br />Makhluk hitam legam itu telanjang dan berbulu lebat menutupi seluruh tubuhnya. Kepalanya bertanduk, gigi-giginya bertaring, dan sepasang matanya memancarkan sinar kemerahan. Aku mencoba menahan diri dan memperhatkan kemana langkah makhluk itu pergi. <br />Rupanya, setelah kuperhatikan, makhluk itu memasuki kamar ibuku. “Apa ini yang dinamakan genderuwo. Lalu mau apa dia masuk ke kamar Ibuku?” Bisikku dalam hati.<br />Perlahan aku melangkah keluar kamar dan menguntit makhluk itu. Seperti ada kekuatan yang menggerakkan seluruh tubuhku agar terus mengikutinya. Entah saat itu, aku tidak takut sama sekali. Yang ada dalam benakku adalah rasa penasaran bercampur cemas dengan sesuatu yang akan terjadi pada diri ibuku.<br />Benar saja. Di dalam kamar, sepertinya ibu tengah berbincang-bincang dengan makhluk itu. Aneh, Ibu seperti laiknya sedang bercengkrama bersama Bapakku. <br />“Tumben, kenapa Bapak balik lagi?” Tanya Ibu yang sekali lagi membuatku heran.<br />Aneh, kenapa Ibu tidak takut sama sekali dengan makhluk itu? Dan kenapa dia memanggilnya dengan Bapak? <br />Menyadari keanehan ini, walau masih kecil aku sempat berpikir, mungkin dalam penglihatan Ibu, sosok genderuwo itu adalah Bapak yang kembali pulang setelah sore tadi berpamitan pergi. Kini aku sadar kalau Ibu telah terkena pengaruh gaib, hingga pandangannya terbalik, dan seakan-akan melihat Bapak.<br />Meski kecurigaanku semakin memuncak, namun sejauh ini aku belum berindak apa-apa. Aku masih terus mengendap-endap di luar pintu kamar Ibu, menunggu perkembangan selanjutnya. Hingga beberapa lama kemudian, aku melihat gelagat kurang baik. Sehabis basa-basi seperti laiknya Bapakku yang asli, kemudian makhluk itu mengajak ibu untuk berhubungan intim. Anehnya, Ibu sama sekali tidak menolak ajakannya. <br />Gila! Kini sepertinya Ibu mulai merebahkan tubuhnya diranjang. Ah, aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus segera bertindak cepat untuk mencegah perbuatan iblis itu. Dan…<br />Brak!! Aku mendorong pintu kamar dengan keras. Tindakanku ini membuat mereka sangat terkejut. <br />Makhluk yang ada di samping Ibu dan siap melepas pakaian Ibu, menatap tajam ke arahku. Sedang ibu nampak marah atas tindakanku. <br />“Sis, apa-apaan kamu ini? Masuk kamar orang tuaku dengan cara tidak sopan?” Tanya Ibu sambil menatapku dengan berang.<br />“Maaf, Bu. Aku hanya mengingatkan bahwa yang di hadapan Ibu itu bukan Bapak. Dia… dia iblis yang akan memperkosa ibu!” Jelasku sambil menahan amarah pada makhluk itu.<br />“Apa kamu bilang? Teganya kamu bilang Bapakmu ini Iblis. Dia Bapakmu yang baru datang!” Bantah Ibuku dengan sengit.<br />Dengan sengit pula aku membalasnya, “Bukan! Dia makhluk halus yang menyamar sebagai ayah. “Cepat…ibu menyingkir dari!”<br />Tanpa buang waktu lagi, aku langsung saja mengambil bantal dan menubruknya. Lantas, bantal itu langsung kuhajarkan pada makhluk yang masih berdiri menatapku.<br />“Pergi kau Iblis. Pergi dari sini. Jangan ganggu Ibu!” Teriakku dengan geram.<br />Berkali-kali aku memukul tubuh makhluk menyeramkan itu dengan bantal. Untuk sementara, makhluk itu diam tak berkutik. Sedang ibu tampak berusaha mencegahku. <br />“Sudah! Sudah cukup! Kamu ini keterlaluan, Sis!” Ibuku rupanya belum juga sadar dengan apa yang ada di hadapannya. Dia masih yakin, bahwa itu adalah Bapak yang asli.<br />“Bu…kenapa sih ibu belum juga sadar kalau dia bukan Bapak yang sebenarnya? Dia itu genderuwo!”<br />Setelah aku berucap demikian, makhluk itu nampak sangat geram. Dengan sorot mata yang tajam dia menatapku. Perlahan, dia mulai mendekat dan berusah mencekikku. Kini, Ibu mulai curiga dengan orang yang dikira suaminya itu. Apalagi dengan apa yang akan dilakukannya terhadap diriku. Ditambah, aku yang terus menangis dan meronta. <br />Maka atas dorongan nalurinya, mulailah Ibu membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Lalu apa yang terjadi kemudian? <br />Benar saja. Saat Ibu membaca ayat-ayat suci, makhluk itu berubah ke wujud aslinya. Ya, di hadapan kami, makhluk itu menggeram dan kesakitan. <br />Sekarang Ibu baru yakin dengan ucapanku, bahwa yang terlihat di hadapannya bukanlah Bapak, melainkan genderuwo yang menyamar sebagai Bapak. Ibu pun memperkeras bacaan Ayat Qursy-nya, hingga akhirnya makhluk itu lenyap dari hadapan kami. Ibu langsung memelukku dengan penuh haru dan ketakutan. Aku hanya diam sambil menangis sesunggukan.<br />Saudara-saudaraku yang sudah tidur, rupanya mendengar kegaduhan di kamar Ibu. Mereka mendatangi kami yang masih trauma dengan kejadian tadi. Mereka menanyakan apa yang tengah terjadi sesungguhnya. Setelah aku dan Ibu mulai tenang, Ibuku menceritakan peristiwa yang baru kami alami. Mereka yang mendengarnya terkejut dan takut.<br />Esok harinya, Bapak pulang. Beliau juga sangat terkejut dengan cerita itu. Maka, sejak saat itu, Bapak berjanji tidak akan pergi dinas malam hari. Takut peristiwa itu terulang lagi. Beliau pun sangat berterima kasih dan salut padaku, yang dengan gigih menentang genderuwo yang hendak memperkosa Ibu.<br />Mengenai pohon yang mirip pohon bakau di belakang rumah, Bapak membenarkan bahwa pohon itu memang sangat angker. Dan kami menyimpulkan bahwa genderuwo itu adalah makhluk yang menghuni pohon tersebut. Bapak berjanji akan segera menebang pohon tersebut.<br />Seminggu kemudian, Bapak benar-benar menumbangkan pohon angker itu. Namun sebelumnya terlebih daulu diadakan ritual kecil. Dan mengenai anak kecil yang sering ke rumahku, tidak pernah datang lagi. Lalu mengenai diriku yang bisa melihat hal-hal yang orang lain jarang sekali melihatnya, masih menjadi tanda tanya hingga saat ini.<br />Tapi, aku bersyukur dengan keadaanku. Mungkin ini adalah anugerah yang diberikan Tuhan. Entah apa jadinya dengan Ibuku, seandainya aku tak memiliki kelebihan tersebut. <br />Kini, peristiwa itu telah lama berlalu. Dan kedua orangtuaku pun telah tiada. Namun peristiwa itu masih membekas dalam ingatanku.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-1357376336976228992008-12-01T20:01:00.000-08:002008-12-01T20:13:30.912-08:00KESAKSIAN ARWAH NYAI WARSINAH<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUE7DInBxQYfNelF8T_0oXyebnRKgvZCD-zfG8pWAYdMDozQTlSjpKJ8bPCO2oatPZozkKt2-T_Y0zDfZwbaKGZn3ae1ZcBrzYDgu9j35H1mgo6oTw7LMSkQa1E7NQI3ZwAOkcmbL3bPpq/s1600-h/ms72.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 167px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUE7DInBxQYfNelF8T_0oXyebnRKgvZCD-zfG8pWAYdMDozQTlSjpKJ8bPCO2oatPZozkKt2-T_Y0zDfZwbaKGZn3ae1ZcBrzYDgu9j35H1mgo6oTw7LMSkQa1E7NQI3ZwAOkcmbL3bPpq/s320/ms72.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275040987144871010" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Semasa hidupnya dia adalah Nyai peliharaan seorang Meneer Belanda. Dia mati setelah diperkosa para algojo bayaran isteri sang Meneer yang cemburu. Tak puas sampai di situ, isteri sang Meneer juga memerintahkan para alogojonya untuk memotong-motong tubuh Warsinah, yang kemudian di kubur di bawah lantai kamar. Bagaimana kisah selanjutnya…?</span><br /><br />Rumah kuno itu telah berkali-kali dikontrak orang. Anehnya, semua orang yang pernah mengontraknya, rata-rata tidak ada yang pernah betah atau kerasan. Paling-paling hanya bertahan satu atau dua bulan menempatinya. Entah apa alasannya, tak seorang pun dari mereka yang memberikan keterangan atau alasan. Memang, ada sesuatu yang unik. Setiap orang yang keluar dari rumah kontrakan itu, rata-rata tutup mulut dan tak mau bercerita. <br />Adalah Pak Sarmad, si pemilik rumah gedung kuno tersebut. Mungkin, dia sendirilah yang mengetahui apa sebab-sebabnya si pengontrak rumah rata-rata hengkang dalam waktu yang singkat. Entah apa yang terjadi di sana? <br /><span class="fullpost"><br />Yang terakhir kali mengontrak atau menempati rumah tua itu adalah keluarga Pak Burhan. Bersama dua orang anak dan istrinya, serta seorang pembantu rumah tangga, mereka tinggal di rumah kontrakan itu. Namun baru sepuluh hari menempati rumah tersebut, ada kesaksian yang cukup membuat bulu kuduk merinding.<br /> “Semalam saya mendengar ada suara seorang wanita menangis, lalu saya bangun dan mencari sumber suara tangisan tersebut. Tapi baru saja saya melangkah dari pintu kamar, hih, di depan mata saya terlihat ada sepotong kepala seorang wanita tergeletak di lantai, di depan pintu kamar Nyonya!” Tutur B Nuri, pembantu rumah tangga di rumah itu, kepada isteri Pak Burhan.<br />Pada mulanya isteri Pak Burhan tidak percaya pada cerita Bi Nuri, yang dikiranya cuma mengada-ada saja. Namun ketika pada suatu malam, saat suaminya sedang ditugaskan keluar kota dan dia sedang tidur sendirian di kamarnya, isteri Pak Burhan ini menjerit-jerit ngeri karena melihat ada sesosok tubuh tanpa kepala, kemudian hilang lenyap di sepanjang lantai kamar yang terbuat dari semen yang retak-retak.<br /> “SSelain saya melihat ada sesosok tubuh tanpa kepala, juga pada keesokan malamnya saya melihat pula ada sepasang tangan yang melayang-layang di dalam kamar tidur kita,” tutur isteri Pak pada suatu pagi, tatkala Pak Burhan hendak berangkat kerja. “Bukan cuma itu saja kok, Mas! Si Nuri, pembantu kita, malah pernah ditarik-tarik kakinya selagi tidur oleh tangan-tangan yang menyeramkan!”<br /> “Ah, mungkin kau dan si Nuri cuma bermimpi barangkali!” Tukas Burhan tak percaya pada kata-kata isterinya yang berbau takhayul itu. “Mana mungkin sih ada hantu di abad modern seperti sekarang ini?” Tambahnya menegaskan.<br />Burhan tak peduli dengan ketakutan isterinya. Hingga pada malam Selasa Wage itu, dia merasa sulit sekali untuk tidur. Sebentar-sebentar dia meneguk kopi panas, sehingga tubuhnya agak sedikit menjadi berkeringat dan matanya menjadi tidak mengantuk. Sementara isterinya bersama kedua anaknya telah tidur. Namun Burhan sendiri tidak tahu pasti, apakah isterinya sudah tertidur pulas, atau hanya sekedar berbaring diam-diam membelakanginya. Sementara lampu kamar sengaja tidak dimatikan, sehingga ruang kamar terang benderang. Maksudnya agar mengurangi ketakutan isterinya.<br />Tiba-tiba, menjelang dini hari itu, sayup-sayup Burhan mendengar suara bunyi ketukan pada lantai kamar. Suara ketukan itu kian lama semakin bertambah cepat. Malah suaranya tidak dari satu arah saja, tapi seluruh dinding tembok kamar bagai turut mengantarkan bunyi suara ketukan itu ke telinganya. Hati Burhan berdebar-debar. Dia mulai tegang.<br />Sambil memiringkan sedikit tubuhnya, Burhan turun dari tempat tidur. Betapa kagetnya dia, karena pada saat itu tiba-tiba dia melihat ada sepasang tangan yang amat menyeramkan, melayang-layang di sekitar tempat tidur anaknya. Tangan tersebut bagai hendak meraba sesuatu, seperti gerak tangan orang yang tenggelam hendak menjangkau tempat bergantung. Pangkal lengan itu samar-samar tumbuh di sepanjang lantai kamar yang terbikin dari semen yang retak-retak. Terkadang mencuat keluar sampai ke bahunya. Walau Burhan tergolong seorang laki-laki pemberani, namun tak urung tubuhnya menggigil seperti tikus ketakutan dikejar kucing. Selanjutnya tangan-tangan itu menggoyang-goyangkan kaki anaknya yang sedang tidur nyenyak, sehingga anaknya itu terbangun sambil langsung berteriak-teriak ketakutan.<br />“Tolong, Ibu! Tolong Ayah! Tangan setan itu mengganggu lagi!” Teriak si bungsu, yang tidur di tepi ranjang sebelah luar. Pada saat yang hampir bersamaan, isterinya pun turut terbangun pula. Sementara itu, suhu di dalam kamar itu terasa mendadak menjadi sangat dingin. Dingin beku dan seakan melembab.<br />Burhan dapat menyaksikan dengan jelas, ketika secara perlahan-lahan tangan itu kemudian menyusup masuk lagi ke lantai semen yang retak-retak, laksana uap yang ditutup dengan suatu tabir yang tak tampak. Burhan cuma bias bengong saja tanpa dapat berbuat apa-apa, memandang kejadian aneh yang ada di hadapannya. Sementara sang isteri yang ketakutan segera memeluk tubuhnya, diiringi suara tangisan anak mereka yang telah turun dari tempat tidur.<br />Pada pukul tiga dinihari itu juga, Burhan serta keluarga mengemasi seluruh barang-barangnya. Menyusul mohon pamit pada Pak Sarmad, si pemilik rumah yang dikontraknya itu.<br /> “Kami akan meninggalkan rumah Bapak pada malam hari ini juga,” ucap Burhan dengan nafas ngos-ngosan seperti diuber-uber anjing. “Rumah Pak Sarmad ada hantunya, saya dan isteri serta anak-anak baru saja diganggu hantu-hantu itu!”<br />Pak Sarmad tidak merasa terkejut mendengar laporan itu. Wajah tetap tenang. Sementara Burhan menyeka keringat di keningnya dengan pangkal lengannya, seraya sesekali diliriknya rumah yang dikontraknya itu, yang ternyata ada hantunya. Pada malam hari itu juga, rumah kuno yang mengerikan itu ditinggalkan oleh keluarga Burhan.<br /> Setelah keluarga Burhan meninggalkan rumah kuno penuh misteri tersebut, maka terjadilah suatu kejadian yang teramat ganjil. Tiba-tiba seluruh daun pintu dan semua daun jendela kamar terbuka dengan sendirinya. Seolah-olah penghuni rumah yang tak tampak itu merasa kecewa, karena kini sudah tidak ada lagi orang-orang yang akan menemaninya di dalam rumah itu.<br />Berhubung rumah kuno itu letaknya cukup strategis dan cukup menarik serta tarip sewanya tidak terlalu mahal, maka belum ada satu minggu, ada saja orang yang berminat ingin menempatinya. Kali ini yang mengontrak adalah seorang janda muda beranak tiga bernama: Santika. Dia merasa tertarik dengan rumah itu lantaran halamannya luas. Dia berniat hendak membuka warung rokok plus berjualan makanan kecil di depan rumah itu. <br />Semula Pak Sarmad masih agak ragu-ragu. Kasihan bila nantinya janda muda beranak tiga itu diganggu oleh hantu penunggu rumah tersebut. Tetapi akhirnya dia menerima juga tawaran Santika untuk mengontrak rumah miliknya yang angker itu.<br />Selama tiga hari berturut-turut janda muda beranak tiga bernama Santika itu mendiami rumah gedung tua tersebut memang tidak terjadi apa-apa. Santika merasa senang juga hatinya ketika pada suatu hari Pak Sarmad memberikannya satu tandan pisang Ambon hasil kebunnya. Mungkin karena Pak Sarmad merasa kasihan melihat pada ketiga anak Santika yang masih kecil-kecil dan sudah yatim itu. Terlebih-lebih lagi ketika Santika menceritakan, bahwa suaminya mati karena disantet. Korban guna-guna dari saingan dagang suaminya, yang merasa syirik melihat usaha suaminya berkembang pesat. Keberhasilan suami Samtika sebagai agen rokok dan pedagang makanan kecil ternyata membuat iri hati saingan dagangnya. Demikianlah cerita janda muda beranak tiga berasal dari kota Tegal kepada Pak Sarmad. <br />Santika sendiri adalah tamatan sekolah guru. Sebelum menikah dia pernah mengajar di sekolah dasar dan kemudian menikah dengan seseorang pengusaha agen rokok. Dengan berbekal sedikit warisan almarhum suaminya, kini Santika berniat hendak membuka warung rokok sebagai penghasilannya setiap hari demi membesarkan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil.<br />Rupanya, makhluk gaib tidak sudi memikirkan keadaan manusia yang mendiami rumah kuno celaka tersebut. Tepat pada hari ketujuh belas, yaitu pada malam Jum’at Kliwon, saat jam telah menunjukkan pukul satu dini hari, Santika dikejutkan oleh jeritan anaknya yang pertama, yang sudah pandai bicara. <br />Santika mendekap anaknya sambil membujuk: “Ada apa, Adi? Kok malam-malam begini menjerit-jerit?”<br /> “Ada tangan-tangan yang menyeramkan, B!” Jawab Adi, anaknya, sambil menunjuk ke lantai di bawah tempat tidur yang tampak retak-retak. “Tangan itu barusan saja menarik-narik kaki Adi, Bu!”<br />“Tangan?” Tanya Santika. “Maksud Adi tangan siapa?” Dia mendesak anaknya agar segera berkata yang sebenarnya. Sementara anaknya yang kedua dan paling bungsu juga turut terbangun pula. Anak-anak yang masih berusia di bawah tujuh tahun terkadang memang mempunyai perasaan yang peka. Sebentar saja ketiga anak Santika itu langsung saja menangis di tengah malam. Santika mencoba untuk membujuk, guna mendiamkan ketiga anaknya yang sedang menangis, namun sia-sia. Malah mereka semakin bertambah menangis kian menjadi.<br />Santika diam terpaku, duduk di tepi tempat tidur, sambil memandang lantai yang retak-retak yang ditunjuk tadi oleh Adi. Karena hidupnya telah cukup lama menderita, sejak suaminya mati disantet, maka membuat perempuan bernama Santika ini menjadi tabah menghadapi segala persoalan. Selama Santika hidup menjanda dan menanggung beban ketiga anak yang didapatnya dari suaminya, menyebabkan dia agak sukar dilamar oleh lelaki sebagai isteri. Ada juga beberapa duda yang telah mempunyai anak, pernah ingin menikahinya. Tetapi Santika sudah bertekad, sebisa-bisanya ingin memikul hidup ketiga anaknya, sekuat tenaga dan kemampuan yang ada pada dirinya.<br />Manusia yang paling penakut pun, dapat berubah nekad dan pemberani bila hidup yang dilalui terlalu keras dan kejam. Salah satu di antaranya adalah janda beranak tiga bernama Santika ini. Dia tidak percaya kalau Allah SWT mentakdirkan rumah yang ditempatinya sekarang ini ada hantunya. Santika merasa yakin bahwa dia berada di pihak yang patut dikasihani oleh Tuhan, apalagi dengan ketiga anak yatim yang dihidupinya. Dan Santika merasa yakin sekali bahwa Tuhan pasti akan selalu melindunginya. Apalagi Santika juga amat rajin sholat. Maka tak heran kalau dia cukup kebal dan tabah dalam menghadapi segala persoalan dan rintangan.<br />Santika terus memandang ke lantai dekat tempat tidur dengan mata terpentang lebar. Sekujur tubuhnya menjadi tegang dan kalut untuk menghadapi segala apa yang bakal terjadi pada ketiga anaknya. Santika dalam sekejab kini telah berubah bagai singa betina yang berusaha melindungi anaknya dari bahaya. Dia menjadi berani dan beringas, siap untuk menghadapi segala apa pun.<br /> “Hei, mengapa kau berbuat usil kepada kami yang malang ini?” Pekik Santika dengan suara lantang, sambil memelukiketiga anaknya. “Kenapa kau ganggu kami yang sudah bernasib malang, malah ingin dibuat sengsara?!”<br />Tiba-tiba terdengar suara gesekan lembut di bawah lantai. Suara tersebut mirip bunyi sesosok tubuh yang terseret dengan paksa. Juga diiringi oleh suara napas sesak seperti orang tercekik. <br />Dengan penuh tabah Santika mendekati tepi tempat tidur. Kini dia dapat melihat jelas ada genangan air yang meresap kembali ke permukaan yang lantainya retak. Tempat itulah tadi yang ditunjuk oleh anaknya, Adi. Benarkah ada tangan yang muncul dari bawah sana?<br />“Apabila kau tidak dapat bicara, maka jawablah dengan ketukan sebagai tanda! Dapatkah kau melakukannya?” tanya Santika dengan suara lantang.<br />Semula cuma sayup-sayup, tapi kemudian semakin bertambah jelas suara ketukan di bawah lantai semen. Santika sejenak terpaku, saking herannya, karena ucapannya dijawab. Sejenak matanya mengamati sekeliling kamar, mencari alat tulis dan kertas.<br />Sambil tetap memeluk ketiga anaknya, Santika mengambil beberapa lembar kertas dan sebuah pensil. Kemudian duduk bersila menghadapi lantai retak yang senantiasa lembab itu.<br />“Apabila kau setan atau hantu, maka jawablah dengan ketukan sebanyak tiga kali. Tetapi jika kau roh manusia, harap jawablah dengan ketukan sebanyak tujuh kali,” ujar Santika dengan penuh tabah, sambil memangku ketiga anaknya di pangkuannya.<br /> Suasana hening sejenak. Pada detik-detik yang menegangkan itu, kemudian terdengar suara bunyi gesekan terseret di bawah lantai dan selanjutnya terdengar bunyi ketukan sebanyak tujuh kali.<br /> “He, ternyata kau adalah roh manusia?” ulang Santika. Kembali terdengar lagi bunyi ketukan sebanyak tujuh kali.<br />Secara tiba-tiba Santika teringat ketika dia pernah menjadi guru sekolah dasar. Selanjutnuya dia mengambil inisiatif; dengan menderetkan seluruh alpabet dari mulai huruf A sampai ke huruf Z dengan pensil di atas lembaran kertas.<br /> “Apabila nanti salah satu dari huruf ini kutunjuk, harap ketuklah jika benar, sebagai salah satu huruf dari namamu,” ujar Santika, yang kini telah berani menurunkan ketiga anak-anaknya dari pangkuannya.<br />Menyusul kemudian, dengan perlahan ujung jari Santika menunjuk mulai dari huruf A sampai pada huruf W, mendadak terdengar bunyi ketukan di bawah lantai. Santika buru-buru menulis huruf W sebagai awal tulisannya. Ketukan yang kedua terdengar saat jari Santika menunjukkan ke huruf A. Dalam tempo yang singkat tersusun rapi semua huruf yang menunjukkan sebuah nama: WARSINAH.<br />Hingga menjelang fajar, Santika menyalin seluruh abjad demi abjad seluruh catatan yang diperolehnya dari hasil ketukan misterius di bawah lantai. Ternyata yang dulu menjadi penghuni rumah, yang sekarang di tempati oleh Santika, adalah seorang Nyai Belanda atau isteri simpanan seorang Meneer Belanda bernama WARSINAH.<br />Menurut pengakuan cerita Nyai Warsinah, dulunya dia pernah tinggal bersama dengan Meneer Peter van Houften sebagai Nyai Belanda sang Meneer. Semula mereka hidup bahagia, namun suatu ketika datanglah isteri Meneer Peter dari negeri Belanda. Saat itu kebetulan Meneer Peter sedang pergi keluar kota untuk suatu urusan dagang. <br />Menurut cerita roh Nyai Warsinah, pada malam hari yang naas itu dia disiksa secara sadis oleh isteri Meneer Peter yang datang bersama para tukang pukulnya.<br />Yang lebih mengerikan lagi Warsinah diperkosa dengan biadab secara bergilir oleh kelima laki-laki algojo itu dihadapan isteri Meneer Peter van Houften. Akibat dilanda cemburu, maka dengan sadis sekali Nyonya Belanda tersebut menghabisi nyawa Nyai Warsinah dengan memotong-motong tubuh wanita malang itu menjadi mayat terpotong tujuh. Selanjutnya mayat si Nyai malang yang terpotong tujuh itu dikubur, lalu disemen, di tengah kamar, tanpa kain kafan sebagai pembalutnya. Sungguh mengerikan!<br />Setelah terjadi dialog yang sangat panjang, akhirnya roh Nyai Warsinah memohon kepada Santika, agar dapat menyampaikan pesannya: yaitu meminta agar Pak Sarmad, si pemilik rumah, sudi menguburkan tulang-tulangnya dengan upacara sewajarnya. Selanjutnya memindahkannya ke tempat pemakaman umum.<br />Sampai pukul enam pagi Santika menuliskan ulang seluruh diktean abjad berangkai sehingga menjadi sebuah riwayat hidup yang singkat. Setelah itu, dia melaporkannya kepada Pak Sarmad.<br />Pada siang harinya Pak Sarmad membongkar lantai kamar yang berubin retak dan senantiasa lembab itu. Ternyata diketemukan tulang belulang Nyai Warsinah masih tetap utuh. Kemudian dengan suatu upacara yang amat sederhana tulang belulang itu dimakamkan di tanah wakaf, dan diberi sebuah nisan kayu bertuliskan nama: WARSINAH.<br />Allah SWT telah menakdirkan bahwa janda Santika yang memiliki tiga orang anak yatim, akhirnya mampu mengakhiri kegelisahan roh penasaran yang tidak terkubur secara sewajarnya.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-86342897331287842912008-12-01T19:46:00.000-08:002008-12-01T20:00:25.166-08:00HANTU PALASIAK<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiREMmyncaCuclfRhP2WCrDuL4BmRUaieHUuYRRH7Z5eaErwmoO9OKnmn5udgRQMrwy9HIdyFp5o9aq8B-WW4WWizWkRH5w6pRxZgxduAHivC3dvcf-Q_8S2cVWoSWkn8Uk_Qj4SciLTTxB/s1600-h/ms68.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 226px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiREMmyncaCuclfRhP2WCrDuL4BmRUaieHUuYRRH7Z5eaErwmoO9OKnmn5udgRQMrwy9HIdyFp5o9aq8B-WW4WWizWkRH5w6pRxZgxduAHivC3dvcf-Q_8S2cVWoSWkn8Uk_Qj4SciLTTxB/s320/ms68.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275037602589020994" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Di Eropa sana ada Vampir atau Drakula. Mereka makhluk jadi-jadian yang senang menghisap darah. Di Tanah Minang juga ada makhluk sejenis. Palasiak atau Palasik, namanya. Seperti apa sepak terjang hantu jadi-jadian ini? Berikut salah satu kisahnya….</span><br /><br />Bagi orang Minang, kepercayaan pada Hantu Palasiak atau Palasik sama dengan kepercayaan Leak bagi masyarakat Bali, atau Kuyang bagi orang Kalimantan. Hantu Palasiak ini memang sudah lama tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Minang, terutama yang tinggal di pelosok Desa Sumatera Barat.<br />Cerita tentang Hantu Palasiak ini sering pula dituturkan oleh salah seorang saudara ayah Misteri, yang memang berasal dari Ranah Minang. Menurut saudara ayah itu, ilmu hitam Palasik merupakan warisan turun temurun masyarakat Minah yang ada sejak zaman dahulu kala. Konon, mereka yang menganut ilmu ini biasanya akan membentuk komunitas tersendiri dalam masyarakat.<br />Mereka dulu sangat dikucilkan oleh warga di sekitarnya. Konon, di zaman dahulu kala mereka hanya bisa menikah dengan sesama keturunan Palasiak. Tapi, di zaman sekarang ini, masyarakat sudah bisa menerima keberadaan mereka. Disamping itu, keberadaan mereka juga sulit untuk dikenali.<br /><span class="fullpost"><br />Meskipun seseorang mewarisi darah keturunan Palasik dari leluhur, namun bukan berarti secara otomatis mereka akan menjadi Hantu Palasiak. Ada ritual yang harus dilaksanakan untuk bisa menguasai ilmu hitam yang satu ini, sehingga tidak setiap turunan Palasik menjadi Palasik seperti leluhurnya.<br />Mengapa orang Minang punya ilmu Palasik? Dari mana asal muasal ilmu ini sebenarnya. Siapa pula orang pertama yang mengajarkannya, dan di daerah mana tempat asal ilmu yang masih sangat misterius ini? <br />Tentu saja tak mudah untuk menjawab deretan pertanyaan tersebut. Kita berharap, semoga ada saudara kita yang berasal dari Ranah Minang bisa menjelaskanya pada pembaca setia majalah kasayangan ini.<br />Meski misteri masih menyelimutinya, yang jelas Hantu Palasiak dapat diyakini benar ada dalam kenyataan. Hal ini setidaknya seperti yang dialami sendiri oleh saudara sepupu Misteri. Sebut saja Dasri, namanya. <br />Kisahnya terjadi 20 tahun yang lalu. Saat itu, Dasri baru duduk di kelas IV SD, usianya 10 tahun. Ketika itu musim libur panjang sekolah bertepatan dengan bulan Ramadhan. Ayah Dasri yang berasal dari Dusun Taratai, Desa Sungai Tarab, Batusangkar, berniat mengajak seluruh keluarganya pulang ke kampung halamannya yang jauh terpencil itu. <br />Rencana ayah Dasri ini tentu saja disambut gembira, terutama oleh dasri. Apalagi, sudah lima tahun ini Dasri tidak bertemu dengan kakek dan nenek, serta saudara-suadara sepupunya yang tinggal di sana. <br />Pada hari Minggu siang mereka berangkat dengan bus jurusan Medan-Bukittinggi. Sekitar pukul 8 pagi, bus yang ditumpangi Dasri bersama kedua orangtuanya, meninggalkan kantor pusatnya di Jl. Amaliun, Medan. Setelah melewati batas wilayah kota Medan, bus tancap gas. Semua bangku sudah terisi penuh, termasuk bangku tempel yang tersedia untuk penumpang yang menyetop di jalan. <br />Setelah menempuh perjalanan selama 15 jam, bus tiba di terminal Aur Kuning, Bukittinggi, menjelang pukul 10 pagi berikutnya. Perjalanan menuju Batusangkar dilanjutkan dengan menumpang angkutan antar kota dalam propinsi. Angkutan desa hanya sampai di ibu kota kecamatan saja. Menuju Desa Sungai Tarap, harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 5 km.<br />Ada beberapa warga satu kampung dengan ayah Dasri berjalan bersama menuju desa kelahiran mereka. Mereka terlihat bercerita akrab sekali. Memasuki desa Sungai Tarap, udara dingin pegunungan menyambut kedatangan Dasri. Sawah-sawah terbentang luas di lereng-lereng bukit. Rumah gadang berdiri megah di sepanjang jalan yang dilalui. <br />Tiba di rumah Anggut, sebutan kakek bagi orang Minang, saudara dan sanak kadang sudah berkumpul menyambut kedatangan Dasri bersama kedua orangtuanya. Dalam tempo sekejap saja, rumah Anggut yang luas berbentuk rumah gadang penuh oleh sanak saudara dan kerabat ayah Dasri. <br />Berita kedatangan ayah Dasri menyebar dari mulut ke mulut ke pelosok kampung. Apalagi pada malam harinya. Teman-teman ayah Dasri semasa kecil berdatangan menemuinya untuk melepas rindu dan mengenang kembali masa-masa indah dahulu. Mereka berbincang-bincang hingga larut malam.<br />Dua hari di kampung, akhirnya tiba juga hari pekan di desa itu. Dasri diajak ayahnya melihat suasana pekan. Waktu itu turut pula bersama mereka dua orang saudara sepupu Dasri, yakni Budin dan Durin. Usia kedua anak ini sebaya dengan Dasri. Tinggi dan besar, badan juga sama. Yang membedakan warna kulit tubuh mereka. Mungkin karena tinggal di kota, kulit wajah dan tubuh Dasri terlihat putih bersih. Berbeda dengan Budin dan Durin. Kulit kedua anak ini hitam pekat karena setiap hari terjemur di atas teriknya sinar matahari. Jika tidak berada di sawah membantu orangtua merumput, pagi-pagi sekali mereka pergi mengembalakan kerbau.<br />Dalam perjalanan ke lokasi pecan itu, ayah Dasri selalu menyapa dengan ramah setiap warga desa yang ditemui atau berpapasan di tengah jalan. Mereka menyalami ayah Dasri dengan ramah pula, seraya bertanya tentang kabar dan kapan datangnya.<br />Sementara itu, Dasri dan dua orang saudara sepupunya saling bercerita dan bercanda dalam perjalanan itu. Meski baru dua hari bertemu, namun mereka sudah kelihatan sangat akrab. <br />Sampai akhirnya di sebuah tikungan jalan desa, mereka melewati sebuah rumah gadang yang lumayan megah. Pemilik rumah itu memanggil ayah Dasri.<br />“Singgahlah dulu kemari. Pasar masih sepi!” Kata si pemilik rumah, seorang kakek berusia lanjut, menawari ayah Dasri singgah di rumahnya.<br />Karena menghormati tawaran itu, Ayah Dasri memutuskan singgah ke rumah gadang milik si kakek. Dia juga mengajak Dasri dan dua saudara sepupunya untuk singgah barang sebentar di rumah itu. Tapi, kedua saudara sepupu Dasri berkeras melarang. Budin menggelengkan wajahnya agar Dasri jangan mengikuti ayahnya. Tapi Dasri tetap mengikuti ayahnya berjalan memasuki pekarangan rumah gadang milik si kakek yang sepertinya amat ramah dan baik hati itu.<br />Dasri dituntun ayahnya melewati jembatan terbuat dari batang bambu. Sementara. dua saudara sepupu Dasri hanya berdiri termangu di pinggir jalan. Berulangkali mereka menggelengkan wajahnya, yang memberi isyarat agar Dasri jangan ikut singgah di rumah gadang itu. Hingga wajah keduanya berubah menjadi pucat, Darsi tetap tak peduli. <br />Kenapa Budin dan Durin melarang Dasri singgah di rumah itu? Mereka tahu persis pemilik rumah itu adalah suami isteri penganut Palasik.<br />Rumah itu memang terlihat sangat sunyi, seperti tidak ada penghuni lain kecuali seorang kakek dan nenek yang sudah sangat renta. Diketahui, pemilik rumah itu bernama Anggut Adam. Usianya sudah mencapai 78 tahun. Sedangkan isterinya, Niek Syamsidah, usianya sekitar 70 tahun.<br />Rambut kedua pasangan itu sudah memutih, dan kulit tubuhnya hitam keriput. Meski begitu gigi mereka masih utuh, walau nampak hitam berkarat. <br />Dasri dan ayahnya duduk di ruang tamu, membelakangi kamar tidur si pemilik rumah. Sesaat kemudian, Niek Syamsidah menghidangkan kopi dan ketan hitam. Nenek renta inipun duduk di sisi suaminya.<br />“Berapa anakmu sekarang?” Tanya Niek Syamsidah.<br />“Baru satu, Niek!” Jawab ayah Dasri.<br />“Bawalah isterimu kemari!” Anggut Adam memberi tawaran.<br />“Nantilah di lain waktu,” jawab Ayah Dasri.<br />Perbincangan pun berjalan dengan akrab. Sampai setelah hampir setengah jam di rumah Anggut Adam, Dasri mengajak ayahnya pergi ke pekan. Mereka pun segera berpamitan. <br />Anggut Adam dan isterinya mencoba menahan ayah Dasri agar lebih lama lagi berada di rumahnya. Tapi Dasri terus merengek meminta ayahnya agar meninggalkan rumah Anggut Adam. Dia tak sabar ingin melihat suasana hari pekan di desa. Anggut Adam dan isterinya melepas kepergian tamunya hingga ke pekarangan rumah.<br />“Siapa nama anakmu?” Tanya Niek Syamsiah.<br />“Dasri!” Jawab ayah Dasri.<br />“Kapan-kapan main-main kemari lagi. Anggap ini rumah anggutmu sendiri,” kata Anggut Adam ramah, melepas kepergian Dasri bersama ayahnya. <br />Saat keluar dari rumah gadang milik Anggut Adam, warga desa terlihat berjalan berbondong-bondong lewat di depan rumah Anggut Adam membawa seluruh anggota keluarganya. Memang, di hari pekan itu tidak seorang pun warga desa pergi ke sawah.<br />“Rumah anggut Adam terlihat seram ya. Tidak terurus!” Cerus Dasri dalam perjalanan.<br />“Maklum, mereka kan tinggal berdua di rumah itu. Pergi pagi ke sawah dan pulangnya menjelang senja. Jadi mereka tidak punya waktu untuk mengurus rumah,” jawab ayah Dasri.<br />Setelah mendapat jawaban itu, Dasri tidak lagi bertanya pada ayahnya. Apalagi setibanya di lokasi pecan suasana memang sangat ramai. Para pedagang dari kota menjajakan bermacam-macam keperluan warga desa. <br />“Ayah, Dasri mau bermain bersama Budin dan Durin ya!” Mohon Dasri sesaat setelah melihat Budin dan Durin berkumpul bersama dengan teman-temannya.<br />“Pergilah!” Jawab ayah Dasri memberi izin.<br />Dasri pun segera bergabung dengan Budin dan Durin beserta teman-teman sebayanya. Waktu itulah Dasri sempat bertanya begini, “Mengapa kalian berdua tidak mau diajak singgah di rumah Anggut Adam?” <br />“Anggut bersama isterinya itu Palasiak Kuduang,” jawab Budin.<br />“Apa benar Palasiak itu ada?” Tanya Dasri lagi.<br />“Rumah yang kau datangi tadi rumah Palasiak!” Jawab Durin.<br />Sebelumnya, Dasri memang pernah mendengar cerita Hantu Palasiak dari orang-orang Minang yang tinggal di sekitar rumah orang tuanya di Medan. Menurut cerita mereka, Hantu Palasiak itu dapat melepaskan leher dari tubuhnya. <br />Ada beberapa jenis Palasiak. Satu di antaranya adalah Palasiak Kuduang. Disebut Palasiak Kuduang, karena si pemilik ilmu hitam ini dapat memotong kepalanya kemudian memasangnya kembali. Kuduang dalam bahasa Minang artinya potong atau penggal.<br />“Apa itu Palasiak selama ini aku belum pernah mendengarnya?” Tanya Dasri, pura-pura tida tahu.<br />“Apa ayahmu tidak pernah bercerita?” Tanya Budin. Dasri hanya mengggelengkan kepalanya.<br />“Palasiak adalah hantu penghisap darah anak-anak seusiamu. Dia mendatangi mangsanya tengah malam. Anak-anak yang darahnya dihisap Palasiak, wajahnya menjadi pucat dan sering sakit-sakitan,” kata Budin menerangkan.<br />“Mana ada manusia hidup jadi hantu seperti Palasiak itu?” Protes Dasri.<br />“Ada, contohnya Palasiak. Dia menghisap darah, terutama anak-anak yang datang dari kota,” ujar Durin menakuti Dasri.<br />“Mengapa darah anak-anak dari kota yang dihisap Palasiak?” Tanya Dasri, penasaran.<br />“Anak-anak dari kota darahnya manis. Sedangkan anak desa di sini darahnya pahit,” jawab Budin bercanda sembari tertawa.<br />Kedatangan Dasri bersama ayahnya ke rumah Anggut Adam, diceritakan pula oleh Budin dan Durin kepada kedua orangtua mereka. Etek Yusminah, adik ayah Dasri terperanjat mendengar cerita dari Budin. Saat itu juga, dia segera menemui ayah Dasri.<br />“Mengapa Uda bawa Dasri ke rumah Pak Tuo Adam?” Tanyanya.<br />“Beliaukan masih kerabat kita!” Jawab ayah Dasri.<br />“Ya, tapi beliau suami isteri Palasik!” Sahut Etek Yusminah. Kelihatannya dia merasa sangat cemas.<br />“Ah, memangnya masih ada apa ilmu hitam semacam itu di zaman seperti sekarang ini?” Sanggah ayah Dasri.<br />“Mungkin saja, Uda! Sebagaiknya segara bawa Dasri ke rumah Datuk Maruhun, untuk minta jimat penangkal padanya,” saran Etek Yusminah. Tapi saran itu tidak dihiraukan ayah Dasri.<br />Datuk Maruhun adalah satu-satunya orang yang dapat memberikan jimat agar seorang anak tidak dihisap darahnya oleh Palasiak. Namun, ayah Dasri menyangsikan kekhawatiran Etek Yusminah. <br />Dua hari berselang, pada malam sabtu, hujan deras turun sejak sore hari hingga malam harinya. Hingga tengah malam hujan tidak juga reda. Di luar rumah, angin bertiup kencang membut malam sangat dingin dan mencekam. Ayah Dasri malam itu tidak ada di rumah. Setelah mengerjakan shalat Jum’at, dia tidak pulang. Dia hanya berpesan pada Anggut Musa, bahwa malam ini dia akan menginap di rumah Pak Sabirin, teman sebangku ayah waktu sekolah di Makhtab Thawalib, Padangpanjang.<br />Hingga tengah malam, hujan tinggal gerimis. Di luar angin masih juga bertiup kencang. Meskipun sudah memakai selimut tebal, tapi udara dingin masih dapat menembus pori-pori kulit.<br />Tiba-tiba berhembus angin sangat kencang menerpa pintu kamar tidur yang tidak terkunci. Tiupan angina itu mengempaskan pintu kamar. Suaranya sangat keras sehingga Dasri terjaga dari tidur. <br />Dari balik gorden pintu yang terbuka diterbangkan angin, Dasri melihat seraut wajah nenek tua dan kakek tua muncul. Celakanya, hanya leher dan kepalanya saja yang melayang-layang memasuki kamar. Wajah mereka terlihat samar-samar mirip Anggut Adam dan isterinya, Niek Syamsiah.<br />“Apakah mereka ini palasiak?” Hati Dasri diliputi tanda tanya. Tubuhnya gemetaran karena takut.<br />Kedua potongan kakek dan nenek itu terbang di atas tubuh Dasri, dan melayang-layang dengan sangat menakutkan. Dasri tidak dapat berkata apa-apa. Lidahnya seolah-olah terkunci, sehingga tidak dapat berteriak membangunkan anggutnya yang tidur pulas di sisinya. <br />Demikian pula dengan tubuhnya. Kaku dan gemetar, seperti terikat tali sehingga tidak dapat digerakkan. Hanya kedua bola matanya mengikuti kemana kedua potongan kepala itu bergerak. <br />Setelah berputar-putar, akhirnya kedua potongan kepala itu berhenti di ujung jempol kaki Dasri. Dengan rakus keduanya menghisap darah Dasri melalui jempol kakinya. Dasri pun meringis kesakitan. Untunglah dia tidak jatuh pingsan. <br />Setelah puas, kedua potongan kepala itu pergi meninggalkan mangsanya, melayang-layang keluar dari dalam kamar.<br />“Anggut, ada hantu!” Teriak Dasri.<br />Mendadak anggutnya terjaga dari tidur pulasnya. “Ada apa?” Tanyanya.<br />Dasri lalu menceritakan peristiwa yang barusan menimpanya. Sang Anggut harus percaya sepenuhnya, sebab di atas lantai tampak berceceran darah segar hingga ke ruang tamu.<br />“Mereka itu Palasiak!” Gumam sang anggut dengan wajah tuanya yang menegang.<br />Pada pagi harinya, ayah Dasri bersama anggutnya membawa Dasri ke rumah Datuk Maruhun. Pada Datuk Maruhun, Dasri menceritakan kejadian yang menimpanya tadi malam.<br />“Anakmu di hisap Palasiak,” jelas Datuk Maruhun.<br />“Siapa yang tega menghisap darah anakku, Datuk?” Tanya ayah Dasri.<br />Datuk Maruhun tidak dapat menjawabnya. Beliau hanya menggelengkan kepalanya.<br />“Bawa segera pergi anakmu dari kampung kita. Banyak Palasiak yang ingin menghisap darahnya,” saran Datuk Maruhun.<br />Oleh Datuk Maruhun, Dasri diberi jimat yang diikatkan di pergelangan kakinya. <br />Memang, setelah dihisap darahnya oleh palasiak, wajah Dasri pucat, dan tubunnya lemah seperti kekurangan darah. <br />Siang itu juga, berasma ayah dan ibunya Dasri kembali pulang ke Medan. Rencana untuk berlebaran di kampung pun batal…. <br />Lima belas tahun kemudian, Dasri baru berani datang ke kampung halaman ayahnya. Kenangan menakutkan itu memang selalu membuatnya bernyali ciut bila ingin berkunjung ke kampong tersebut.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-47446274537706864782008-12-01T19:40:00.000-08:002008-12-01T19:45:48.902-08:00GARA-GARA MEMAKAN PISANG PERSEMBAHAN RAJA JIN, AKU MENJALANI HUKUMAN DI ALAM GAIB<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjK7wQ65w6YZgcfzlZdn4lgQMYVRCgZT9Cj5TBbME2HGo4Gis5kjx2ZpuRyU3PuuBk3eZp5soavpceUGm6yIGrWU0TlgZ0-1Zc4KgQNfoUPusapuYN5NFJXbFmR8fy3rU4QbyCzcThbbXdC/s1600-h/ms80.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 134px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjK7wQ65w6YZgcfzlZdn4lgQMYVRCgZT9Cj5TBbME2HGo4Gis5kjx2ZpuRyU3PuuBk3eZp5soavpceUGm6yIGrWU0TlgZ0-1Zc4KgQNfoUPusapuYN5NFJXbFmR8fy3rU4QbyCzcThbbXdC/s200/ms80.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275033849046050626" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Kisah ini dialami oleh seorang pecinta alam saat mendaki puncak Gunung Semeru. Di dalam sebuah goa dia menemukan setandan pisang raja. Tak dinyana, pisang tersebut ternyata persembahan untuk raja jin. Dia pun mendapat hukuman yang sangat berat di alam gaib. Bagaimana dia bisa menyelamatkan diri…? </span><br /><br />Kisah yang amat menegangkan ini terjadi sekitar dua bulan yang lalu. Ketika itu aku pergi ke kawasan Gunung Semeru di Jawa Timur, yang kata orang merupakan gunung paling angker di seantoro Tanah Jawa. <br />Bagiku, perjalanan ke puncak gunung merupakan suatu tantangan yang tidak bisa dinilai dengan uang. Bagiku, kegiatan traveling adalah suatu kebahagiaan batin yang tiada tara, karena aku memang tidak punya banyak waktu untuk melakukan kegiatan yang menjadi hobiku sejak masih SMU ini. Karena kesibukan kerja, sudah lama aku tidak bisa melakukan hobiku yang satu ini.<br />Karena perjalanan ke puncak Gunung Semeru ini dibumbui pula dengan suatu kejadian yang berlangsung di luar nalar, maka hal ini benar-benar menjadikan sebuah pengalaman yang tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku. <br /><span class="fullpost"><br />Ya, peristiwa itu benar-benar menyeramkan dan penuh misteri. Dengan mengalaminya sendiri, aku akhirnya kian menyadari bahwa selain dunia manusia ternyata ada dunia lain yang mungkin juga mempunyai peradaban dengan bentuk dan hokum-hukum tersendiri. Aku juga benar-benar bisa membuktikan semua cerita tentang keangkeran Gunung Semuru setelah aku mengalaminya sendiri.<br />Saat itu, aku dan keempat orang temanku telah sampai di sebuah titik ketinggian, namun belum sampai pada puncak Semuru. Untuk sekedar melepas lelah, kami istirahat di dalam sebuah goa yang sangat besar dan gelap. Kebetulan sekali kami menemukan goa itu, sebab tak lama kemudian tiba-tiba hujan turun dengan sangat derasnya. Padahal, sebelumnya tidak ada tanda-tanda alam, seperti mendung, yang selalu mengiringi datangnya hujan.<br />Kami merasa sangat beruntung sebab dengan berada di dalam goa itu tubuh kami tidak kehujanan. Untuk mengusir hawa dingin sekaligus mengatasi kegelapan ruang goa, kami menyalakan lampu yang telah kami desain sedemikian rupa hingga mudah kami bawa. Tak hanya itu, kami juga membuat api unggun dengan menggunakan ranting-ranting kering yang ada di dalam goa. Setelah itu kami pun membakar roti dan bermain gitar sambil bernyanyi riang. Pokoknya kami benar-benar happy saat itu.<br />Satu jam kemudian, hujan mulai reda. Rasa letih, lapar dan dahaga pun telah terobati. Karena itu kami putuskan untuk bergegas melanjutkan perjalanan yang tinggal setengah hari lagi. Kami takut kemalaman sebelum sampai ke puncak gunung tersebut. <br />Sebelum aku meninggalkan goa tersebut, keempat temanku sudah berada di luar goa. Jadi, hanya tinggal aku yang masih berada di dalam. Maklum, aku memang agak lamban memberesi perbekalan yang kuwaba. <br />Setelah semua perbekalanku terbungkus dalam tas rangsel kesayanganku, tiba-tiba aku menemukan setandang pisang raja tergeletak di bawah sebongkah batu besar tak jauh dari tempat kami membuat api unggun tadi. Tanpa perasaan curiga walau sedikitpun, dengan cekatan aku mengambilnya. Bahkan aku juga memetik satu kemudian dengan nikmatnya kumakan oisah itu.<br />Setelah menghabiskan satu pisang itu, keanehan tiba-tiba saja terjadi. Pandangaku jadi kabur, dan detik berikutnya aku tidak bisa melihat sama sekali. Dengan panic aku berteriak memanggil teman-temanku. Untunglah, tidak lama kemudian mereka bergegas datang. <br />“Ada apa, apa yang terjadi denganmu?” Tanya salah seorang temanku.<br />Dengan gugup aku menjawabnya, “Entahlah! Ti…tiba-tiba saja mataku jadi buta. Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi!”<br />Keempat temanku pun sepertinya mulai panik. Setidaknya ini kurasakan dengan ketergesa-gesaan mereka yang menuntunku ke luar dari goa tersebut. <br />Apa yang terjadi kemudian? Benarkah yang datang dan menuntunku ke luar dari dalam goa itu adalah keempat orang teman-temanku?<br />Tidak! Ketika pandanganku kembali normal, maka betapa terperanjatnya aku. Yang menuntunku keluar dari goa itu ternyata bukanlah teman-temanku. Mereka adalah manusia-manusia bertampang seram, dengan wajah rusak dan hancur. Baju mereka memang sama dengan baju-baju temanku, tapi tampang mereka, benar-benar asing dan sangat menyeramkan. Aku berusaha lepas dari cengkraman tangan mereka. Ya, aku berusaha secepatnya kabur.<br />Tapi tangan mereka yang berbulu lebat dan kokoh itu benar-benar membuatku tak berkutik. Bahkan yang terjadi kemudian, aku tak punya nyali lagi untuk melanjutkan pemberontakanku. <br />“Kumohon, jangan sakiti aku!” Aku mereng seperti anak kecil.<br />Tapi mereka mana mau peduli. Dengan sangat kasarnya mereka memaksaku untuk mengikutinya berjalan. <br />Sebelum mereka lebih jauh membawaku pergi, sulit kuceritakan bagaimana awalnya, yang pasti tiba-tiba saja nyaliku kembali muncul. Niatku untuk kabur dan lepas dari mereka seketika bangkit. Dengan sekuat tenaga kutendang salah satu dari mereka. <br />Usahaku ini berhasil. Karena begitu kuatnya tendanganku, salah satu dari mereka jatuh terguling. Saat itulah aku berhasil berlari sekuat tenaga. Tanpa peduli halangan yang menghadang di hadapanku, aku terus berlari dan berlari. <br />Setelah beberapa saat lamanya berlari, aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Apa yang terjadi?<br />Astaghfirullah! Mereka telah lenyap dari pandangan mataku. Mereka benar-benar tidak ada. Lalu aku memberanikan diri untuk berhenti dan beristirahat, tapi tiba-tiba dadaku berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak! Dalam waktu sekedipan mata, keempat makhluk menyeramkan itu telah berdiri di depanku dengan senyum menyeringai mirip srigala yang kelaparan.<br />Aku menggigil ketakutan. Melihatku seakan-akan tak berdaya lagi, salah satu dari mereka berkata, “Kamu telah memakan pisang kami, jadi kamu harus ikut kami untuk mempertanggungjawabkan perbautanmu!”<br />“Jadi pisang itu pisang kalian? Kalau begitu maafkanlah aku, ya!” Ujarku dengan memberanikan diri.<br />“Enak saja minta maaf. Pisang itu adalah pisang persembahan buat raja kami. Jadi kamu harus minta maaf pada raja kami!” Tegas yang seorang lagi.<br />Sepertinya, mereka tak memberikan kesempatan padaku untuk membela diri. Buktinya, sekejap kemudian, mereka bertepuk tangan tiga kali. Dan sungguh ajaib, tiba-tiba di depan kami telah berdiri kereta kencana dengan enam kuda putih yang sangat gagah. Tanpa banyak bicara, mereka memaksaku untuk menaiki kereta kencana tersebut. Dan sulit bagiku untuk menolak ajakan mereka, sebab mereka jelas bukanlah lawan yang sepadan denganku.<br />Segalanya terjadi dengan begitu cepat. Dalam beberapa kedipan mata saja, kami sudah sampai di depan sebuah istana kerajaan yang sangat mewah dengan beberapa pengawal yang juga bertampang menyeramkan. Tidak lama kemudian, muncul seorang raja yang tampan dan permaisuri yang sangat cantik jelita. Raja dan permaisurinya kelihatan begitu anggun dan berwibawa.<br />“Hai, Kisanak! Kamu telah memasuki kerajaan kami…kamu telah berani memakan pisang persembahan buatku. Untuk itu kamu harus aku hukum!” Kata sang raja.<br />“Tapi saya tidak sengaja memakannya. Saya kira itu milik teman-temanku!” Ujarku dengan suara gemetar.<br />“Manusia memang pintar mencari alasan. Seret dia dan gantung di atas pohon cemara!” Perintah sang raja dengan marah.<br />Empat orang prajurit langsung menyergap dan menyeretku ke suatu tempat mirip alun-alun. Sungguh menegangkan, tidak lama kemudian, aku benar-benar digantung di atas pohon cemara. Kedua tanganku diikat. Hujan dan angin kencang menampar sekujur tubuhku. Kadang-kadang panas matahari yang menyengat membakar sekujur tubuhku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku benar-benar takluk dan tidak berkutik dengan ikatan yang teramat kuat itu.<br />Yang bisa kulakukan hanya menangis dan memendam kesedihan dalam hati. Sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya akan mengalami kejadian seperti ini. Aku meratapi kerapuhan hatiku, yang sama sekali tidak pernah ada dalam pikiranku. Di alam nyata aku adalah seorang kuat dan tabah dalam menghadapi keadaan walau seburuk apa pun juga. Didepan teman-temanku sesama pecinta alam dulu aku dikenal paling jago, aku juga paling pemberani. Tapi sekarang, aku benar-benar rapuh. Aku benar-benar lemah dan tak berdaya.<br />Di tengah-tengah keputusasaanku, lambat-lamat terdengar suara-suara yang memanggil-manggil namuku. Anehnya, aku sama sekali tak menemukan siapa gerangan orang yang memanggil-manggil namaku itu. Bahkan bayangan orang seditik pun sama sekali tak terlihat olehku. <br />Lambat laun, suara-suara itu semakin lama semakin keras terdengar, “Galih pulang. Galih…kami di sini mencarimu!” <br />“Baca ayat-ayat Al-Qur’aan…baca ayat Qursyi dengan sepenuh hatimu, teman!” Kata suara yang lain.<br />Aku mulai yakin, suara-suara itu sebagian tak lain adalah suara teman-temanku. Dan benar, kata mereka bahwa aku harus membaca ayat-ayat Al-Qur’an jika aku tersesat ke dunia lain. Hal itulah yang kemudian kulakukan.<br />Dengan hati yang khusyuk, aku mencoba berdoa kepada Allah. Seterusnya aku membaca ayat Qursyi. Berulang-ulang dan sebanyak-banyaknya.<br />Demi Allah, keajaiban tiba-tiba datang di depan mataku. Sesaat setelah aku membaca ayat Qursyi pada hitungan yang ke 125, tiba-tiba petir datang menyambar dadaku. Seketika sekujur tubuhku panas, dan aku terus mencoba membaca ayat Qursyi. Selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi.<br />Setelah aku siuman, tahu-tahu aku sudah berada di atas tempat tidur. Papa dan mama menangisiku dengan penuh haru. Namun, mereka bahagia melihat aku telah sadarkan diri. <br />Aku juga melihat keempat teman-temanku yang ikut serta dalam acara pendakian ke Gunung Semeru itu. Sama seperti kedua orang tuaku, mereka juga ikut tersenyum lega melihat aku telah siuman. Kepada Alul, salah seorang sahabatku, aku bermaksud bertanya tentang apa yang telah terjadi terhadap diriku. Tapi sungguh aneh, aku sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara. Suaraku yang tegas dan lantang, sama sekali tidak keluar. Ya, Allah, aku sepertinya telah berubah jadi bisu. <br />Hanya air mata yang menganaksungai di atas wajahku meratapi kenyataan itu. Untunglah Alul segera berinisiatif untuk memanggil seorang Ustadz. Setelah aku meminum segelas air putih pemberian Ustadz Hady, pelan-pelan suaraku mulai muncul kembali. Alhamdulillah!<br />Lantas, apa sebenarnya yang telah terjadi menimpa diriku?<br />Menurut cerita teman-teman, ketika itu aku ditemukan tergeletak di atas sebuah bukit yang oleh warga sekitar dikenal dengan nama Bukit Batu Hitam. Bayangkan, bukit tersebut sangat curam dan dalam sekali. Dan ini sungguh suatu keberuntungan yang sangat langka, sebab aku masih bisa selamat. Diperkirakan, jarak dari tempat asalku berteduh didalam goa dengan lokasi Bukit Batu Hitam sekitar satu kilo meter. Anehkan? Padahal, aku sepertinya hanya bergerak dari goa itu beberapa meter saja.<br />Kemudian aku bertanya pada teman-teman, bagaimana mereka bisa menemukanku? Kata mereka, setelah ditunggu beberapa saat, aku tidak keluar dari goa, mereka masuk ke dalam goa. Tapi, ternyata aku tidak ada di sana. Mereka semua jadi bingung dan ketakutan. Akhirnya, mereka menghubungi sesepuh desa di sekitar lereng gunung. Mereka bertemu dengan Ustadz Hady. Setelah dilakukan penerawangan oleh Ustadz, keberadaanku bisa terdeteksi. Akhirnya mereka bersama Ustadz melakukan ritual pemanggilan arwahku.<br />Setelah Ustadz Hady melempar seekor kambing jantan warna hitam pekat ke lereng Bukit Batu Hitam yang curam dan dalam, beberapa menit kemudian tubuhku terbang ke atas dan dengan sangat tangkas Ustadz Hady menangkap tubuhku. Sekali lagi, ini suatu keanehan yang sulit dicerna akal sehat. <br />Jujur, mulanya aku ragu dengan semua cerita tersebut. Tapi setelah kurenungi peristiwa demi peristiwa yang kualami, hingga akhirnya aku tergeletak di atas tempat tidur, satu hal yang kuperoleh adalah aku jadi semakin yakin dengan segala kebesaran Allah SWT.<br />Sungguh, kejadian ini telah memberiku suatu pelajaran yang sangat berharga. Setidaknya aku kian meyakini, bahwa di manapun kita berada, kita jangan suka main serobot seenaknya, sebab sekali kita lancang berani mengambil yang bukan haknya, kita akan mendapatkan celaka.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-34006813652694000072008-12-01T19:28:00.000-08:002008-12-01T19:38:29.249-08:00MISTERI DAYA PENGASIH KERIS BLARAK CINERET<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXnOpm_LeP395PT2FDC66jqKOBOz1_4I5SF3WJ19-Cvt_e7KPM9VOk9iIx-2KEsB2JeY50-NxsiSTnx3RjXRlqQCmP8CxE-T6VFpQ2O75FboWY1ha_M_Caq22VV1bolpZwhhVLJXdLC4ZV/s1600-h/ms72.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 146px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXnOpm_LeP395PT2FDC66jqKOBOz1_4I5SF3WJ19-Cvt_e7KPM9VOk9iIx-2KEsB2JeY50-NxsiSTnx3RjXRlqQCmP8CxE-T6VFpQ2O75FboWY1ha_M_Caq22VV1bolpZwhhVLJXdLC4ZV/s200/ms72.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275031861039944994" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Semenjak keris itu ada di tanganku, gadis-gadis terus memburuku. Dan celakanya aku pun bergairah dengan mereka, hingga tanpa kusadari banyak gadis baik-baik yang menjadi korbanku. Bagaimana akhir kisahnya…?</span><br /><br />Aku tidak pernah menyangka kalau peristiwa aneh ini akan terjadi menimpa diriku. Semuanya berawal dari keris usang berluk tujuh dengan motif daun kelapa (Blarak), yang ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Keris yang tanpa sengaja kutemukan di laut kidul, tepatnya di pantai Pandan Simo, ini ternyata bukanlah sembarang keris. <br /><span class="fullpost"><br />Mulanya, aku sedang menjalankan sebuah ritual hizbullatif selama tujuh hari hanya dengan hanya memakan nasi dan air putih. Pada hari terakhir aku menjalani ritual tersebut, ketika aku keluar rumah, tanpa sengaja kulihat selarik sinar yang amat terang. Sinar biru itu menyala berpendar-pendar di bawah pokok pohon kelapa. Sinar itu berkilauan dari tanah, dan berpendar ke akar serabut. Nyalanya yang terang sungguh amat menakjubkan. Sinarnya berbaur jadi satu antara putih dan kebiruan. <br />Walau merasa aneh, namun akhirnya aku pikir itu kejadian yang wajar dan alamiah saja. Toh, akar pohon kelapa memang menyimpan fospor, yang tidak menutup kemungkinan ketika terkena cahaya rembulan fospor tersebut dapat menyimpan cahaya yang di terima dari sang rembulan untuk kemudian di pantulkan, sehingga akar-akar pohon kelapa tersebut bersinar putih kebiruan secara menakjubkan.<br />Akan tetapi sinar kebiruan yang terdapat di sekeliling akar pohon kelapa itu ternyata terus berpendar-pendar, bahkan terlihat saling berkejaran, seperti sedang menyelubugi mahluk hidup, atau mungkin juga sesuatu benda. Benarkah apa yang kulihat ini?<br />Saking tidak percayanya akan peristiwa tersebut, kuputuskan untuk meamnggil Mas Andi, kakakku, untuk ikut menyaksikan cahaya aneh tersebut. Tapi sayangnya, ketika Mas Andi baru melihatnya tiba-tiba terdengarnya sebuah ledakan keras. Bersamaan dengan itu cahaya kebiruan yang tadinya berpendar-pendar di bawah pohon kelapa tadi naik ke atas batang. Sekejap kemudian sinar itu melesat dengan kecepatan yang luar biasa, mengarah ke selatan.<br />Menyaksikan keanehan ini, aku dan Mas Andi hanya terbengong-bengong dibuatnya. Memang baru kali itulah kami menyaksikan peristiwa semacam itu. <br />“ Kira-kira tadi itu apa ya?” Tanya mas Andi yang memang awam dalam hal ilmu gaib<br />“Menurut perkiraanku itu pusaka, Mas!” Jawabku sekenanya Padahal aku hanya menduga-duga saja. Pasalnya, aku memang sering mendengar bahwa pusaka-pusaka sakti sering beterbangan ke sana-kemari kalau malam hari, mencari tempat yang cocok dengan pancaran aura masing-masing. Mereka ada yang menyala kebiru-biruan, keputihan, kekuningan, kehijauan atau kemerahan, tergantung karaktar pusakanya.<br />Waktu pun terus berlalu. Aku tak lagi mengingat peristiwa tersebut. Setahun kemudian sejak kejadian tersebut, aku dan beberapa temanku berencana memancing di pantai laut selatan. Kami memilih pantai yang masih perawan. Artinya, pantai tersebut belum banyak dikunjungi orang. Ya, pantai tersebut bernama Pandan Simo.<br />Memancing di pantai memang tidak segampang memancing di sungai atau kolam. Kadang harus membutuhkan kejelian dan ketekunan yang lebih dari hanya sekedar memancing. Ombak kerap menggulung benang hingga benang jadi semrawut saling mengkait karuan. Belum lagi kami harus menghadapi udara yang dingin menggigit persendian <br />Hampir dari jam sembilan pagi sampai jam empat sore aku merasakan kejenuhan. Pasalnya, tidak satu ekor ikanpun yang mau memakain umpan kailku. Berjam-jam aku hanya menikmati deburan ombak yang bergemuruh. <br />Memang, pantai selatan keangkerannya bukan hanya legenda. Di samping ombaknya ganas, juga memancarkan energi mistik yang sangat besar. Begitulah setidaknya kemudian terjadi menimpa diriku.<br />Ketika aku masih setia memancing sembari menikmati angin sore dan deburan ombak, tanpa aku sadari ada seorang pemuda yang menghampiriku. Entah dari mana datangnya. Sepertinya pemuda ini dengan begitu saja sudah berdiri di sampingku.<br />“Assalamualaikum!” Sapanya.<br />Karena terkejut, aku tidak segera menjawabnya. Sejenak kuperhatikan tampanya. Dandanan pemuda itu bukan seperti orang kebanyakan penduduk Pandan Simo. Dia berkemeja hijau dengan celana pangsi selutut berwarna hitam. Dan separuh celana tersebut di balut dengan sarung dengan motif kotak paduan biru dan putih. Sekilas mirip dandanan orang Sumatra. <br />“Waialakum salam!” Jawabku kemudian sambil terus memperhatikannya. Pemuda itu sangat kurus dengan kulit kuning bersih. Sementara matanya yang bersih memancarkan kejernihan hatinya. Rambutnya ikal panjang tergerai, berkibar-kibar di terpa angin.<br />“Mohon maaf, Anda ini siapa? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanyaku bertubi-tubi.<br />Yang ditanya tersenyum penuh makna. “Ini pusaka yang dulu kau temui di bawah pohon kelapa yang tumbuh di sebelah timur dari rumah yang kau diami. Tapi waktu itu belum berjodoh. Dan sekarang sudah waktunya kau menerima pusaka ini.” Kata pemuda misterius itu kemudian. <br />Aku masih kebingungan karena orang tersebut sama sekali tidak pernah aku kenal sebelumnya. Aku juga ragu untuk menerima pemberiannya.<br />“Terimalah! Ini sudah jadi hakmu!” Tandasnya.<br />Meski ragu, kuraih benda itu dari tangannya. Ternyata sebuah keris. Melihat dari bentuknya, keris tersebut terkesan biasa saja. Bahkan belum dapat dikatakan keris karena tidak mempunyai gagang dan sarung. Warnanya Putih kehitaman, seperti tidak terawat. Berluk lima dengan ornamen seperti pohon kelapa (Blarak). Bahannya terbuat dari baja putih. <br />Setelah kuterima, pusaka usang tersebut langsung kumasukkan ke dalam tas kecil yang kubawa. Si pemuda membeberkan petunjuk singkat cara merawat keris pemberiannya. <br />Setelah memberikan keris usang yang bernama Blarak Cineret itu, si pemuda misterius tadi segera berbalik dan pergi meninggalkanku dengan tanpa berkata walau sepatah katapun. Tubuhnya menghilang ketika sudah beberapa meter jauhnya dari tempatku memancing. <br />Aku sendiri masih heran dan bertanya-tanya siapakah sebenarnya pemuda tersebut…?<br />***<br /><br />Sebuah kelapa hijau sengaja kusediakan di kamarku. Ujung keris kemudian kucelupkan ke dalam airnya. Ya, memang begitulah petunjuk pemuda misterius tersebut untuk menjaga karismanya. Setiap harinya aku bungkus keris tersebut dengan kain merah. <br />Meski terkesan barang rongsokan, namun entah kenapa aku suka sekali memperhatikan pusaka tersebut. Bahkan kadang sampai berjam-jam lamanya. Sepertinya, ada daya tarik tersendiri yang keluar dari bilah besinya. Dan anehnya lagi, semenjak aku memegang keris tersebut energiku menjadi bergairah. Aku menemukan semangat yang luar biasa di dalam menjalani hidup. <br />Namun celakanya, semenjak keris tersebut ada di tanganku, banyak wanita yang tiba-tiba kesengsem padaku. Mereka rata-rata aktif dan agresif mendekatiku, meski mereka tergolong ada yang usianya lebih muda dariku. Cara perhatian mereka terhadapku berbeda-beda. Ada yang setiap hari menelponku dengan kata-kata manja dan mesra, ada yang setiap hari menyambangiku di kantor, ada juga yang menunjukan perhatiannya dengan selalu mengirimi makanan dan berbagai hadiah. Aku sendiri tak habis pikir!<br />Sering gadis-gadis cantik itu memenuhi meja kantorku hanya ingin melihatku saja. Sungguh sangat aneh! Bahkan mereka tidak perduli ketika aku menganggap mereka semua sebagai pacarku. <br />Karena kesempatan ini, hampir setiap hari aku pergi dengan wanita yang berbeda. Baik itu jalan-jalan, atau hanya sekedar bermalam di hotel.<br />Apakah karisma yang timbul di dalam tubuhku memang berasal dari keris usang yang selalu kusandingkan dengan kelapa hijau tersebut? Entahlah! Yang jelas, sejak saat itu aku tidak bisa mengendalikan karakterku. Aku selalu bergairah dengan gadis-gadis cantik yang memburuku. Hingga tanpa terasa aku telah melakukan banyak dosa. Seperti tidak paus-pausnya aku bermain perempuan. Celakanya gadis-gadis cantik yang jadi korbanku adalah gadis-gadis yang sesungguhnya baik. <br />Hampir empat tahun berlalu aku memegang benda usang yang sakti tersebut. Dan selama itu pula banyak gadis baik-baik yang aku sakiti dan kecewakan. <br />Untunglah akhirnya kesadaran itu datang juga. Aku tak ingin terus larut dalam dosa. Kini aku tidak berani lagi mempermainkan gadis-gadis yang mendekatiku. Mereka semua malah kuanggap sebagai teman baik. <br />Akhirnya, keris Blarak Cineret itu kupinjamkan ke seorang teman. Katanya untuk menaikan aura usaha rumahmakannya. Anehnya, ketika keris usang tersebut aku pinjamkan, malamnya aku bermimpi didatang seorang pemuda yang tampan dan gagah dengan pakaian mirip panglima perang. Dia mengaku bernama Panglima Ribosari, yang konon adalah seorang panglima kepercayaan kanjeng laut kidul yang di utus untuk turut menjaga area pantai selatan. Dia sangat marah karena aku telah meminjamkan wadagnya pada orang yang bukan jodohnya. <br />Paginya, setelah mengalami mimpi tersebut, telpon genggamku berbunyi. Suara di seberang sana mengabarkan bahwa keris Blarak Cineret yang di pinjamnya dariku tiba-tiba raib entah kemana. <br />Mulanya aku bersedih dengan hilangnya keris usang tersebut. Tapi kemudian aku mengikhlaskanya. Mungkin saja keris tersebut telah kembali ke tempatnya, di pantai selatan. Dengan hilangnya keris tersebut jiwaku terasa lebih tenang, karena tidak akan dipengaruhi aura penarik lawan jenis lagi.<br />Kini aku telah beristri. Aku menjalani hidup berumahtangga dengan harmonis dan bahagia. Sampai pada suatu saat aku terkejut ketika isteriku menemukan kain warna merah yang membungkus sebuah benda. Kain merah tersebut diserahkannya padaku. Aku berdebar-debar menerimanya, karena aku tahu persis kain merah yang membungkus sebuah benda tersebut sudah sangat aku kenal. Yang aku sangat heran kain merah tersebut tiba-tiba ditemukan istriku. Katanya ada di atas lemari. Itu tidak mungkin karena kain merah yang membungkus sebuah benda tersebut telah hilang dua tahun yang lalu, ketika di pinjam temanku yang membuka usaha rumah makan. Bagaimana mungkin kain merah berisi Keris Blarak Cineret itu bisa kembali?<br />Dengan hati yang berdebar-debar aku mengamati kain merah yang membungkus sebuah benda tersebut. Aku timang-timang dan berpikir beberapa kali untuk membukanya. Aku menyadari bahwa kini aku telah mempunyai istri. Akankah dengan kembalinya kain merah yang membungkus sebuah benda tersebut aku kembali akan bertualang dengan dunia para gadis yang nantinya membawa kesesatan bagiku? Dengan dada yang masih berdegup kencang akhirnya aku beranikan diri untuk membuka kain merah yang membungkus sebuah benda tersebut. Dan dadaku semakin berdegup kencang manakala benda yang terbungkus kain merah tersebut ternyata benar adalah Keris Blarak Cineret! <br />Petualangan apalagi yang menghadangku di hari esok? Entahlah, yang jelas semoga Tuhan melindungi dan menguatkan imanku.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-20707876869536944452008-12-01T19:17:00.000-08:002008-12-01T19:26:22.671-08:00GUNA-GUNA TANAH KUBURAN PANGURAGAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVN0Ki3ycgy02RCDSHEKWAyvh5zEAqcY7A9JgJApP5hhEr31Cq8N_G20vTGk5Xoec5TWf4a8wJs9jtv1UPckDPfQHh9f8_5k882v0mPjGY-4uhDIJzoJ4a8Set0ysMoMLfS1-8I7xfTb7f/s1600-h/lp120.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 156px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVN0Ki3ycgy02RCDSHEKWAyvh5zEAqcY7A9JgJApP5hhEr31Cq8N_G20vTGk5Xoec5TWf4a8wJs9jtv1UPckDPfQHh9f8_5k882v0mPjGY-4uhDIJzoJ4a8Set0ysMoMLfS1-8I7xfTb7f/s200/lp120.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275028495571520546" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Tanah kuburan Panguragan yang terletak di Desa Panguragan, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, memang sudah lama tersohor di seantoro Jawa Barat (Jabar) dapat menjadi media ilmu gaib. Banyak kalangan dukun aliran sesat menggunakan tanah kuburan Panguragan sebagai media guna-guna untuk menghancurkan usaha seseorang. Benarkah…?</span><br /><br />Guna-guna tanah kuburan Panguragan terkenal ganas serta sangat jarang ada pengusaha yang sanggup bertahan. Setiap pengusaha yang tempat usahanya ditanami tanah kuburan Panguragan dalam waktu singkat dijamin bangkrut. Bukan hanya bangkrut, bahkan pengusaha bersangkutan dililit hutang dalam jumlah besar hingga menjual bangunan tempat usahanya.<br />Sejumlah pakar kebathinan di Kota Cirebon yang sempat dimintai komentarnya seputar keganasan guna-guna tanah kuburan Panguragan, rata-rata mereka mengaku sudah mendengar kabar tersebut sejak lama, bahkan mulai kakek-buyutnya. Dengan demikian, tanah kuburan Panguragan termasuk guna-guna cukup tua di Tatar Jawa Barat. Karena ganasnya guna-guna tanah kuburan Panguragan, tidak aneh jika jadi momok menakutkan bagi kalangan pengusaha, terutama pedagang.<br />Ki Anomjati Sanggabumi, seorang supranaturalis muda cukup tersohor di Kota Cirebon, sewaktu dihubungi Penulis di Villa Kecapi Mas, Kelurahan Harjamukti, Kota Cirebon membenarkan kabar seputar penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan untuk media guna-guna penghancur usaha.<br /><span class="fullpost"><br />“Penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan jelas menyalahi syariat Islam, sehingga dukun dan pihak yang menyuruhnya sangat berdosa secara habluminallah maupun hablumminanas dan sebaiknya hindari cara-cara sesat semacam itu,” kata Ki Anomjati Sanggabumi.<br />Ken Nagasi, seorang budayawan sekaligus pemerhati dunia gaib cukup terkenal di Kabupaten Cirebon mengaku prihatin atas praktik kotor semacam itu. Sewaktu dihubungi di Sanggar Budaya “Nyi Mas Gandasari” yang berlokasi di sekitar Stadion Bima, pria tampan warga Desa/Kecamatan Sindanglaut, Kabupaten Cirebon ini kerap mengurut dada tiap kali dia mendengar keluhan para mantan pengusaha kenalannya yang bangkrut akibat praktik dukun sesat menggunakan media tanah kuburan Panguragan.<br />“Astaghfirullah, kenapa mesti menyengsarakan orang lain demi kepuasan diri sendiri? Kenapa tidak bersaing secara sehat melalui pemantapan manajemen?” Seal Ken Nagasi.<br />Ibarat pepatah, tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Jika diibaratkan penyakit, guna-guna tanah kuburan Panguragan ternyata punya tandingan. Jika belum gulung tikar, kondisi tempat usaha atau perusahaan yang ditanami tanah kuburan Panguragan dapat dinetralisir dengan ditaburi pada keempat sudut bangunan itu menggunakan pasir kali Bayalangu.<br />H. Sator, seorang pakar supranaturalis terkenal di Desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, mengaku sudah sering menolong pengusaha yang terkena guna-guna tanah kuburan Panguragan. Melalui media pasir kali Bayalangu yang sudah dirituali, secara alamiah dapat menetralisir pengaruh negatif tanah kuburan Panguragan. Kecuali ada penanaman ulang dari pihak yang melakukannya, maka mesti dilakukan penaburan ulang pasir kali Bayalangu.<br />“Tanah kuburan itu pun tidak bisa asal ambil oleh sembarang orang, melainkan hanya bisa diaktifkan aura negatifnya oleh orang yang ahli di bidang itu. Begitu pula pasir kali Bayalangu, dan secara kebetulan saya mewarisi ritual pasir kali Bayalangu dari ayah saya,” terang H. Sator.<br />Konon, dampak yang ditimbulkan bagi korban guna-guna tanah kuburan Panguragan bukan hanya mengalami kebangkrutan usaha, namun sepanjang malam mendapatkan teror gaib sangat mengerikan. Salah satunya seperti dialami Udi bin Ujang, warga Kelurahan Karangmalang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Jabar. Dia bukan saja kehilangan kios kue kering miliknya di “Pasar Baru” Tanjungpura karena dijual dan menanggung hutang sekitar 20 jutaan namun, namun dia kini mesti mengais rezeki di Arab Saudi sebagai driver.<br />Berikut ini adalah kisah nyata yang dituturkan oleh Udin bin Ujang kepada Penulis.…<br />Sejak Jumat Kliwon hingga Sabtu Legi (18 – 19 Januari 2008), Ujang duduk termenung di teras gedung pertemuan kompleks “Kinasih” di Jalan Tapos, Kecamatan Cimanggis, Kabupaten Depok. Saat itu dia bersama tiga rekannya masing-masing Toto, Sutejo dan Hendi mengantar Drs. Khairuddin yang tengah mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dengan Presdir PT. Guswara Intertaint, Agus Winarko,MSc.<br />Pria yang usianya beranjak senja dan berbadan subur itu memisahkan diri dari hiruk-pikuk ratusan orang pengantar para peserta Rakernas. Wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu tampak kuyu seakan menyimpan duka nestapa teramat berat. <br />Ujang duduk di atas tikar di bawah rindangnya pohon beringin hingga memasuki dinihari. Pemandangan semacam itu, tentu saja sangat kontras dan sangat tak lazim. Kepada Misteri, dia seperti berupaya memuntahkan kegalauan hatinya seputar perjalanan usaha putra sulungnya yang kini bangkrut dan gulung tikar. <br />Padahal, sejak “Pasar Lama” yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Lemah Abang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu itu terbakar pada Selasa (11 Juli 1995) pukul 09.00 WIB dan para pedagang direlokasi ke pasar baru yang terletak di Jalan Tanjungpura, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, secara bertahap kios kue kering milik Udi, anaknya, mengalami kemajuan. Setidaknya hingga 2005 silam, kios kue itu sangat populer dan setiap harinya selalu dijejali pembeli.<br />Menyaksikan kemajuan usaha Udi, sejumlah kios yang semula menjual dagangan lain diganti menjadi kios kue kering. Akibatnya, persaingan pun semakin ketat sehingga calon pembeli kue kering tersebar ke berbagai kios yang ada di Pasar Baru. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, jumlah pembeli ke kios Udi terus berkurang. Tetapi, bagi Udi hal itu dianggap sesuatu yang lumrah sesuai dengan hukum pasar.<br />Sekitar awal 2006, naluri Udi menangkap ada hal yang tidak wajar, terutama setelah mendapatkan kiosnya benar-benar sepi. Bayangkan, omzet dalam sehari hanya cukup buat menutupi kebutuhan dapur keluarga. <br />Tragisnya, puluhan orang pelanggan kabur sambil membawa utang dalam jumlah besar. Hal ini membuat Udi kalang kabut mencari dana pinjaman buat menambal modal yang berkurang akibat ulah para pelanggan yang nakal itu.<br />“Bukan itu saja, pada bulan ke tiga 2006, Udi anak saya dan keluarganya merasakan suatu gangguan gaib yang menciptakan rasa takut,” kisah Ujang dengan pandangan menerawang jauh.<br />Masih dalam bulan yang sama, sejumlah pedagang skoteng, bakso dan lainnya yang biasa mangkal malam hari di sekitar Pasar Baru Tanjungpura sempat menggunjingkan peristiwa gaib di sekitar kios kue milik Udi. Mereka kerap menyaksikan sosok pocong alias mayat hidup berkeliaran di teras kios kue milik Udi.<br />Gunjingan itupun akhirnya masuk ke telinga Udi. Untuk membuktikannya, pada dinihari sekitar pukul satuan, seorang diri Udi menyelinap ke lorong (los) Pasar Baru Tanjungpura yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. <br />Karena sudah dinihari, suasana pasar sangat sepi. Kalau pun ada aktivitas hanya di sisi jalan alternatif penghubung Polsekta dengan Markas Polres Indramayu, dimana terdapat warung nasi yang buka 24 jam. <br />Malam itu, berselang dua kios dalam posisi berseberangan, Udi mengambil tempat pengintaian yang dirasa aman. Untuk bersembunyi, dia duduk di balik tumpukan bekas kotak gula yang sudah kosong.<br />Berkat losion anti nyamuk, dia terbebas dari serangan serangan haus darah itu. Lewat bantuan cahaya dari sudut kios, diliriknya jarum jam tangan, saat itu sudah menunjuk pukul 1.15 menit. Sepasang matanya menatap lurus ke arah kiosnya yang sengaja tidak diberi penerangan sehingga suasana temaram sisa lampu dari kios lain di sebelahnya.<br />Dia meragukan gunjingan para pedagang ketika merasakan pantatnya mulai penat akibat terlalu lama duduk di atas lembaran kardus bekas. Ketika terlintas niat untuk pulang, detak jantung Udi mendadak terpacu. Pandangannya lebih dipertajam. Ternyata benar, samar-samar dia menyaksikan sosok mayat terbungkus kafan muncul dari balik tumpukan kardus bekas snack yang disimpan di teras kios. <br />Pocong itu bergerak lembut dan makin lama makin jelas setelah terkena sisa cahaya lampu dari kios sebelah. Rasa takut pun mulai merasuk ketika pocong itu terlihat gelisah. Kepala pocong menoleh ke berbagai arah diikuti gerakan tubuhnya. Udi yakin, keberadaannya sudah diketahui mahluk alam gaib itu, sehingga sepasang sandal jepit pelan-pelan dia lepas.<br />Nalurinya memang tepat. Pocong itu melompat-lompat tertuju ke tumpukan bekas kotak gula di mana Udi bersembunyi. Ketika jaraknya tinggal beberapa meter lagi, sekuat tenaga Udi melompat dari balik tumpukan bekas kotak gula lantas lari menjauhi arah datangnya pocong. <br />Udi lari secepat yang dia mampu menuju ke arah warung nasi. Tanpa perduli terhadap tiga tukang becak yang duduk santai di bangku kayu, Udi menerobos memasuki warung dan disambut pekikan kaget pelayan yang tengah terkantuk-kantuk.<br />Keesokan paginya, peristiwa itu dia ceritakan kepada istrinya lalu kepada ayahnya. Ujang yang awam soal mahluk gaib, hanya memberi saran supaya anaknya lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak wirid. <br />Dari kios kue, teror itupun berpindah ke rumah Udi. Nyaris tiap malam, isteri dan dua anaknya diteror suara-suara aneh dari serambi rumah bahkan terkadang disertai bau busuk menerobos melalui celah daun jendela.<br />Atas desakan isteri dan anak-anaknya, Udi minta izin kepada ayahnya untuk numpang tidur sambil mencari jalan keluar. Ujang tidak bisa menolak permintaan putranya, sehingga merelakan kamar depan yang bersisian dengan ruang tamu ditempati Udi bersama keluarganya. Sedangkan siang harinya, Udi membawa keluarganya kembali ke rumahnya yang hanya beda gang dengan rumah orangtuanya itu.<br />Malam Selasa Kliwon bulan ke enam 2006, Ujang gelisah di tempat tidurnya. Udara awal musim kemarau membuat gerah tak tertahankan. Untuk mendapatkan udara segar, Ujang membuka daun pintu depan lalu duduk santai di kursi ruang tamu. Saat jarum jam menunjuk pada angka 2 dinihari, muncul Udi dari ruang kholwat (tempat solat) yang bersatu dengan kamar dapur.<br />Udi saat itu masih mengenakan sarung, peci dan baju koko serta tangan kanan masih memutar tasbih. Keringat membasahi kening. Rupanya Udi pun tak tahan kegerahan di ruang kholwat, sehingga memilih melanjutkan wiridnya di ruang tamu.<br />Angin malam lumayan sejuk menerobos memasuki celah daun pintu yang terbuka seperempat bagian. Di atas kursi busa yang mulai usang, Ujang menyandarkan punggung dan meletakkan tengkuknya. <br />Aroma kantuk mulai merasuk. Sambil terkantuk-kantuk, Ujang mengamati bagian ujung pintu pagar besi halaman rumah lewat celah daun pintu. Sedangkan di sampingnya, Udi masih melanjutkan bacaan wiridnya.<br />Dirasa tubuhnya mulai segar serta aroma kantuk mulai tak tertahankan, Ujang bermaksud menutup daun pintu dan akan membanting punggung di atas kasur melanjutkan tidur. Belum sempat mengangkat pantat, lewat celah daun pintu dia melihat ujung pintu pagar besi bergerak diiringi deritan lembut. Entah datang dari mana, ruang tamu dalam sekejap sudah dipenuhi bau busuk sangat ganjil.<br />Bau busuk semakin menyengat. Belum sempat menduga-duga siapa orang yang akan bertamu, daun pintu ditabrak dari luar hingga membentur tembok menimbulkan suara gaduh. Suara benturan daun pintu dengan tembok kontan mengejutkan Ujang dan Udi. Yang lebih mengejutkan, di ambang pintu sudah berdiri sesosok mayat hidup alias pocong. <br />Lewat cahaya lampu neon ruang tamu yang terang benderang, Ujang menyaksikan kafan yang masih lengkap dengan ikatannya itu sangat kusam penuh lumpur hitam. Kulit wajah mahluk itu tidak utuh lagi. Sangat rusak, penuh borok-borok serta belatung bergerak lembut pada sepasang rongga matanya. Dari lubang mulut dan hidungnya meluncur lenguhan seperti sedang menahan marah.<br />Mahluk itu bukan menatap Ujang melainkan menghadap lurus ke arah Udi. Diiringi lenguhan keras, mahluk itu menerjang ke arah Udi. Ujang tak mampu berbuat banyak selain berjuang mempertahankan kesadarannya supaya tidak pingsan. <br />Diserang mahluk seseram itu, secara refleks, sekuat tenaga Udi menjejakkan sepasang kakinya ke atas lantai. Akibatnya, kursi yang dia duduki terbalik dan tubuh Udi terjengkang ke belakang lantas jatuh terduduk. Udi hanya mampu membuka mulut, tapi lafadz ayat Qursy sama sekali tidak pernah mau keluar. Yang meluncur dari kerongkongannya hanya suara menyerupai orang gagu. <br />Air hangat sangat deras mengucur dari balik kain sarung. Akibatnya dia berkubang pada genangan air kencingnya sendiri. Sama halnya ayahnya, Udi pun hanya berjuang agar jangan sampai pingsan. Dia yakin, mahluk itu bukan semata menakut-nakuti melainkan mengancam jiwanya.<br />Saat jaraknya tersisa beberapa senti lagi, Udi ingat kalau tasbih di genggamannya itu pemberian dari seorang ustadz. Dia berharap benda itu bukan semata alat penghitung wirid. Tanpa berharap banyak, tangan kanan yang semula menyanggah tubuhnya yang jatuh terduduk dia angkat tinggi-tinggi menyongsong terjangan pocong sambil merapatkan kelopak mata. <br />Dia sudah benar-benar pasrah. Benaknya berkata, mungkin hanya dalam hitungan detik, lehernya akan digigit mahluk itu sehingga urat nadinya putus lalu mati. Tapi hingga belasan detik berlalu, tak ada sesuatu yang menyentuh lehernya. Ditunggu beberapa menit berikutnya tak ada serangan mematikan dari mahluk berwujud pocong itu. Udi menjerit ketika lengannya dibetot sangat keras. Ketika membuka mata, ayahnya tengah berjuang mengangkat tubuhnya.<br />“Pocong tadi terpental saat menyentuh tasbih di genggamanmu! Ayo. bangun!” Kata Ujang, setengah membentak.<br />Udi langsung bangkit dan melompat menuju ambang pintu. Tergopoh-gopoh daun pintu dibanting hingga tertutup rapat sekaligus menguncinya. Anak beranak itupun hanya mampu berpandangan. Udi baru sadar kalau sarungnya basah kuyup setelah diberitahu ayahnya, maka buru-buru dia ke kamar mandi.<br />Keesokan harinya, dengan diantar ayahnya, Udi menyambangi seorang ulama di Lohbener. Ujang menyerahkan sisa tanah bekas pocong yang tercecer di atas lantai ruang tamu. H. Abbas, sang ulama, menggenggam sisa tanah hitam itu sambil memejamkan mata dan bibir komat-kamit. Mendadak keningnya berkerut tajam lalu membuka kelopak matanya.<br />“Astaghfirullah, mahluk itu khodam guna-guna tanah kuburan Panguragan. Untung kalian tidak sampai pingsan… jika sampai pingsan, naudzubillah, hanya Allah yang tahu terhadap batas umur mahlukNya,” terang H. Abbas.<br />Sesaat berikutnya, H. Abbas minta izin masuk ke kamar kholwat. Belasan menit kemudian muncul lagi dengan wajah penuh keringat. Dengan suara serak, H. Abbas menyarankan agar kios kue itu secepatnya dijual. Menurut mata bathinnya, kios itu sudah ditanami tanah kuburan Panguragan sejak enam bulan lalu. Tapi, ulama khos itu tidak bersedia menyebutkan identitas orang yang telah mengguna-gunai kios Udi.<br />Atas saran H. Abbas, sebulan kemudian kios itu dijual murah kepada pemilik kios di sebelahnya. Uang hasil menjual kios itu digunakan oleh Udi untuk mengurangi utangnya. Dalam keadaan tak punya modal sesenpun, Udi terpaksa ikut kerja jadi kuli bangunan hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan dapur, dan sejak awal 2007, Udi terbang ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bagian driver.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com35tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-3429352870602462802008-11-26T20:42:00.000-08:002008-11-26T20:45:57.027-08:00PENGUSAHA KAYA PEMUJA SETAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht2GrKP5C9DkRcTL_TLaP2EA3-WFqKD4qksXrPILQnQjDKCxJUF_3EXuaQUI36wDDF3upSUDteXH0xUB3ZHkXo07eAuiw1iJLTJm13llF_P1P1vcJCCdMhq7NuRi4wwfqMoAJu24wUvvTZ/s1600-h/ms84.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 185px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht2GrKP5C9DkRcTL_TLaP2EA3-WFqKD4qksXrPILQnQjDKCxJUF_3EXuaQUI36wDDF3upSUDteXH0xUB3ZHkXo07eAuiw1iJLTJm13llF_P1P1vcJCCdMhq7NuRi4wwfqMoAJu24wUvvTZ/s200/ms84.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5273193486608006162" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Kesaksian ini dituturkan oleh seseorang yang enggan disebut identitasnya. Dia berkisah tentang sepenggal pengalaman yang sangat menyeramkan, yakni bekerja di sebuah perusahaan garmen dengan seorang bos yang ternyata memuja setan. Seperti apa kisah lengkapnya…?</span><br /><br />Setelah sekian lama menumpang di rumah kerabat tanpa ada penghasilan, akhirnya sebuah perusahaan besar skala internasional (kata iklan yang mereka cantumkan di koran), berkenan menerimaku sebagai karyawan di bagian produksi. Wah senang sekali, sebab aku punya sedikit uang untuk memanjakan diri. <br />Pintu besi gerbang besar perusahaan itu telah menyambutku kedatanganku di hari pertama masuk. Sambil menunggu waktu, kukelilingi area bangunan besar itu, sekalian melihat-lihat suasana gedung, pelataran parkir, gudang, serta satu bangunan tua yang menjadi bangunan induk tempat perusahaan besar ini menjalankan aktivitas bisnisnya.<br /><span class="fullpost"><br />Di mataku, bangunan tua yang kumaksudkan tadi merupakan satu bangunan bergaya lama yang terletak di daerah kota tua, namun masih memperlihatkan sisi megah yang menyiratkan kejayaan masa lalu pemiliknya. <br />“Pemiliknya pasti sangat kaya hingga dapat memiliki gedung besar yang hampir semegah museum ini. Aku yakin bangunan ini bisa menjadi satu warisan bersejarah yang telah dipakai secara temurun-temurun dari pemilik lama perusahaan ini kepada orang yang sekarang yang mewarisinya,” pikirku. <br />Menurutku, bangunan bergaya klasik ini pastilah banyak menyimpan cerita. Atau bahkan peristiwa atas jatuh bangunnya bisnis keluarga kaya raya tersebut. Dan dalam suasana pagi yang cerah, aku sangat menikmati panorama bangunan tua ini. Namun aneh, tiba tiba sepertinya ada satu kekuatan lain yang menyergapku. Kirasakan seperti ada suara angin yang berhembus lembut, seolah-olah meniup daun telingaku. Sayup-sayup terdengar seperti suara desahan binatang buas di kejauhan yang terbawa angin. <br />“Ada apa sesungguhnya?” batinku. Kedua mataku, masih terus asik menikmati bangunan tua yang pasti adalah karya Bangsa Belanda itu, sebab arsitekturnya memang bergaya Eropa. <br />Sekilas, tampak gedung megah ini kurang terawatt. Jendela besar berkaca buram, kotor, begitu juga dengan koridor panjang yang melingkarinya. Semuanya terkesan kumuh serta sedikit agak angker. Bahkan, tangga ke lantai atas pun hanya disinari sebuah lampu neon yang cahanya mulai temaram.<br />Tak sengaja, pandanganku tertuju pada salah satu jendela yang paling kusam di lantai empat. Entah ruangan apa di atas sana. Sepertinya, ruangan itu hanya disinari oleh cahaya redup lampu 10 watt. Seketika itu juga semua pandanganku seakan diselimuti oleh hal yang berbau mistis, seolah-olah ada sepasang mata yang sedang bergerak mengawasiku dari atas sana. <br />“Mungkinkah penunggu gedung tua ini sedang mengawasi gerak-geriku,” bisiku dalam hati. <br />Lalu, segera kuabaikan pikiran itu. Kumantapkan tekadku yang ingin bekerja untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidupku. <br />“Tunggu sebentar lagi ya, Mas. Bos masih ada urusan. Mohon maaf agak lama menunggu.” <br />Suara merdu wanita muda mengagetkanku. Rupanya, tidak terasa aku sudah satu jam lebih menunggu untuk mendapat giliran masuk wawancara. <br />Ketika giliranku masuk, ternyata bos besar itu sedang menyantap makan siang dengan sangat rakusnya. Mulutnya dipenuhi makanan, kedua pipinya belepotan bumbu lauk-pauk, sementara kedua tangannya sibuk menyendok makanan dan memilah buah-buahan pencuci mulut yang ada di atas meja, seolah tak mempedulikan kehadiranku. <br />Aku kembali terpana melihat caranya makan. Hampir menyerupai seekor binatang buas yang baru saja mendapat mangsa. Aneh, bukankah dia seorang bos besar yang memiliki perusahaan bertaraf internasional? Tapi mengapa cara makannya seperti orang kelaparan?<br />“Ayo, silahkan duduk!” katanya menawariku. Lamunanku pun terputus. Dengan sungkan, aku segera duduk di depan meja kerjanya. <br />Sambil mencuri-curi pandang, kucoba amati keadaan ruang kerja sang bos. Sungguh aneh, ruangan besar itu hampir dipenuhi oleh umbo rampe (sesaji) yang sudah kering. Bahkan, nampak buah-buahan sesaji yang mulai membusuk hingga airnya menetes mengotori dinding serta karpet lantai. Aneka kue jajanan menjamur diatas meja. Tampak juga beberapa dupa yang masih menyala hingga asapnya memenuhi tiap sudut ruangan. Tak hanya itu, pada dinding serta langit-langit ruangan bergelantungan aneka jimat hingga menambah keunikan ruang kerja ini.<br />Kembali aku dibuat semakin takjub, manakala pandanganku mengarah pada sebuah patung besar setinggi hampir 2 meter yang dikelilingi banyak sesaji. Patung ini berdiri tegak disudut ruangan yang agak gelap. Aneh, siapakah laki-laki di depanku ini sebenarnya?<br />Saat bertanya jawab denganku, ternyata si bos ini memiliki sebentuk wajah yang agak aneh. Matanya menyerupai mata iblis seperti di film film animasi, sementara kedua alisnya naik ke atas bak alis para pendekar silat. Saat tersenyum pun dia lebih mirip menyeringai daripada senyuman, sembari memperlihatkan deretan giginya yang kotor serta tidak terawatt, bahkan masih dipenuhi sisa sisa makanan. <br />Sekalipun sangat aneh dan mengganggu pikiranku, namun aku terpaksa harus mengabaikan semua ini. Ya, demi mendapatkan sebuah pekerjaan!<br />Singkat cerita, aku memang diterima bekerja di kantor tersebut….<br />Setelah beberapa lama bekerja, baru kusadari kalau aku sebenarnya cuma jadi umpan kawan-kawan sekantor yang enggan lembur pada setiap kamis malam atau malam Jum’at. Ada apa sebenarnya? <br />“Hati hati dengan yang ada dilantai empat, Man!” bisik Larno, salah seorang teman sejawat yang baik padaku. <br />Aneh, peringatan ini bukan hanya datang dari Larno. Bahkan Pak Ishak, penjaga malam di gedung ini juga telah memperingatkanku agar tidak mencoba-coba naik ke lantai empat sendirian apabila hari telah gelap. <br />“Kamu pasti celaka, Nak!” tegasnya ketika aku meminta alasan larangan itu. Dia menambahkan, “Aku saja yang sudah 18 tahun bekerja disini tidak berani pergi kelantai empat sendirian, terlebih lagi malam hari.<br />Mulanya, aku tak serius menanggapi cerita-cerita itu. Hingga suatu malam, terjadilah peristiwa itu….<br />Malam itu, jarum jam telah menunjukan pukul 19.30. Hampir seluruh ruangan telah kosong. Suasana mendadak senyap, bahkan kemudian berganti angker. Di luar sana angin berhembus kencang disertai deru hujan. <br />Sendirian aku duduk terpaku di meja kerja ditemani dengan setumpuk tugas yang belum rampung. Aneh, tiba-tiba pikiranku melayang ke ruang sepi di lantai empat. Kulirik ruang sepi yang bersinar redup itu. Sepertinya, dari arah sana akan memunculkan satu bayangan, bahkan mungkin sesuatu yang mengerikan. <br />Aneh, tiba tiba sekelebat bayangan wanita tua melintas. Aku segera bangkit mengejarnya. Kucoba berjalan menuju munculnya bayangan tadi. Tapi, aku tak menumukan siapa-siapa.<br />Aku yakin telah melihat bayangan seorang nenek. Perempuan renta itu jalan tertatih tatih. Anehnya, dia menghilang di lorong gelap menuju lantai empat? Siapa gerangan perempuan tua berbaju kumal itu? <br />Bukannya merasa takut, kejadian ini justeru membuatku semakin penasaran. Segera saja kutelusuri lorong sepi yang terbentang panjang di depanku, sambil berharap sesosok nenek itu muncul lagi. Anehnya, tiba tiba terdengar suara perempuan sedang bercakap cakap di ujung koridor gelap ini. Siapa gerangan? Apa mungkin masih ada seorang staf wanita yang sedang menerima telepon? <br />Ketika aku dalam kebingungan, jantungku nyaris copot sebab tiba tiba ada sebuah tangan yang merengkuh bahuku. Ketika aku menoleh, di hadapanku telah berdiri seorang wanita muda. Dia tersenyum dingin sambil menyodorkan segenggam kertas.<br />“Mencari siapa, Mas?” tanyanya datar, disertai raut wajah dingin tanpa ekspresi.<br />Aku diam tergugu. Wanita itu kembali berkata, “Tolong fotocopy semua dokumen ini. Bisa kan?”<br /> “Oh, tentu bisa!” jawabku pendek. Bulu kudukku meremang. Dalam hati aku bertanya, “Perempuan ini staff di bagian apa? Kok aku belum pernah melihatnya.” <br />“Ini dokumen penting, tidak semua orang bisa tahu!” katanya lagi.<br />Sambil berusaha menenangkan diri, aku menyahut, “Wah, kalau begitu saya jadi tahu dong, Mbak. Kan saya yang bantu fotocopynya!” <br />“Ini cuma daftar nama orang yang disuruh berkorban di sini, sekalipun mereka menolak. Ah, kasihan sekali mereka!” katanya lagi.<br />“Berkorban? Maksudnya untuk apa?” tanyaku, penasaran, sembari terus membolak balikan dokumen itu.<br />“Darah mereka!” jawabnya dengan suara yang agak tertahan. <br />Aku kaget bukan kepalang. Seketika pandanganku berubah gelap. Dan, ketika terang kembali, kulihat dia sudah menghilang. Lalu, sama-samar terdengar suara alunan pendek perempuan menyanyi dari arah lorong sepi ini. <br />Segera kuambil langkah seribu, setelah lebih dulu melemparkan kertas yang disebut dokumen tadi. Kubanting pintu dengan kencang. Aku lalu terduduk di depan meja kerjaku sambil mengatur nafas yang memburu tak karuan.<br />***<br /><br />Gara-gara peristiwa ganjil itu, rasa penasaranku semakin bertambah. Apalagi, pagi setelah malamnya aku bertemu dengan sosok perempuan misterius itu ternyata ada karyawan yang meninggal. Apakah ini ada hubungannya dengan statemen perempuan misteruis itu?<br />Belakangan, aku memang melihat ada kejanggalan. Bila dihitung, hampir setiap minggu, satu persatu rekan kerja atau sanak saudara mereka ada saja yang meninggal. Menurut beberapa pegawai senior, setiap yang meninggal raut wajah mereka menyiratkan ada satu hal yang tidak wajar. Kabarnya, wajah jenazah tampak menghitam, punggung, tangan serta kakinya terdapat memar kebiruan, dan mata mereka terbuka, dengan rona wajah mereka seolah habis melihat sesuatu yang amat menakutkan. <br />Pernah juga terjadi sebuah peristiwa lucu namun menyeramkan. Suatu hari, ada salah seorang menejer di kantor ini yang kerasukan roh seorang perempuan muda. Sang roh mengaku bernama Karissa. Dia telah mati karena bunuh diri 100 tahun silam. <br />Lucunya, sang menejar yang bertubuh tambun dan galak itu, tiba tiba dapat berjalan sangat gemulai laksana perempuan. Tak hanya itu, suaranya juga berubah lembut khas wanita muda. <br />Nah, dari celoteh Karissa-lah cerita yang sebenarnya bergulir. Termasuk tentang para korban mahluk di lantai empat. <br />Karisasa yang meminjam mulut Pak Wahono, sang menejer itu, bercerita bahwa bos besar kami yang bernama Pak Paulus itu telah meminjam arwahnya sebagai budak suruhan untuk mendapatkan harta. Bahkan, untuk mengikat jiwa sesorang yang dia kehendaki untuk ditaklukan. <br />Arwah Karissa juga mengaku bahwa pada hari-hari tertentu dia akan diberi “suguhan khusus” oleh majikannya. Selain umbo rampe dan dupa wangi, dia juga menghisap sari makanan langsung dari perut Pak Paulus. Syaratnya, Pak Paulus harus memakan tiga jenis makan kesukaan Karissa dalam jumlah amat banyak. Mungkin, inilah yang menyebabkan kenapa Pak Paulus pernah kulihat makan dalam jumlah banyak dan nampak sangat rakus. <br />Aku juga pernah melihat dukun kepercayaan Pak Paulus datang ke lantai empat untuk mengadakan ritual semalam suntuk. Setelah itu, beredarlah cerita dari mulut orang dekatnya, bahwa Pak Paulus segera akan memecat beberapa orang karyawan, sebab menurut sang dukun mereka tidak cocok dan harus dienyahkan. <br />Yang terjadi selanjutnya, setelah kedatangan dukun itu, suasana di dalam kantor jadi makin kacau. Seringkali terjadi keributan diantara staff dan karyawan. Sejumlah peristiwa aneh juga terjadi. Mulai staff kerasukan, mengalami kecelakaan fatal hingga cacat, bahkan yang meninggal pun ada. <br />Selain itu, bisnis di perusahaan yang bergerak dalam industri garmen ini menjadi tersendat-sendat. Banyak hasil produksi yang tidak laku dijual bahkan dikembalikan karena rusak. Padahal, semua barang produksi yang dikirim ke costumer dalam keadaan baik tanpa cacat. <br />Kondisi semacam ini membuat pikiranku jadi tidak karuan. Hingga, pada suatu malam, ketika semua staff dan karyawan telah meninggalkan ruang kerjanya masing-masing, tinggalah aku sendiri tercenung di meja kerjaku. Ketika aku sedang membereskan dokumen yang masih tercecer, tiba tiba saja ada angin dingin menyapu pundakku. <br />Tidak berapa lama, samara-samar terdenar suara perempuan yang seolah sedang merapal doa. Seketika itu rasa takut di dalam hatiku muncul. Terlebih lagi, lama kelamaan suara itu semakin keras terdengar, meski tidak jelas mantra apa yang sedang dilantunkannya. Walau begitu, kucoba memberanikan diri bangkit lalu berjalan ke arah datangnya suara itu. <br />Kubuka pintu koridor ke lantai tiga, yang kuduga menjadi sumber suara. Seketika tercium semerbak wangi bunga sedap malam, serta aroma rokok klobot. Kuhentikan langkah untuk sekedar mengatur nafas, sambil menenangkan hatiku yang mulai dihantui rasa takut.<br />Hatiku pun kecut bukan main ketika sadar bahwa langkah ini telah sampai di trap tangga terakhir dari sepuluh anak tangga menuju ruangan laknat di lantai empat itu. <br />Sementara itu, suara rapalan mantera si perempuan semakin keras terdengar, diselingi oleh aroma semerbak bunga sedap malam, kemenyan serta anyir darah yang semakin menyengat hidungku. <br />Sejenak, aku berdiri terpaku di depan pintu kaca kusam yang membatasi pandanganku ke ruangan bagian dalam. Kaca patri bermotif burung elang membingkai sehelai pintu ruang laknat penuh misteri ini. Tanganku bergetar tak sabar ingin membuka pintunya.<br />Kudorong perlahan. Suara berderit engselnya seolah genderang perang yang memukul jantungku. Saat aku melangkah tertatih di dalam suasana temaram, aku mengenali gerak gerik sesosok mahluk besar kehitaman di bawah temaram lampu 5 watt. Kakiku pun terasa lemas! Sungguh, aku benar-benar melihat bagaimana makhluk itu sambil menggeram terus menggerogoti mangsanya dengan rakus. <br />Dalam keadaan sangat takut, aku mengenali kalau ternyata mahluk itu wujudnya separuh srigala separuh manusia. Dia sedang mengoyak-ngoyak sepotong daging merah dengan kuku hitam tajamnya .<br />Pes! Aneh, tiba tiba lampu di dalam ruangan itu padam. Aku terkejut dan hampir tidak bisa menguasai diri lagi. Bau anyir darah busuk itu sangat menyesakkan dada, hingga kepalaku pusing. Suara dengusan srigala besar yang menggeram dengan marah menghentak jantungku! <br />Dalam ruangan gelap itu aku tidak dapat berbuat apa-apa, selain membalikan badan menghambur keluar ruangan. Tapi binatang iblis itu tidak tinggal diam. Dia berusaha menangkpuku. Akupun terdorong keluar dari ruangan itu. Di ruangan yang lebar terang ini, aku cukup jelas melihat wajah serigala aneh itu, dengan seringai gigi tajamnya yang belumuran darah. <br />Akupun berteriak sekuat tenaga. Tidak sadar, kakiku terpeleset. Tubuhku terpelanting jatuh berguling guling menuruni anak tangga sampai ke lantai. Tak ayal lagi seluruh sendi di badanku terasa patah. Kepala ku pusing berat, Bersamaan dengan itu, di telingaku kembali terngiang suara perempuan pembaca mantera tadi. Sambil menahan sakit, aku segera berlari meninggalkan ruangan….<br />Seminggu setelah kejadian itu, suatu siang aku sedang merapikan beberapa barang yang tertumpuk di koridor gelap depan ruangan. Pak Paulus muncul dengan tiba tiba. Dia berjalan ke arahku dengan rona wajah yang tidak bersahabat. Aku segera aku bangkit untuk memberi salam. Tidak diduga dia malah mengancamku dengan kata-kata yang tidak mengenakan hati.<br />“Hei you!” katanya sambil menunjuk wajahku. “Gua orang kaya raya, gua ada uang banyak, ribuan setan, arwah leluhur bahkan jin manapun sudah gua panggil dan gua tundukkan, apalagi cuma you manusia kecil!” cecarnya dengan nada sinis. <br />“Gua, kasih you peringatan! Mahluk besar di lantai empat adalah pelindung gua, seluruh harta gua dia yang jaga, dia amat kuat luar biasa, tidak akan ada yang bisa kalahkan dia punya kekuatan!” bentaknya lagi.<br />“Karena mahluk mahluk itu gua jadi punya kekuatan besar lebih dari orang lain! Asal you tahu aja ya, gua gak bisa mati!!” lanjutnya dengan jumawa.<br />“So, jadi you jangan coba-coba ganggu dia punya tempat, apalagi you mau jadi pahlawan kesiangan di sini!” hardiknya pula. <br />“Kalau you masih butuh makan, you duduk en kerja baik baik seperti si bego lainnya atau you out saja dari sini!” kejarnya lagi sambil telunjuknya terus mendorong keningku keras-keras. Setelah itu dia pergi sambil masih terus mengumpat dengan kata-kata yang sangat kasar.<br />Penghinaan Pak Paulus memang sungguh menyakiti perasaanku. Harga diriku telah diinjak-injak olehnya. Namun, bukan ini alasan utamaku untuk berhenti bekerja. Demi Tuhan, sejak peristiwa malam itu, bayangan menyeramkan sosok srigala berbadan manusia itu selalu menghantuiku. Bahkan, dengus nafasnya yang berbau busuk itu serasa begitu dekat dengan hidung dan telingaku.<br />Walau aku sangat membutuhkan pekerjaan, namun kuputskan untuk segera hengkang dari kantor itu. Dan hari itu, aku kembali duduk di sofa depan ruangan Pak Paulus, menunggu giliran masuk seperti tempo hari. Tapi kali ini bukan untuk mengemis minda dipekerjaan, namun aku akan menyerahkan surat pengunduran diri resmi. <br />Tak lama kemudian aku diizinkan masuk. Ketika berhadapan dengannya, sedikitpun aku tidak mau melihat wajahnya yang amat serupa dengan iblis srigala di lantai empat itu. Sembari mejawab pertanyaannya, dalam hati kupanjatkan doa-doa pendek, serta berusaha tetap menjaga kesadaran pikiranku, agar tidak terpengaruh jampi-jampi lewat tatapan matanya yang tajam menusuk itu.<br />Sambil disertai dengan sumpah serapah dari mulut Pak Paulus, aku segera keluar meninggalkan ruangannya. Dengan nama Tuhan, aku segera tinggalkan kerajaan setan itu untuk kembali ke kehidupanku yang normal.<br />Demikianlah sepenggal kisah yang pernah kualami. Sejak 2 tahun meninggalkan perushaan itu, tak pernah sekalipun kudengar kisahnya. Entah apa yang terjadi dengan teman-temanku yang masih coba bertahan di sana. Kabarnya, perushaan garmen itu sudah di ambang kebangkrutan. Pak Paulus sendiri disebut-sebut lebih senang tinggal di villanya yang ada di Seminyak, Bali.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-37430819747773080872008-11-26T20:37:00.000-08:002008-11-26T20:40:52.847-08:00TERDAMPAR DI KERAJAAN GAIB LAUT SELATAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTvCFRtGx0nwtg2zptqvYznBIjWJCCfhpc1BNy0i8zBZBrjqnjk2NVVPIOfnELXRLuAV9nsH5GErhwWd2n3IBJfET0vJjvRClXwRqFHIHch7kGGLqmcn2ER7lPpOVQtDFsUibqa29Dp_5F/s1600-h/ms72.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 160px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTvCFRtGx0nwtg2zptqvYznBIjWJCCfhpc1BNy0i8zBZBrjqnjk2NVVPIOfnELXRLuAV9nsH5GErhwWd2n3IBJfET0vJjvRClXwRqFHIHch7kGGLqmcn2ER7lPpOVQtDFsUibqa29Dp_5F/s200/ms72.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5273192185155969554" /></a><br />Petualangan di pantai Bandealit yang angker itu benar-benar membuatnya jera. Dia terjebak di sebuah kerajaan gaib yang dihuni oleh wanita-wanita sangat cantik. Siapa mereka sebenarnya…?<br /><br />Namaku Hengki, usia 25 tahun. Salah satu kegemaranku adalah jalan-jalan menikmati keindahan alam, baik itu pegunungan maupun pantai. Sudah banyak tempat yang kukunjungi. Bahkan, sejumlah gunung di Jawa, seperti Gunung Semeru dan Bromo telah aku jelajahi. Demikian pula beberapa kawasan pantai yang legendaris pernah kujamah dengan tanganku.<br /><span class="fullpost"><br />Rasanya ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Dengan kegemaranku bertravelling telah banyak memberiku pengalaman baru, teman-teman baru, dan harapan-harapan baru. Tapi, aku tidak sendirian melakukan semua itu. Ada 8 orang teman yang selalu bersama dan kompak dalam mewujudkan kegemaran tersebut.<br />Umumnya, kami melakukan pendakian ke gunung, atau berkemah di sekitar pantai. Kegiatan ini terutama sekali kami lakukan saat kami liburan kuliah. Maklum, semua gengku adalah mahasiswa yang kuliah di berbagai perguruan tinggi. Ada yang kuliah di ITN Malang, ITS Surabaya, UMM Malang, Unesa Surabaya, dan aku sendiri di STIE Mandala Jember.<br />Suatu kali, kami mengadakan plesir ke pantai Bandealit. Hampir semua orang tahu, kalau pantai yang satu ini masih perawan dan penuh dengan misteri. Disamping jarang dirambah orang, pantai Bandealit beserta hutannya dihuni oleh manusia-manusia kerdil yang sulit dilacak keberadaannya, juga binatang buas masih banyak yang berkeliaran.<br />Sebagai orang-orang yang masih berjiwa muda, kami tertantang untuk menaklukkan keganasan pantai Bandealit. Dengan diantar beberapa petugas dari Perum Perhutani, kami menelusuri hutan yang masih perawan lewat jalan setapak. Hutan lindung ini ternyata memang benar-benar sangat lebat dan belum terjamah oleh tangan-tangan kotor.<br />Bunga anggrek banyak bertebaran di atas batu, pohon, dan di lereng-lereng bukit dengan berbagai aroma dan warna yang sangat indah sekali. Sayang, petugas Perhutani dan Pelindung Alam melarang kami memetik anggrek tersebut. <br />Hampir setengah hari kami berjalan naik turun bukit. Karena saking lebatnya pepohonan, sinar matahari tidak bisa menerobos tubuh kami.<br />Sesampainya di bibir pantai, kami segera memasang tenda, karena hari memang telah petang. Setelah itu, kami santai menikmati petang dengan minum kopi hangat dan makan mie instant. Tiga jam kemudian, malam tiba. Anak-anak ada yang main kartu di dalam tenda, ada juga yang memancing sambil duduk-duduk di atas batu karang.<br />Kebetulan sekali, malam itu purnama bersinar sempurna. Rasanya damai sekali berada di tengah-tengah alam yang masih asri. <br />Karena keadaan alamnya yang demikian permai, kami betah berkemah di lokasi pantai ini. Namun, sewaktu memasuki malam ketiga, aku mengalami suatu keanehan yang sulit diterima nalar. <br />Malam itu, sekitar pukul 12 malam, aku tidak bisa tidur. Kulihat di sisi kiriku Arman, tertidur dengan pulas. Kulihat pula di sisi kananku Andi juga tertidur ngorok.<br />Karena kesal sendirian, perlahan-lahan aku keluar dari tenda. Entah kenapa, betapa takjubnya aku melihat pemandangan alam dan air laut yang mengkilat diterpa sinar rembulan. <br />Ya, malam itu aku berdiri sendirian menghadap laut lepas. Angin malam benar-benar terasa segar dan tenang. Ombak pun berdebur ramah, menghadirkan irama alam yang menyegarkan pikiran.<br />Namun, laut yang semula tenang, tiba-tiba berubah seperti mengamuk. Ombak datang bergulung-gulung menjilati pantai Bandealit, disertai gemuruh angin semula ramah namun kini berhembus tak tentu arah. <br />Tapi yang jauh lebih aneh adalah diriku. Entah bagaimana, aku tidak merasa takut atau panic dengan perubahan alam yang sepertinya marah itu. Malahan, aku tetap saja asyik duduk-duduk menikmati kebesaran Sang Pencipta Alam.<br />Dari jarak sekitar 100 meter, kulihat tenda yang dihuni teman-teman tidak ada yang terbuka, pertanda semua penghuninya masih tetap tertidur pulas. Sementara itu, gulungan ombak yang menghempas pantai semakin mengganas. Bahkan, tiba-tiba suasana pantai jadi mendung dan gelap. Tak ada sinar purnama yang semula permai. Sementara, cahaya yang nampak di pantai itu hanya lampu listrik baterai dari dalam tenda teman-teman yang terlihat berkelap-kelip di kejauhan. <br />Aku sendiri tidak tahu siapa saja yang masih di pantai selain diriku. Namun aku sendiri, saat itu tidak memperdulikan hal itu. Yang terpikirkan hanya menikmati malam.<br />Deburan ombak pantai masih terus bergulung-gulung seperti alunan musik memecah kesunyian malam. Ketika asyik menikmati suasana sekitar, mendadak aku dikejutkan oleh suara yang sangat asing di telingaku. Ya, suara itu seperti langkah kuda yang menarik kereta diiringi gemerincing klintingan yang biasanya menghiasi leher kuda.<br />Secara reflek, aku memalingkan wajah ke arah laut lepas tempat asal suara aneh itu muncul. Kembali aku merasakan keanehan. Wujud kereta dan kuda tidak ada. Yang kulihat hanya deburan ombak yang menyapu pantai.<br />Setelah itu, kembali suasana menjadi sunyi dan sepi. Keheningan menyelimuti pantai Bandealit. <br />Merasa tidak ada sesuatu yang terjadi, aku kembali bermain air dengan jari-jari kakiku. Namun, belum sempat aku memanjakan kakiku dengan air laut, lagi-lagi aku dikejutkan dengan suara yang sama. Bahkan kali ini, suara tersebut semakin jelas. Suara gemerincing klintingan sampai terasa memekakkan telingaku. <br />Dengan perasaan berdebar-debar, kuarahkan pandanganku pada sumber suara itu datang. Darahku seketika berdesir diiringi detak jantung berdegup cepat. Bagaimana tidak, kulihat ada suatu keanehan yang sepertinya muncul dari dasar laut. Seberkas sinar yang sangat menyilaukan mata menyemubul di antara gelombang. Dan yang lebih aneh, seperti ada sesuatu di balik cahaya kemilau itu. <br />Sayangnya, belum sempat aku melihat wujud apa sebenarnya yang ada di balik sinar itu, aku sudah jatuh pingsan. Yang kulihat setelah itu, aku merasa berada di atas kereta kuda dengan pengendalinya seorang wanita cantik, sementara itu disamping kiri dan kananya ada beberapa wanita yang sepertinya turut menjagaku.<br />Aku berusaha berontak dan berteriak, tapi aku tidak bisa mengeluarkan suara. Hingga akhirnya aku pasrah. <br />Tidak lama kemudian, pemandangan yang kulihat benar-benar membuatku terpesona dan keheranan. Kereta berhenti di suatu tempat yang sangat terang dan indah. Orang di sekelilingku hampir semuanya wanita dengan pakaian ala kerajaan. Ada juga kaum lelaki, tetapi mereka selalu di belakang para wanita itu, dan mereka selalu siap menunggu perintah.<br />Setelah lama berada di ruangan yang sangat indah dan sulit digambarkan itu, tiba-tiba muncul seorang wanita bermahkota. Sepetinya wanita ini adalah pemimpin dari para wanita yang membawaku. Dengan tatapan matanya yang tajam, namun kurasakan sejuk saat beradu pandang, wanita itu angkat bicara memberi tawaran padaku.<br />“Cah bagus, maukah kamu menjadi suami dari anak-anakku yang cantik-cantik itu? Kalau kamu mau, aku siap memberikan harta kekayaan yang melimpah padamu.”<br />Aku tdiak segera menjawabnya. Memang, kulihat ada sekitar 10 wanita cantik yang duduk berjajar di belakang wanita bermahkota itu. Dan rasanya aku tidak mungkin menikahi wanita-wanita cantik itu sekaligus. Dengan halus aku menolak mentah-mentah permintaan konyol itu.<br />Dalam benakku berkecamuk, pikiran yang susah diterjemahkan, karena aku masih merasa sangat aneh. Meski beberapa kali aku dibujuk agar mau mengawani 10 wanita cantik tersebut, aku tetap bersikukuh dengan pendirianku. Walaupun aku diiming-imingi harta yang tiada tara jumlahnya.<br />Karena aku tetap menolak, tiba-tiba aku ditendang, bahkan kemudian dicambuk oleh wanita-wanita cantik tadi. Yang tak kalah aneh, kecantikan yang semula terpancar di wajahnya berubah seram. Tiba-tiba wajah wanita-wanita cantik itu mengeluarkan taring dan sekujur tubuhnya bersisik seperti ular.<br />Bau anyir dan tubuh berlendir benar-benar membuatku mual. Ya, wanita-wanita tadi telah berubah menjadi ular berbisa yang kemudian melilit sekujur tubuhku. Pemimpin wanita tadi juga telah berubah menjadi ular bermahkota.<br />Aku berusaha untuk menguatkan diri. Tidak lupa aku berdoa dan menyebut asma Allah SWT berkali-kali agar aku bisa selamat dari marabahaya, dan kembali pada keluargaku. Hingga akhirnya aku jatuh pingsan lagi.<br />Kejadian berikutnya, aku ditemukan seorang nelayan mengapung di tengah lautan dengan pakaian yang sudah compang-camping. Tapi, anehnya sekujur tubuhku masih utuh dan segar. Nelayan yang belakangan aku ketahui bernama Pak Dirjo ini rupanya segera membawaku ke darat dan menyerahkan jasadku pada sesepuh Desa Bandealit.<br />Kabar tentang penemuan jasadku benar-benar membuat penduduk Desa Bandealit yang hanya beberapa KK jumlahnya itu jadi gempar. Begitu juga dengan kedua orang tuaku yang segera dihubungi oleh Polisi setempat. Teman-teman yang ikut pergi bertravelling juga turut serta datang satu mobil dengan kedua orangtuaku.<br />Kejadian ini benar-benar luar biasa sekali. Sebab, bagaimana mungkin jasadku tetap utuh bila mengapung di tengah laut selama satu minggu. <br />Ketika aku siuman dari tidur panjang yang aneh itu, aku pun benar-benar merasa takjub atas kejadian ini. Bagaimana mungkin aku bisa hidup mengapung di atas air laut selama seminggu, dan perasaan aku hanya sebentar tertidur. <br />“Kamu tidak usah bingung. Dunia gaib dan alam nyata memang sangat berbeda. Yang patut kita syukuri sekarang, kamu bisa kembali ke dunia ini dengan selamat. Dan itulah kebesaran Allah yang patut kita syukuri,” kata sesepuh desa Bandealit.<br />“Lalu siapakah mereka yang telah menyanderaku?”<br />“Mereka adalah penguasa laut selatan, dan kamu telah terdampar di kerajaan laut selatan tersebut.”<br />“Alhamdulillah, sekarang kamu telah kembali ke dunia nyata. Padahal Ibu dan ayahmu, juga semua keluarga kita, telah mengadakan tahlillan hari ke tujuh,” ucap Ibuku dengan linangan air mata. <br />Aku tertegun dan menatap kesedihan Ibu. Lalu aku memeluk Ibu dengan hangat dan erat. Aku berjanji dalam hati, tak akan membuatnya was-was dan khawatir lagi. <br />Sejak peristiwa itu, aku tidak lagi senang pergi ke tempat yang aneh-aneh. Apalagi, kini di sampingku sudah ada wanita cantik yang menjadi isteri syahku, dan telah memberiku seorang anak. Yang jelas, wanita satu ini bukan wanita siluman seperti di kerajaan laut selatan dulu. Jadi, karena itulah aku sangat mencintainya.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-64253326253405180742008-11-26T20:21:00.000-08:002008-11-26T20:36:02.101-08:00Misteri Pulau Marundang<span style="font-weight:bold;">Bagi kapal-kapal yang akan sandar di Pelabuhan Pontianak, kemungkinan besar akan melewati pulau ini. Ya, pulau Merundang! Konon, pulau ini dihuni oleh hantu. Benarkah? Berikut kesaksian salah seorang ABK kapal kargo yang pernah mengalami kejadian sangat aneh sekaitan dengan pulau Marundang…</span><br /><br />Selepas Maghrib, kapal kargo Ratu Rosali meninggalkan pelabuhan Pontianak. Sesuai rencana, kapal ini akan berlayar menuju negeri jiran, Malaysia. Kapal yang sarat muatan ini berlayar tenang meninggalkan Dermaga Teluk Air, tempat Ratu Rosli sebelumnya ditambatkan. Senja itu, cuaca cukup cerah. Sesuai dengan ramalan cuaca yang diinformasikan oleh pelabuhan, hari itu ombak laut memang akan jinak, tanpa gejolak berarti.<br />Pulau demi pulau dilalui Ratu Rosli tanpa rintangan. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba mesin kapal mengalami kerusakan. Kapal berhenti, terombang-ambing ditengah laut. Karena kerusakan mesin tidak dapat diperbaiki dengan cepat, maka tak ada pilihan lain. Ratu Rosli terpaksa buang jangkar.<br /><span class="fullpost"><br />Bila kapal mengalami kerusakan, sebagai bagian dari kru kapal, tentunya akupun ikut panic. Terlebih kapten kapal kargo yang akrab disapa Pak Chief itu. Maklum saja, keterlambatan akan menimbulkan komplain dari pemilik barang. Mereka tak pernah mau mengerti bila kapal tiba ditujuan. Bahkan akan jadi boomerang bagi pemilik kapal, sebab kepercayaan pelanggan ternodai. <br />Ternyata mesin kapal mengalami kerusakan fatal. Kruk as patah dan tak bisa difungsikan lagi. Sementara onderdil cadangan tidak ada. <br />Karena keadaan ini, keesokan harinya, Pak Chief terpaksa kembali ke Pontianak dengan menumpang kapal nelayan yang kebetulan akan pulang.<br />Tak ada yang mesti dikerjakan selama Pak Chief berada di darat. Para ABK menghambur-hamburkan waktu percuma, atau paling-paling memancing cumi-cumi. <br />Pemandangan laut yang menoton memang membuatku jenuh. Akhirnya aku beranjak masuk ke dek. Anehnya, malam itu aku gelisah. Setiap ruang sepertinya tidak membuatku nyaman. Berdiri salah, duduk apalagi. <br />Setelah cukup lama berbaring di kamar, rasa kantuk pun menyerang. Beberapa saat kemudian aku terlelap.Dan, entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba seorang wanita hadir dalam mimpiku. Bibirnya yang padat berisi itu menyunggingkan senyuman yang begitu mempesona. <br />Wanita cantik itu mengenakan gaun malam warna perak. Langkahnya gemulai, anggun bak peragawati di atas cat walk. Lekuk tubuhnya, amboi, indah sekali!<br />Sesekali dia menebar pandang ke seantero ruangan. Dan sesekali pula dia melirik genit kepadaku. Sesaat kemudian dia menghentikan langkahnya. Berdiri mematung dekat jendela yang memang sengaja dibiarkan terbuka. Rambut panjangnya terurai menutupi leher jenjangnya, melayang-layang liar dipermaikan angin yang berhembus semilir.<br />Sebagai seorang pelaut yang jarang bertemu perempuan, apa perempuan secantik dirinya, maka aku pun langsung tersihir oleh kecantikannya. Jantungku berdebar tak beraturan. Betapa ingin aku menyapanya, namun lidahku terasa kelu. <br />Entah berapa lama pandanganku tetap menancap padanya. Bidadari itu belum juga beranjak dari jendela. Namun, seketika rasa takjubku berubah menjadi takut. Entah mengapa, perempuan itu menatapku dengan tajam, dengan sorot matanya yang penuh dengan bara kebencian. Tatapannya berubah nanar, persis singa betina lapar yang ingin menerkam mangsanya. Sangat mengerikan! <br />Seolah tak peduli pada ketakutanku, perempuan itu merentangkan kedua tangannya yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ya, dia sepertinya ingin terbang ke luar jendela. Tapi, tidak! Secepat kilat dia malah menghampiriku dan langsung mendekapku.<br />Dalam dekapanya, aku sulit bergerak. Nafasku tercekat. Anehnya, tubuh wanita cantik ini berbau seperti kemenyan. Sangat menyengat. Aku meronta, berusaha melepaskan diri. Lalu aku berteriak keras. “Lepaskan aku! Tolooong…!”<br />Anehnya lagi, kenapa Very, teman sekamarku tidak lekas membantuku? Padahal posisinya tepat di sisiku. Bahkan tubuh kami nyaris bersentuhan diatas dipan untuk dua orang ABK. Kalau pun akhirnya ia bangun lebih dulu, mungkin karena mendengar gumam tak jelas, atau tersenggol tubuhku yang bergerak tak terkendali.<br />“Hei..Man bangun!” teriaknya sambil mengguncangkan tubuhku.<br />Aku tersentak, dan kembali ke alam nyata. Spontan aku amat lega terlepas dari beban menyiksa dari mimpi yang menakutkan itu. <br />Very menyeringai melihatku masih ketakutan. Dia juga tampak tegang. “Mimpi seram ya, Man?” Tanyanya. Dia mengingatkanku agar membaca Bismillah sebelum tidur, kemudian memberiku segelas air mineral.<br />“Mimpinya aneh,” ujarku setelah menenggak air mineral sampai habis. <br />“Memangnya mimpi apaan sih, sampai kamu berteriak-teriak seperti orang sekarat?” tanya Veri.<br />“Menyenangkan tapi menakutkan Ver. Seram!” jawabku, Lalu kuceritakan isi mimpiku.<br /> “Berarti makhluk itu penghuni pulau Marundang? Mengapa baru sekarang? Padahal sudah seminggu kita lego jangkar di sini,” ujar Very setelah mendengar ceritaku, sambil mengernyitkan dahinya,<br />Aku memang baru mendengar apa yang disebut Veri sebagai Pulau Marundang itu. Anehnya, nama pulau ini sepertinya berhubungan dengan wanita yang hadir dalam mimpiku.<br />Selepas mimpi itu, aku memang sulit memejamkan mata. Bahkan, sekitar pukul tiga dini hari, melalu jendela, aku menerawang ke kejauhan. Samar-samar pulau yang terletak antara Indonesia dan Malaysia itu tampak diselimuti kabut, terkesan angker. Tiba-tiba bayangan sosok wanita itu kembali mengusikku. Bukan kecantikan atau senyumnya, melainkan sorot matanya yang menakutkan. Hih, bulu kudukku berdiri.<br />“Sudahlah, lupakan saja, Man! Mimpi kan hanya bunga tidur. Jangan terlalu dipikirkan kalau kau selalu mengingatnya, nanti kesurupan lho!” Very menepuk bahuku.<br />Dua hari kemudian, kekhawatiran Very terjadi. Menjelang sore, aku merasakan perubahan yang aneh. Sosok wanita itu kembali mengusik ketenganku. Sudah kupaksakan agar bayangannya enyah dari ingatanku, tetapi tak bisa. <br />Apa yang terjadi selanjutnya menimpa diriku? Semuanya diceritakan oleh Very, karena aku memang sama sekali tidak menyadarinya. Beginilah kisahnya…:<br />Setiba dari Pontianak, Pak Chief kaget mendengar suara gaduh dari kamarku. Dia penasaran, karena selama ini belum pernah melihatku bikin ulah. Mendapati aku dirubungi para ABK, karuan Pak Chief keheranan. Saat itu, aku bukanlah diriku lagi. Rupanya, makhluk itu telah menguasaiku.<br />Pak Chief, juga teman-temanku ABK yang lain, ketakutan melihatku terus cekikikan, dengan mata melotot sambil menceracau tak jelas. Pak Chief berusaha menenangkanku. <br />“Siapa kau ini, laki-laki atau perempuan?” tanyanya. Sementara itu, para ABK saling berpandangan, penuh harap menunggu jawaban. Mereka ketakutan saatku pelototi bergantian. <br />Bukan jawaban yang didapatkan didapatkan dari mulutku yang kerasukan itu. Menurut cerita Very, aku malah menampar keras pipi kiri Pak Chef. <br />Sontak saja lelaki bertubuh gempal ini jadi berang. Lima ABK yang mendapat perintah langsung darinya segera memegangi tangan dan kakiku. Namun, mereka kewalahan, sebab aku terus berontak dengan tenaga kuat luar biasa. <br />Merasa khawatir akan keselamatanku, takut aku mencebur diri ke laut misalnya, atas perintah Pak Chief, kemudian aku diikat pada pilar di tengah ruangan. Ikatannya sangat kuat, dengan menggunakan tali sebesar jari kelingking orang dewasa. <br />Kata Very, aku memang tak bisa berkutik lagi. Tubuhku langsung terkulai menyatu dengan pilar itu. Suasana kapal pun berubah tenang, dengan demikian para ABK, khususnya bagian mesin bisa lebih berkonsentrasi memperbaiki kerusakan mesin. <br />Keputusan Pak Chief memang kejam, namun tepat. Hal itu merupakan wujud dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin. “Sebelum sadarkan diri, jangan lepaskan tali ini. Tolong awasi dia!” katanya dengan tegas, seperti yang ditirukan Very. <br />Sejurus kemudian, Pak Chief pergi menuju ruangan mesin. Dua orang petugas juru mesin mengaku kewalahan, sebab baru kali ini mereka menghadapi kerusakan fatal. Butuh kesabaran ekstra memasang kembali truk as ke dalam mesin. Apalagi onderdilnya masih baru.<br />Akhirnya, mesin selesai diperbaiki. Anehnya, di saat bersamaan, aku yang semula kerasukan kembali siuman. Pak Chief girang melihatku. <br />“Sudah sadar kau rupanya?” candanya sembari mengucek-ucek rambutku.<br />Setelah mesin berhasil dihidupkan dan jangkar ditarik ke haluan, Ratu Rosali pun siap melaju kembali meneruskan pelayaran yang tertunda. Karena truk asnya diganti, kapal melaju lebih kencang dari biasanya, yakni dengan kecepatan 12 mil/jam. <br />Meskipun aku telah sadar, namun ternyata Pak Chief masih merisaukan keselamatanku. Buktinya, sepanjang perjalanan aku selalu diawasinya. Rupanya, dia khawatir kalau tiba-tiba makhluk itu kembali merasuki tubuhku. <br />Syukurlah, tak ada kejadian aneh hingga kami sampai di tujuan. Usai bongkar muatan, selama 15 hari di pelabuhan Malaysia, kami kembali berlayar menuju Lampung. Aku tak sabar ingin secepatnya tiba disana. Aku yakin, Marni pasti menantikan kedatanganku yang sudah terlambat lama. Dia wanita sederhana pedagang kopi keliling di pelabuhan. Setiap awak kapal yang bersandar di Lampung, tentu mengenalnya. Bersamanya, aku berharap hidupku lebih berwarna lagi.<br />Pada saat pelayaran menuju lampang, suatu malam aku sendirian di kamar. Asyik, aku bebas berfantasi tanpa ada yang mengganggu. Aku membayangkan Marni, agar bisa melupakan sosok makhluk jahat itu. Tapi, ya Tuhan, beberapa jam kemudian, aku kembali mendapatkan teror!<br />Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sosok mengerikan itu sudah berdiri di hadapanku. Dia menampakkan wujudnya yang sangat menyeramkan. Persis Mak Lampir. Gaun malamnya tetap berwarna perak, namun wajahnya tak cantik lagi. <br />Aku takut setengah mati. Sekujur tubuhku lemas. Ingin berteriak, tapi bibir rasanya terkunci. Ingin lari keluar dari kamar pun tak bisa.<br />Akhirnya, dengan tubuh gemetar, aku hanya pasrah. Di saat ketakutanku tak tertahan lagi, tiba-tiba dia menghilang. Aku lantas menghambur ke luar kamar, ke ruangan Pak Chief. Aku menemukan ketenangan dan merasa aman. Setidaknya, ada hiburan sementara menunggu pagi. Pak Chief cukup bijak, mengizinkan aku nonton DVD sesukaku di kamarnya.<br />Kapal bersandar di Lampung pada malam hari. Aku betul-betul kasmaran. Setelah pamit pada Pak Chief, aku menemui Marni yang rumahnya tidak seberapa jauh dari pelabuhan. Gadis sederhan itu amat antusias mendengarkan kejadian aneh yang kualami.<br />Beberapa saat kami terdiam. Marni menatapku. Entah apa yang dia pikirkan. Kemudian dia memecah kesunyian.<br />“Sebaiknya , istirahat saja dulu kerja di laut, Kak. Makhluk itu berbahaya! Siapa tahu dia minta korban. Tapi saya hanya menyarankan. Tidak memaksa, lho!” bibir gadis itu bergetar.<br />Giliran aku diam kebingungan. Mana yang harus kupilih? Masih dua pulau lagi yang akan kusinggahi. Kalau diteruskan, aku akan terus-terusan diteror makhluk sialan itu. Aku tak ingin berlama-lama dalam kebimbangan. <br />Karena yakin, rasa takut itu berasal dari diriku sendiri, maka kuputuskan meneruskan pelayaran ke pulau Bangka. Keinginan mengundurkan diri kutangguhkan sampai tiba di rute terakhir. Ya, kembali ke Pontianak. Dengan begitu, paling tidak aku bangga akan diriku. Setidaknya aku bukan pelaut pengecut.<br />Selama bersandar di pulau Bangka, tak ada kejadian aneh. Mungkin makhluk itu telah lupa dan bosan mengusik ketenanganku. Atau mungkin dia sudah berselingkuh dengan ABK lain? Segala sesuatu berjalan wajar hingga selesai bongkar muatan. Setelah itu, pelayaran dilanjutkan menuju Ketapang. <br />Pagi cerah, laut masih berkabut, sewaktu kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Bangka. <br />Sebagai seorang pelaut aku tahu persis kalau sedari dulu pulau Ketapang memang terkenal nuansa mistinya. Sering kudengar cerita teman yang melihat penampakkan di pelabuhan. Tapi, aku cenderung mengabaikannya.<br />Tiga hari berlalu, aman di Ketapang. Pak Chief gembira melihatku kembali ceria dan membaur sesama ABK. Seperinya biasanya, kami bersenda gurau melepas penat usai kerja bongkar muatan. <br />Namun, sungguh aneh, di tengah keceriaan itu, tiba-tiba sekelebat bayangan kembali melintas dalam benakku. Bayangan wanita bergaun perak itu. Tapi, segera kutepis dan langsung mengingat Marni. Demikian kulakukan berulang-ulang kali, sehingga pikiran dan perasaanku mulai ngelantur. Semula aku beranggapan, mustahil makhluk itu kembali mendatangiku lagi karena jarak Marundang – Ketapang terlampau jauh. Tapi nyatanya, dia terus mengikuti dan kembali bereaksi. Kali ini kejadiannya sangat aneh.<br />Malam itu, hujan masih menyisakan gerimis. Suasana pelabuhan Ketapang tampak lengng. Biasanya, bila cuaca cerah, warga setempat selalu datang meramaikan pelabuhan. Disana-sini biasanya terlihat pasangan memadu kasih, duduk santai di dermaga sambil mengobral janji-janji manisnya.<br />Tapi, malam itu suasana sepi sekali. Bahkan, sebagian temanku pasti sudah terlelap. Aku belum mengantuk. Aneh, perasaanku serasa sangat galau. Resah. Kusibuk kandiri dengan mempertimbangkan keputusan terbaik setelah tiba di Pontianak nanti. Berhenti kerja di laut, tapi apa yang bisa aku lakukan? Sementara aku tak punya pengalaman kerja di darat?<br />Angin bertiup kencang dan rasa dingin semakin menggigit. Sebagai perokok kronik, di saat cuaca dingin, aku sangat membutuhkannya. Sial, rokokku tak satu pun tersisa. Aku beringsut ke kamar sebelah. Begitu pintu terkuak, kulihat temanku sudah pulas meringkuk. Rasanya sungkan membangunkan tidurnya. Siapa tahu, mungkin dia tengah mimpi indah. <br />Kemudian aku langsung meraih sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja. Kunyalakan korek api lalu menyulut sebatang. Begitu melangkah ingin meninggalkan kamar, tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku. Spontan bulu kudukku meremang.<br />Ya, Tuhan! Makhluk itu muncul dari kehampaan. Dia tiba-tiba saja sudah berdiri dengan berkacak pinggang menghadangkan di bibir pintu. Tubuhnya yang langsing itu masih mengenakan gaun malam berwarna perak. Bibirnya tersenyum sinis dengan sorot mata melotot tajam.<br />Tanpa kuasa menolak, aku mengikuti langkah wanita itu ketika dia menuntun lenganku pergi meninggalkan kapal. Hanya itu terakhir yang kuingat di ambang batas kesadaranku. <br />Rupanya, tak seorang ABK pun tahu bahwa aku kembali dirasuki dan pergi bersama sosok perempuan misteri itu ke alamnya. Ya, suatu tempat yang sulit diketahui di mana letak persisnya. Sebuah tempat yang sangat asing bagiku, dan bagi siapa pun juga. Mungkin bukan di alam nyata. Yang pasti, panorama alamnya begitu indah dilatari sederetan pohon rindang. <br />Anehnya, selama dalam pengembaraan itu, yang kurasakan bukannya malam hari, tetapi suatu sore saat matahari akan tenggelam. Cuaca redup menyejukkan. Seluas mata memandang, yang kulihat hanyalah hamparan pemandangan menakjubkan. <br />Setelah cukup lama berjalan, akupun merasa lelah. Aku mengajaknya duduk di tepi sebuah telaga. Wanita itu berdiri membelakangiku. Sementara aku tak berkedip memandangi ikan-ikan beraneka warna yang terus berenang berseliwaran di dalam telaga yang sangat bening. Karena kelelahan, aku bersandar pada pokok pohon mati ditepi telaga itu. Tak lama kemudian, makhluk itu melirikku sekilas, lalu pergi tanpa bicara sepatah katapun.<br />Yang tak kalah aneh, saat terjaga, aku berada buritan kapal. Dengan gugup, aku segera berlari meninggalkan lokasi ini. Waktu itu pagi sudah tiba. Saat masuk kamar, kulihat Very belum juga bangun. <br />Pagi itu, perasaanku tak menentu. Aku merenung, mengenang perjalanan yang kutelusuri di luar kesadaranku. Sementara. Ratu Rosali bertolak meninggalkan pelabuhan Ketapang. <br />Selama dalam pelayaran menuju Pontianak, sengaja aku pindah kamar. Temanku tak keberatan bertukar kamar yang kuanggap sial itu. <br />“Dengan senang hati aku akan tidur di kamarmu. Jika nasib lagi mujur, siapa tahu makhluk itu hadir dalam mimpiku nanti. Kemudian memberi angka jitu. Lalu aku kaya mendadak jadi jutawan,” ujar Idham, temanku, dengan gayanya yang jenaka.<br />Setelah bertukar kamar dengan Idham, kukira wanita gaib itu tak lagi mengusikku. Namun, kenyataannya dia terus mengikuti kemana pun aku pindah, bahkan ke mana pun kapal berlayar. Aku tak bisa mendeteksi keberadaannya aku karena tak punya kemampuan supranatural.<br />Di kamar yang baru, aku beranjak tidur dengan perasaan sedikit lega. Biarlah temanku yang didatangi makhluk gaib itu. Tapi, apa yang terjadi? Tiba-tiba dia muncul lagi dalam mimpiku. Kulihat dia tampak beringas, sepertin ingin menelanku hidup-hidup. Jelas terdengar saat wanita itu bicara begini, “Namaku Tukiyem. Aku minta disediakan kambing putih.” <br />Bahkan, dia mengancam akan terus meneror ABK Ratu Rosali sebelum keinginannya dikabulkan. Aku hanya melongo terdiam. Hanya bisa mendengar, ingin bicara, tapi tak terucapkan. <br />Mimpi malam itu makin membulatkan tekadku untuk mengundurkan diri. Aku tak harus takut tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan di darat. Bukankah tersedia banyak pilihan dalam hidup? Jika mau berusaha, selalu ada jalan, demikian pikirku. <br />Bila tak ada peluang di daratan, apa salahnya kembali bekerja di laut. Tak harus kapal kargo Ratu Rosali yang berhantu ini. <br />Setelah selesai bongkar muatan di pelabuhan Pontianak, malamnya aku menemui Pak Chief di kamarnya. Dengan tegas kusampaikan keputusanku. Mendengar itu, dia menyipitkan mata. Mungkin sulit memahami alasan pengunduran diriku yang begitu mendadak. Tapi, dia merasa tidak berhak menghalangi niatku.<br />Sebelum pergi meninggalkan kapal, aku harus menceritakan mimpiku semalam. Salah besar jika kupendam sendiri. Demi keselamatan seisi kapal, apa salahnya memenuhi permintaan makhluk itu.<br />Sepertinya Pak Chief tak mempercayai kata-kataku. Dia mengangap makhluk gaib jenis apapun hanyalah tahyul belaka. Tak mengapa. Yang penting aku lega, sebab mimpi yang membebani pikiranku itu telah kuceritakan padanya.<br />Sebulan kemudian, Ratu Rosali kembali berlayar ke Malaysia. Sebelum kapal bertolak, aku menemui Very dan menanyakan tentang kambing putih permintaan makhluk itu. Tapi jawabannya, “Pak Chief mengabaikan itu!”<br /> Aku membatin, ABK siapa lagi yang akan diteror wanita sialan itu nanti?<br />Sementara belum mendapat pekerjaan, aku menghabiskan hati-hariku di pelabuhan. Kadang ikut melaut dengan perahu nelayan. Berangkat pagi mencari ikan, sore harinya kembali ke daratan.<br />Waktu terus berlalu, Senin pagi, tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan kapal nelayan yang membawa Pak Chief bersama 10 ABK Ratu Rosali. Kapal nelayan itu menyelamatkan mereka saat terapung di tengah laut, tak jauh dari pulau Marundang.<br />Menurut Very, yang kutemui dalam keadaan shock, saat melintasi lautan pulau Marundang, kapal kembali mengalami kerusakan. Baling-baling kemudi patah tanpa sebab. Ketika itulah tiba-tiba angin bertiup kencang dari dua arah, barat dan barat laut, membangkitkan ombak setinggi 5 meter.<br />Ratu Rosali terombang-ambing tanpa daya. Akhirnya, suatu tamparan ombak yang begitu dahsyat menenggelamkannya. Tamatlah riwayat kapal kargo itu…. <br />Mendengar cerita Veri, seketika sosok makhluk itu berkelebat dalam benakku. Adakah hubungan kecelakaan itu dengan sikap sombong Pak Chief, yang tak mau memberikan kambing putih pada sosok perempuan gaib yang mengaku bernama Tukiyem itu?<br />Wallahu’alam. Hanya Allah SWT yang mengetahui rahasia hikmah di balik setiap musibah.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-59415223067800530242008-11-26T20:16:00.000-08:002008-11-26T20:21:15.651-08:00KESAKSIAN SANG PEMILIK “UANG BALIK”<span style="font-weight:bold;">Seorang wanita cantik memberinya selembar uang Rp. 50.000. Ternyata, ini adalah uang siluman, atau yang kemudian dikenal dengan nama Uang Balik. Uang inilah yang pada akhirnya membuatnya kaya raya. Lantas, apa yang kemudian terjadi….</span><br /><br />Sebut saja lelaki yang sejatinya berwajah tampan itu dengan nama Danu. Penulis mengenalnya berkat jasa seorang teman, yang kebetulan juga temannya Danu. Seperti penuturan sohib Penulis itu, Danu memiliki kisah perjalanan hidup yang sangat mencekam. Seperti apa? Danu membeberkan kesaksiannya. Berikut ini kami jalinkan kisahnya untuk Anda…:<br /><span class="fullpost"><br />Malam itu, entah malam yang ke berapa kalinya aku dan isteriku harus tidur dengan menahan lapar. Maklumlah, pekerjaanku yang hanya sebagai pengepul barang rongsokan kelas teri, yang setiap hari keliling dari kampung ke kampung dengan sepeda butut, memang tidak menentu pendapatannya. Hampir setiap hari, kami hanya bisa makan dua piring nasi dengan sayur bening dan secobek sambal terasi. Kalau kebetulan dapat rezeki agak lumayan, barulah kami bisa makan dengan ikan goreng atau telur asin. <br />Kebetulan, siang hari tadi hujan turun lebat sekali, sehingga aku tidak bisa leluasa melakukan aktivitasku keliling kampung membeli koran atau botol-botol bekas. Alhasil, tak ada kelebihan uang yang bisa kubawa pulang, kecuali rasa letih dan kepala yang pusing akibat kehujanan hampir seharian. <br />Selepas sholat Isya, aku dan isteriku hanya makan sisa sayur asam yang tinggal airnya saja. Nasi pun hanya tinggal sepiring, dan kami makan bersama. Walau begitu, aku masih tetap merasa beruntung. Meski kehidupan ekonomiku carut-marut, isteriku tetap setia mendampingku. Dia juga termasuk seorang yang tekun dalam beribadah. <br />Ternyata aku tidak salah memilih Kartika sebagai pendamping hidupku. Dia tak hanya cantik dan salehah, namun dia juga isteri yang sangat sabar dalam menghadapi segala cobaan. Namun, cintanya yang tulus ini membuatku merasa bersalah, sebab aku tdak bisa membahagiakan Kartika. Jangankan memberinya harta yang berlimpah, untuk memberi kehidupan yang layak saja aku tidak bisa melakukannya. <br />Sungguh, bila ingat semua itu, tak terasa air mataku menetes. Aku merasa telah menjadi lelaki tak berguna. Nasib buruk sepertinya telah menjadi bagian dalam hidupku. Bukannya aku pemalas atau tidak mau bekerja keras. Aku sudah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezeki. Tapi tetap saja hasilnya pas-pasan.<br />“Tika, sampai kapan hidup kita akan begini terus?” cetusku sambil memandangi wajahnya yang ayu.<br />“Sabar ya, Mas. Mungkin ini cobaan dari Allah!” jawabnya singkat.<br />“Coba kalau dulu aku sekolah sampai sarjana, pasti hidup kita tidak akan susah begini,” kataku, menggerutu.<br />“Sudahlah, jangan menyalahkan keadaan, tidak baik terus-menerus mengeluh!” timpalnya dengan bijak.<br />Kartika, atau biasa aku memanggilnya Tika, memang selalu menjadi sumber pencerahan batin bagiku. Dia adalah apu semangat hidupku dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Setiap kali aku merasa putus asa, setiap kali aku terjatuh, maka dia selalu ada dan menjadi malaikat yang seolah tak pernah bosan mengulurkan tangannya untukku. Rasanya berdosa sekali bila aku menyatikinya.<br />Suatu malam, aku duduk menyendiri di bibir sumur tua yang sudah tak terpakai lagi. Jaraknya sekitar 50 meter dari belakang rumahku. Waktu itu, hatiku memang sedang galau memikirkan kenyataan hidup yang kualami. Sambil membiarkan lamunanku berkelana entah kemana, mataku seakan tak berkedip memandang langit yang penuh dengan taburan bintang. Apalagi, malam itu bulan sedang purnama. Sinarnya yang terang menjadi mahkota di malam nan sunyi itu. <br />Entah pukul berapa, aku tak tahu, sebab aku memang tak pernah memiliki jam tangan yang bagiku adalah sebuah barang mewah. Yang pasti, malam itu suasana sudah sangat sepi. Tak ada suara pun orang lewat. Bahkan suara jangkrik pun seolah tidak terdengar. Ya, malam yang hening. Rasa dingin mulai menyelimuti tubuhku.<br />Ketika menyadari kesendirianku yang sedemikian sempurna, tiba-tiba aku merasa takut sekali. Entah kenapa? Bulu kudukku mendadak merinding. Aku bergegas bangkit dari tempat itu. Namun, tiba-tiba aku tersentak kaget. <br />“Jangan pergi dari sini, kalau kamu ingin hidup kaya!” <br />Demikian kata satu suara yang tidak berwujud, yang membuatku kaget setengah mati.<br />Aku celingukkan, mencoba mencari sumber siapa pemilik suara itu. Tapi, jangankan orangnya, bayangannya pun aku tidak melihatnya.<br />“Siapa kau ini?” tanyaku, dengan bulu kuduk semakin berdiri meremang. <br />“Kembalilah duduk di bibir sumur ini, Sayang!” suara iu kembali terdengar. Astaga! Aku baru menyadari kalau suadara itu terdengar lembut sekali. Ya, suara seorang wanita. Tapi, siapa dia? Mengapa ada wanita tengah malam begini? <br />“Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Duduklah kembali di bibir sumur ini, Sayang!” katanya lagi.<br />Entah mengapa, sekali ini aku menuruti perintahnya.<br />“Lihatlah ke dalam sumur dan tolong keluarkan aku dari dalam sumur ini,” pinta suara itu dengan nada lembut penuh permohonan.<br />Seperti terhipnotis, aku langsung melolong ke dalam sumur. Aneh bin ajaib! Di dalam sumur yang sudah tidak terpakai selama bertahun-tahun ternyata memang ada seorang perempuan. Dengan sigap aku kemudian berusaha mengeluarkan wanita cantik itu. Anehnya, saat itu, entah mengapa rasa takut yang tadi menyergap batinku telah hilang entah kemana. Bahkan, demi melihat kecantikan wanita itu, rasa takutku malah berubah menjadi rasa cinta dan sayang. Padahal, jelas aku tidak pernah mengenal, atau melihat wanita itu sebelumnya.<br />Kejadian selanjutnya sungguh terjadi di luar akal sehat. Nafsu birahiku tiba-tiba bergejolak saat melihat paha wanita itu tersingkap karena tertitup angin malam. Dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba aku sudah bergumulnya. Ya, kami bercinta seperti laiknya sepasang kekasih yang dimabuk asmara setelah sekian lama tidak saling bersua. <br />Apa yang terjadi detik selanjutnya? <br />Aku terkulai lemas setelah menyemprotkan magma kenikmatan pada sesosok wanita cnatik tersebut. Entah berapa lama kami bercumbu. Yang pasti, sebelum pergi, wanita cantk itu memberikan selembar uang lima puluh ribuan rupiah padaku sambil berkata, “Uang ini sebagai awal dari kekayaanmu, Sayang!” Setelah itu dia pergi, dan bayangannya pun lenyap di telan gelap malam di ambang subuh.<br />Aku tertegun dan bingung. Aku sulit mempercayai apa yang barusan terjadi. Kuraba saku bajuku, ternyata selembar uang lima puluh ribuan rupiah itu benar-benar ada….<br />Pagi hari setelah kejadian ini, kepada Kartika aku pamit mencari rongsokan seperti biasanya. Tapi sebenarnya aku tidak mencari rongsokan. Aku masih bingung dan cemas bila teringat kejadian semalam.<br />“Apa sebenarnya maksud uang ini?” batinku sambil memegang uang Rp. 50.000 pemberi wanita misterius itu. <br />Meski pada awalnya sekedar mencoba-coba, akhirnya kubelanjarkan uang itu ke sebuah warung. Aku membeli beras, minyak goreng, telur dan beberapa makanan ringan untuk camilan isteriku. Setelah dihitung, jumlah belanjaanku Rp. 42.000. Jadi, aku masih menerima kembalian Rp. 8000<br />Sesampainya di rumah, bukan main senangnya isteriku. Dia menyambutku dengan rasa syukur.<br />“Alhamdulillah, akhirnya Mas Danu dapat rezeki kan?” ycap Kartika, memanjatkan rasa syukurnya.<br />Aku tersenyum, pura-pura ikut mengucapkan syukur. Dalam hati aku tetap berniat akan berusaha untuk menjaga rahasia ini. <br />Setelah menyerahkan belanjaan itu kepada Kartika, aku bergegas mandi. Saat kulepas bajuku, tiba-tiba uang Rp. 50.000 ribuan jatuh dari saku saku bajuku. Aku terpana dibuatnya. Aneh, bukankah uang itu sudah habis kubelanjakan? Lantas, kenapa bisa balik lagi ke saku bajuku? <br />Lambat laun akhirnya aku mulai menyadari bahwa uang Rp. 50.000 pemberian makhluk misterius itu memang bukanlah sembarang uang. Mungkin, ini adalah uang siluman? Atau mungkin pula ini yang dinakaman Uang Balik?<br />Pada awalnya, batinku gelisah karena kenyataan ini. Namun celakanya, lambat laun aku malah menikmati keanehan ini. Mungkin, karena semakin hari uangku semakin banyak. Bayangkan saja, setiap kali aku belanja uangku pasti kembali utuh. Bukan hanya barang yang kubeli yang kuterima, tapi sekaligus juga uang kembaliannya. <br />Untuk menghindari kecurigaan isteriku, aku berdalih bisnis barang antik dengan orang kaya. Karena ketulusan cintanya, isteriku percaya saja dengan kebohonganku.<br />Berkat Uang Balik itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku mampu membeli rumah, sawah, dan beberapa areal tanah yang cukup luas. Pekarangan yang luas tersebut aku kapling-kapling menjadi rumah, kemudian aku jual perunit. Maka jangan heran bila akhirnya aku mampu membeli mobil, juga rumah mewah beserta isinya.<br />Tahukah, ada satu hal yang harus kulakukan untuk mempertahankan kekayaan yang kumiliki. Setiap malam Jum’at Legi, aku harus melayani isteri gaibku yang bersemayam di sumur tua belakang rumah kami. Isteri gelapku ini bernama Puteri Sanca. Dia berasal dari bangsa lelembut. Dari Puteri Sanca tersebut kekayaanku bersumber. <br />Sampai sejauh ini Kartika, isteriku, tidak pernah tahu sepak terjangku. Dalam hati, sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi biarlah semua ini menjadi rahasia hidupku.<br />Terlepas dari semua itu, setiap toko atau warung yang baru aku beli, entah itu beli semen, emas atau apa saja, uang dariku pasti hilang tak berbekas. Dan uang itu sebenarnya tidak hilang, tapi uang itu kembali padaku. Memang, banyak orang yang curiga padaku, tapi mereka tidak bisa membuktikan kecurigaannya itu. Apalagi aku selalu berbuat amal baik dengan membagi-bagikan sembako. Terutama setiap menjelang lebaran dan menjelang Ramadhan. <br />Aku juga selalu menyantuni anak-anak yatim piatu. Jadi, sepertinya aku bersih di mata masyarakat sekitar. Seiring dengan itu, kekayaanku semakin melimpah ruah. Dan yang membuatku bahagia Kartika, isteriku, bisa tersenyum senang dan hidup mewah.<br />Di luar sepengetahuanku, rupanya secara diam-diam ada orang yang merasa tertipu oleh ulahku mencari orang pintarl Akhirnya, orang itu menemukan penangkalnya. Dan orang ini memberikan rahasia penangkal ini kepada pemilik warung atau toko yang lainnya.<br />Apa yang kemudian terjadi?<br />Entah bagaimana, setiap aku membeli sesuatu, uangku tidak kembali lagi seperti biasanya. Bahkan uangku yang kusimpan dibrangkas, tiba-tiba lenyap tanpa sebab. Karena itulah, dalam waktu singkat, hartaku mulai menipis. Aku benar-benar shock dengan kenyataan ini. <br />Sementara itu, tanpa kuduga isteriku juga mulai curiga dengan sepak terjangku. Dia berusaha menyadarkanku, tapi aku menangkisnya dengan kera.<br />“Aku tidak sudi Mas mencari harta dengan bersekutu dengan setan. Itu namanya murtad, Mas!” kata isteriku, suatu malam. Baru kali ini kulihat dia berkata keras seperti itu kepadaku.<br />Bukannya insyaf, aku malah menendang dan menamparnya. Aku benar-benar berubah beringas, terlebih setelah tahu kalau isteriku ternyata mencari orang pintar dan menyuruh orang untuk menguburkan uangku di kuburan.<br />Setelah mengetahui perbuatan Kartika ini, dengan kejam kuinjak-injak tubuhnya. Untung para tetangga segera menolongnya. Kalau tidak, mungkin aku telah membunuh isteriku sendiri. <br />Dengan kalap aku berlari menuju sumur tua tempat puteri Sanca. Aku berteriak-teriak memanggil namanya. “Keluar puteri Sanca! Tolong aku. Beri aku uang. Aku tidak ingin jatuh miskin, aku tidak ingin jadi kere!” Pintaku menghiba.<br />Tiba-tiba dari dalam sumur tua tersebut keluar seorang nenek renta berbaju compang-camping dan berbau anyir. Orang-orang yang melihatnya pada muntah dan menutup hidungnya. <br />“Pergi kamu nenek busuk! Aku mau puteri Sanca, bukan kamu!” bentakku setelah meludah karena rasa jijik. <br />Nenek itu tertawa menyeramkan. “Puteri Sanca itu ya aku. Ayo sini. Kamu telah melanggar kesepakatan, sudah dua malam Jum’at, kamu tidak memenuhi hasrat birahiku!” ucapnya sambil berusaha menyeretku ke dalam sumur tua.<br />Melihat itu, isteriku berusaha meraih tanganku. Aku sendiri terus meronta melakukan perlawanan. <br />“Kartika toloong aku…tolong aku!” pintaku setengah putus asa. Percuma saja, puteri Sanca yang ternyata siluman tua renta berhasil menyeretku masuk ke dalam sumur.<br />Kudengar saat-saat terakhir isteri berteriak pilu memanggil namaku. Dan suara isteriku itu rasanya begitu nyeri terdengar di telingaku. Selanjutnya aku tidak mendengar apa-apa lagi. Pandanganku jadi gelap dan pekat….<br />Saat siuman, kudapati diriku berada di ruang perawatan sebuah rumah sakit. Sekujur tubuhku terasa nyeri. Namun, rasa nyeri itu seakan lenyap saat kulihat Kartika menatapku dengan senyum, walau kulihat matanya bengkak dan merah.<br />“Apa yang terjadi denganku, Tika?” tanyaku.<br />Kartika tak menjawab. Dia berusaha menenangkanku,. Di saat yang sama, baru kusadari kalau di dalam ruangan itu ada juga ayah dan ibuku, kedua mertuaku, juga seorang lelaki tua bersorban putih, yang belakangan kuketahui namanya sebagai Kyai Abdullah (samaran).<br />Nah, Kyai Abdullah inilah yang kini membimbing pertobatanku. Belakangan aku tahu kalau pada hari itu, aku benar-benar jatuh ke dalam sumur tua tersebut. Untunglah para tetangga menyelamatkanku, walau beberapa persendianku dinyatakan patah oleh dokter.<br />Kini, aku telah sembuh dan sehat wal’afiat. Satu hal yang paling kusyukuri, Allah SWT masih memberiku panjang umur, sehingga aku bisa melakukan tobatan nasuha. Walau kekayaanku telah habis, namun aku bersyukur sebab masih memiliki Iman Islam. Dan, aku juga masih bisa merasa bangga sebab memiliki isteri salehah seperti Kartika.<br />Dengan sedikit sisa uang yang ada, Kartika kini membuka sebuah warung kecil-kecilan, sedangkan aku tinggal di pesentran milik Kyai Abdullah. Entah untuk berapa lama lagi….<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-91358104103748713242008-11-26T20:11:00.000-08:002008-11-26T20:15:31.841-08:00DIKUNTIT DEDEMIT GUNUNG SALAK<span style="font-weight:bold;">Gara-gara ada salah seorang peserta wanita yang membuang pembalut sembarangan, rombongan pecinta alam itu mengalami rentetan kejadian aneh. Bahkan, si peserta yang membuang pembalutnya itu terud dikuntit oleh dedemit gunung Salak. Apa yang terjadi selanjutnya…?</span><br /><br />Sebagai seorang pendaki, banyak kejadian mistik yang kualami ketika aku mendaki gunung. Tapi, kisah yang kutulis ini adalah yang paling menyeramkan dalam riwayat pendakianku ke sejumlah gunung. Peristiwa ini menyebabkan trauma selama 1 tahun lebih. Berikut kisahnya…:<br /><span class="fullpost"><br />Seperti biasa, setiap tahun organisasi kami, Mahasiswa Pecinta Alam, pada sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, selalu mengadakan diklat atau pelatihan untuk calon anggota baru. Kali ini, kegiatan tersebut diadakan di gunung Salak, Sukabumi. <br />Dari awal pemberangkatan menuju lokasi pertama, keadaan baik-baik saja. Semua berjalan sesuai schedule yang telah ditetapkan panitia. Kebetulan, aku menjadi mentor pembimbing untuk 1 grup, yang terdiri dari Keni, Irfan dan Agung. Tugasku adalah mengawasi dan membimbing mereka selama dalam pendakian. Sedangkan 2 grup lagi, dipimpin oleh Bayu dan Hendi. Jumlah peserta termasuk senior dan panitia tak kurang dari 20 orang.<br />Perjalanan menuju lokasi pendakian pertama ditempuh sekitar 2 Km. Itupun baru tahap pemanasan. Para catas (istilah untuk calon anggota) harus berjalan sejauh 2 Km. dengan membawa beban carrier rata-rata 9 – 12 Kg/orang. Selama dalam perjalanan, tampak sekali aku lihat para catas ini sangat kelelahan. Apalagi Keni yang kebetulan catas wanita satu-satunya.<br />Ketika perjalanan mulai memasuki perhutanan, terjadi sedikit kekacauan pada Keni. Tiba-tiba dia ketakutan sambil memegang tangan rekan sesama cates. <br />“Ada apa Ken?” tanyaku, agak jengkel juga.<br />“Lihat, Kak Ida! Di sana ada orang tinggi besar menghadang jalan kita,” jawab Keni. Tangannya gemetar menunjuk ke depan.<br />Tapi aku dan yang lainnya tidak melihat orang yang dimaksudnya. <br />“Mana Ken, kamu jangan bercanda ya. Ayo, kita jalan lagi!” perintahku.<br />“Tidak…tidak! Aku takut, Kak!” bantah Keni, setengah merengek.<br />“Kalau kamu tidak melanjutkan pendidikan ini, kamu batal jadi catas. Lagian kamu jangan nyusahin gitu, dong!” kataku mengingatkan.<br />Keni hampir menangir. Untunglah, karena bujkan dari beberapa teman catas dan semangat dari para senior, akhirnya dia mau melanjutkan perjalanan.<br />Untuk menuju titik pendakian pertama, jalan yang kami lalui sudah sedikit sulit, apalagi para senior cowok harus membuka jalur terlebih dahulu. Ditambah lagi rute yang becek dan licin karena seringnya turun hujan. <br />Ketika hari menjelang sore, kami harus mencari lokasi peristirahatan. Setelah mendapat lokasi yang cukup baik, kami mulai memasang tenda. Ada sebagian yang membuat makan malam, dan tak lupa membuat perapian untuk penerangan dan menghangatkan badan. <br />Setelah rapi semuanya, para senior mengumpulkan catas untuk evaluasi dan pelaksanaan jadwal besok hari. Waktu itu, jelas sekali kulihat wajah Keni yang pucat dengan pandangan kosong. <br />“Kamu kenapa, Ken?” tanyaku, tapi Keni diam saja. <br />Untuk kedua kalinya aku bertanya, “He, ngapain kami bengong saja. Masuk nggak tuh pelajaran?” bentak Jawir sebagai panitia pelaksana lapangan.<br />Keni tersentak kaget. “I…iya, Kak!” geragapnya. <br />Setelah evaluasi selesai, para catas dipersilahkan kembali ke tendanya masing-masing. Begitu juga dengan para senior. <br />Namun, belum sampai setengah jam kami beristirahat, tiba-tiba terdengar suara Keni berteriak keras. “Tolooong…!!” <br />Sontak kami berhamburan keluar menghampiri tendanya. Apa yang terjadi?<br />Kami melihat wajah Keni berubah menyeramkan. Matanya melotot ke atas. Ketika salah seorang dari kami menanyakan keadaannya, tiba-tiba Keni malah tertawa keras. Namun, itu bukan suara tawanya yang asli. Tawa itu seperti suara seorang lelaki. <br />Lebih aneh lagi, Keni juga bisa tertawa dengan suara wanita cekikikkan mirip Mak Lampir dalam sintron. Akhirnya, kami sadar kalau Keni kerasukan.<br />“Siapa kamu ini sebenarnya?” tanya Jawir yang memang paling senior dari kami. <br />Keni tertawa dan menyeringai. “Aing nu boga tempat ieu (aku yang punya tempat ini),” jawabnya dengan suara bariton yang berat milik laki-laki.<br />“Kami mohon maaf apabila berbuat kesalahan. Tapi tolong bebaskan teman kami ini. Dia tidak tahu apa-apa,” bujuk Jawir.<br />Keni hanya diam. Anehnya, beberapa saat kemudian Keni berubah tenang. Namun, ketika aku memintanya itirahat di dalam tenda, tiba-tiba Keni kembali lagi berteriak dan meronta-ronta. Sontak Jawir mendekap tubuh Keni. Bahkan karena takut terjadi sesuatu, kami bersepakat mengikat kaki dan tangan Keni. Ya, kami takut Keni akan lari dan masuk jurang.<br />Sampai pagi harinya, kami tidak tidur hanya menunggui Keni yang sebentar-bentar kerasukan dan mengamuk. Namun, karena schedule harus dilaksanakan, maka kami harus berkemas untuk menuju lokasi berikutnya. <br />Kali ini, rute yang kami tempuh sangat sulit. Hujan yang turun mengakibatkan jalan setapak becek dan licin, sehingga kami harus ekstra hati-hati.<br />Karena sulitnya medan, perjalanan kami jadi sangat lambat dan melelahkan. Akhirnya kami memilih berhenti ketika melihat Keni tiba-tiba terjatuh. Beberapa peserta lelaki membopong tubuh Keni yang terjatuh.<br />Anehnya, Keni meronta-ronta sambil mendengus seperti seekor harimau. <br />“Aku suka dengan anak ini!” kata makhluk itu dengan suara sangat menakutkan.<br />Kami kembali sibuk mengurusi Keni. Rupanya demit ini menyukai Keni dan selalu mengikutinya. <br />Dengan sisa-sisa keberanian para senior bergantian mengintrogasi si demit yang tentu saja dengan bahasa Sunda. Akhirnya, diketahui mengapa demit itu selalu mengikuti Keni. Rupanya, Keni telah membuang bekas pembalut sembarangan. <br />Demit tersebut sangat bandel, tidak bisa disuruh keluar. Hal ini memaksa Sapri, senior yang mengerti spiritual mengusir dengan doa-doa. Tetapi tetap saja demit itu bersamayam di tubuh Keni. <br />Aku yang tak tega melihat Keni, langsung membacakan doa-doa ditelinganya. Ketika baru selesai, tiba-tiba mata Keni melotot ke arahku sambil tertawa dengan suara lelaki yang mengeramkan. <br />“Kamu gadis cantik sekali…!” kata demit yang bersemayam dalam tubuh Keni. Sontak aku menjauhi Keni, karena dia sepertinya ingin menyentuhku. Dengan sigap pula Ema, teman seniorku, langsung menutup mata Keni karena pandangannya tak lepas dariku.<br />Karena keadaan Keni yang tambah buruk, pendakian akhirnya kamu tunda. Kami pun kembali membuka tenda. Jadwal yang telah disusun tidak terlaksana dengan baik. <br />Pagi harinya, tepatnya hari ketiga, kami kembali lagi berkemas untuk menuju lokasi berikutnya. <br />Sebelum berangkat Hendi, teman kami, melihat ada seekor anjing berbulu putih di balik semak-semak. <br /> “Aneh, kok ada anjing hutan menghampiri tenda kita?” tanya Hendi.<br />“Mungkin saja dia mencium makanan yang kita bawa,” jawab Sapri. <br />Tanpa menaruh curiga, kami pun segera melanjutkan pendakian. Kali ini pendakian benar-benar sulit. Selain cuaca yang tidak mendukung karena hujan turun dengan lebatnya, juga kondisi peserta yang mulai kurang vit. <br />Hal yang tidak masuk akal, di tengah perjalan dan derasnya hujan yang memaksa kami harus ekstra hati-hati itu, aku dikagetkan dengan kemunculan Keni yang tiba-tiba berjalan dengan cepat dan sudah berada di depanku. <br /> “Yang lainya mana, Ken?” tanyaku, tanpa menaruh curiga. <br />“Mereka masih jauh, Kak. Ayo, kita jalan duluan dan tetap semangat, Kak!” <br />Kata-kata Keni ini membuatku heran dan penasaran. Namun, aku hanya terdiam sambil terus berdoa memohon perlindungan Yang Maha Kuasa. <br />Akhirnya, aku dan Keni menyusul rombongan terdepan. Tapi aku heran karena semak yang kami pangkas untuk dilewati, bisa tertutup kembali dengan sendirinya.<br />“Kita tunggu yang lainnya,” kata Jawir yang sudah berhasil aku susul bersama Keni.<br />Tak berapa lama, rombongan paling belakang telah sampai. <br />“Bagaimana ini, jalur yang sudah dipangkas, kok bisa tertutup kembali?” tanya Jawir ke Eko sebagai ketua rombongan.<br />“Sudahlah, kita pangkas lagi di tempat yang tadi juga!” ujar Eko yang mencoba tetap tenang. <br />Seringnya terjadi keanehan, membuat kami harus berjalan beriringan jangan sampai terpisah jauh. Karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. <br />Sementara itu, sambil terus berdoa, tak sedetikpun pengawasanku lepas dari Keni yang kulihat ada kejanggalan pada dirinya. <br />Karena kondisi yang tak memungkinkan dan haripun menjelang sore, kembali kami membuka tenda di lokasi yang tidak sesuai rencana kami sebelumnya.<br />Hari keempat ini kami mengalami pendakian yang letihnya tiada tara. Ketika hari menjelang Maghrib, tiba-tiba kembali tubuh Keni dirasuki demit yang selalu mengikutinya. Keni meronta-ronta dan menendangi siapa saja yang dekat dengannya. Untunglah, Jawir dan Sapri dengan sigap menelikung tubuh Keni yang kecil itu. Karena tenaga Keni berubah sangat kuat, maka para senior dan para catas pun ikut memeganginya. Mereka membopong Keni ke tenda panitia yang lebi besar. <br />Apa yang terjadi selanjutnya? <br />Sangat sulit dibayangkan. Tubuh Keni terus meronta dan menendangi sambil terus mengoceh dalam bahasa Sunda. Tujuh tenaga lelaki tak sanggup menahannya. Setelah tak ada yang sanggup memegangginya, sbentar-bentar tubuh Keni terangkat ke atas dan melayang-layang, seperti tertarik oleh kekuatan tak kasat mata. Beberapa teman senior berusaha menahannya. Keni berteriak keras dan tentu saja membuat kami yang wanita menangis histeris.<br />“Tolong….jangan bawa aku!” teriak Keni.<br />Kenyataan yang tak masuk akal terus saja terjadi. Keni seperti mengalami penyiksaan. Sebentar tubuhnya melayang, namun sebentar kemudian jatuh terempas ke tanah. Melihat kejadian ini, tak henti-hentinya kami mengumandangkan takbir. Sedang aku sendiri tak tahu lagi harus berbuat apa. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya.<br />Sampai lewat tengah malam, demit itu seolah terus menyiksanya, bahkan lebih sadis lagi. Kali ini, kemarahan sang iblis tak terbendung lagi. Wanita mana saja lengah, pasti akan diserang. Aneh sekali! Walaupun dalam penyiksaan yang tiada tara, tapi terkadang Keni tersadar bila demit itu keluar dari tubuhnya. <br /> “Ema..awas dia mau masuk ke tubuh kamu!” teriak Keni memperingatkan Ema.<br />Kesal dengan peringatan itu, membuat demit itu marah luar biasa. Kembali dia menyiksa Keni dengan ulahnya yang semakin menjadi-jadi. <br />Mony yang sedari tadi sibuk dengan komat-kamitnya dengan spontan langsung mengumandangkan adzan pada jam setengah tiga pagi. Tiba-tiba keadaan menjadi hening, karena suara adzan. Kami yakin demit itu takut dengan adzan. Dia mungkin telah pergi meninggalkan tubuh Keni. Alhamdulillah, kami bersyukur karena Allah masih melindungi kami. <br />Tapi, dugaan kami salah. Sepertinya demit itu sadar, kalau dia hanya dikerjai oleh adzan Mony. Dia kembali dengan ganas dan menyiksa Keni, bahkan kali ini tak luput Mony kena sedikit bogemnya.<br />“He, kamu tidak takut dengan Allah?!” bentak Jawir.<br />“Tidak!” jawab demit itu meminjam mulut Keni.<br />“Masuk neraka kamu! Kafir kamu!” susul Sapri.<br />Iblis malah tertawa dengan sangat menyeramkan. <br />Pagi harinya, kami selaku panitia memutuskan untuk kembali turun mencari perumahan penduduk, dengan maksud untuk menyelamatkan Keni, karena walaupun hari telah pagi, demit itu tetap mengikuti dan menyiksa Keni. <br />Perjalanan turun diwarnai dengan pertarungan yang hebat, bahkan aku yang berlari paling belakang sempat carrier ditarik demit sialan itu, hampir-hampir aku terjerembat jatuh.<br />Bahkan, lewat mulit Keni demit itu mengancam bila telah lewat siang hari dia akan mengundang teman-temannya yang lebih banyak lagi. <br />Ketika kami hampir sampai di pemukiman penduduk, tiba-tiba demit sial berpindah merasuki tubuh Rani.<br />“Jangan….!” teriak Rani sambil menangis histeris. Rupanya, dengan jelas Rani melihat makhluk tinggi besar hitam dan berambut panjang itu. Karena tersadar, demit itu tidak berhasil merasuki tubuh Rani. <br />Singkat cerita, akhirnya Keni ditangani salah seorang supranturalis di kaki gunung Salak. Setelah ditangani, keadaan Keni mulai tenang dan tidak kacau lagi. Setelah itu kami memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta. Syukur Alhamdulillah, demit itu sudah tidak mengganggu lagi.<br />Dalam perjalanan pulang, aku yang tertidur di bus bermimpi Keni diikuti demit itu sambil menyeringai ke arahku. Sontak aku terbangun. Rupanya, Keni kembali mengamuk di bus.<br />Sampai di kampus, Keni langsung dibawa ke orang pintar. Orang pintar tersebut mengatakan, bahwa makhluk itu dulunya seorang jawara sakti dan melarikan diri ke gunung Salak sebagai tempatnya yang baru. Keni disukai makhluk jahanam ini, karena akan dijadikan pendamping di alam kegelapan. Karena itulah, ke mana pun dia pergi, makhluk itu akan mengikutinya. <br />Saat berusaha mengobati Keni, orang pintar tersebut menyuruh makhluk itu untuk kembali ke asalnya, tapi dia tidak mau kalau tidak di antar. Sudah barang tentu, tak satupun teman-teman yang mau mengantar, karena kami takut itu hanya jebakan saja. <br />Dengan kejadian tersebut, salama satu tahun lebih, aku merasa diikuti oleh makhluk itu. Sampai-sampai ke kamar mandi pun harus ditemani oleh kakak atau ibuku. <br />Sampai kini aku tidak tahu bagaimana nasib Keni selanjutnya. Namun, sempat kudengar kabar bahwa dia menjadi seorang muslimah yang taat. Mungkin, hanya dengan pilihan ini dia bisa melakukan penyembuhan untuk dirinya.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com16tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-85798331839858874712008-11-26T20:01:00.000-08:002008-11-26T20:11:00.833-08:00GANASNYA SIHIR ULAR-ULAR RAMBUTKonon, sihir ini merupakan peninggalan nenek moyang Bangsa India. Seseorang yang akan mewarisi sihir ular rambut, wajib melakukan sebentuk ritual pemujaan di rumah nenek moyangnya. Biasanya yang menjadi pewaris adalah keturunan yang berkelamin perempuan yang sudah bersuami….<br /><br />Konon sihir sering ditumpangi atau dibantu oleh energi setan, sebagaimana yang diamalkan oleh mereka yang menguasai ilmu sihir warisan nenek moyang tempo dulu. Korban sihir dapat disembuhkan dengan ruqyah, doa, serta ramuan obat dari berjenis tumbuh-tumbuhan.<br /><span class="fullpost"><br />Kisah berikut ini masih ada hubungannya dengan kekuatan sihir. Karena alasan tertentu, si penutur kisah meminta agar jatidirinya disembunyikan. Berikut kisah lengkapnya…:<br />Saat itu, aku telah menikah dengan seorang gadis desa dari suku Mandaliling, dan menempati sebuah rumah sebagai hadiah perkawinan dari ayah mertua. Lokasi tempat kediaman kami ini letaknya agak terpencil dari rumah tetangga. Namun, rumah yang kami tempati cukup besar, asri dan bersih serta laik huni. <br />Air sungai yang letaknya tak jauh dari rumah kami sangat jernih, sehingga selain untuk mandi dan mencuci pakaian, airnya cukup laik untuk diminum. Perlu kuungkapkan bahwa desa tempat kami berdomisili dikenal sebagai daerah yang sudah kondang keangkerannya. <br />Si Piso Dainang, demikian nama desa itu. Letaknya lebih kurang 20 km dari kota Sipirok. Di perkampungan ini masih banyak ditemukan fenomena yang aneh-aneh. bahkan hingga kini dikenal merupakan daerah terlarang bagi siapa saja yang datang atau berkunjung dengan membawa niat yang tidak baik. Jika ketentuan ini dilanggar, maka nasibnya tidak akan beruntung. <br />Selain itu, ada sebuah pantangan yang dipegang teguh oleh warganya: Jangan sekali-kali berani mencoba mengambil barang orang tanpa hak, atau mencuri di kampung ini. Akibatnya cukup fatal. Bisa-bisa si pelaku akan tersesat, tidak tahu jalan pulang dan akan mengalami hal-hal yang sangat menakutkan.<br />Pantangan lainnnya yang perlu diketahui bagi pendatang, adalah tidak boleh bersiul pada malam hari, juga dilarang meludah di sembarang tempat, dan mengorek-ngorek kerak nasi. Yang paling pantang adalah menjemur celana dalam perempuan yang sedang haid di luar rumah atau dibiarkan tercampak di kamar mandi.<br />Demikianlah sekilas tentang berbagai pantangan di desan tempat aku dan isteriku tinggal. Walau kelihatannya main-main, namun tak seorang pun berani melanggar pantangan-pantangan tersebut.<br />Entah berhubungan atau tidak dengan berbagai pantangan tersebut, kisah menyeramkan ini akhirnya kualami….<br />Masih kuingat, hari itu bertepatan dengan Selasa Kliwon. Isteriku, sebut saja namanya Boru Lubis, baru pulang dari rumah sakit di kota Sipirok. Wanita yang sangat kucintai ini sempat dirawat inap akibat keguguran pada kelahirannya yang ketiga. Karena masih mengalami pendarahan, dia kulihat sering keluar masuk kamar mandi yang terletak di pinggir sungai samping rumah kami. Kamar mandi ini berdinding bilik bambu tanpa atap di atasnya.<br />Beberapa hari setelah kepulangan isteriku dari rumah sakit, malamnya aku mendapat giliran ronda. Aku sedang asyik ngobrol dengan beberapa petugas jaga lainnya, ketika malam itu terlihat dari arah puncak bukit segumpal cahaya merah seukuran ikatan sapu lidi. Aku tertarik melihat penampakan ini karena cahaya aneh itu meluncur deras ke arah rumahku. Sepertinya, cahaya itu turun dan masuk ke dalam sumur. <br />Melihat keanehan ini, menyebabkan hatiku tidak tenang dan agak cemas. Jantungku terdegup kencang sebab rasa khawatir menyelinap dalam dada begitu menyadari bahwa saat itu aku meninggalkan isteriku yang belum pulih kesehatannya di rumah bersama dua orang anak-anak kami yang masih kecil.<br />Untuk menyelidiki fenomena aneh tersebut, aku bersama dua orang petugas ronda bergegas menuju cahaya tadi menghilang. Begitu tiba di sana, alangkah kagetnya kami menyaksikan ramainya ular-ular seukuran belut sawah. Yang membuat kami bnyaris terkencing-kencing, ternyata gerombolan ular ini bertaut pada sepotong kepala perempuan. Ular-ular yang panjangnya kurang lebih 70 cm kemudian berkeliaran di seputar sumur. Mereka saling berebut merubungi celana dalam isteriku yang siang tadi mungkin lupa dicci akibat keletihan. <br />Cukup lama aku dan dua rekanku melihat keanehan ini. Kami terkesima seperti laiknya orang terkena sihir. Hawa mistis memang menyungkup suasana malam itu. Kami masih terpana ketika ular-ular itu lenyap begitu saja meninggalkan celana dalam isteriku yang penuh dengan lubang bekas gigitan mereka.<br />Aku baru sadar dari ketersimaanku, ketika terdengar suara isteriku menjerit-jerit seperti orang menahan kesakitan. Bersamaan dengan itu, para tetangga menjadi terbangun dan mereka segera berhamburan menuju rumah kami. <br />Saat kulihat, isteriku pingsan. Namun yang membikin seram, pada bagian sekitar perutnya yang terbuka, tumbuh rambut-rambut aneh dan menjijikan dalam bentuk jalinan berwujud ular-ular kecil sebesar kepala lidi yang kepalanya bergerak kian kemari. Pemandangan ini amat mirip seperti yang kulihat di dekat sumur. <br />Tak ayal lagi, para tetangga yang hadir tampak ketakutan menyaksikannya. Seorang demi seorang, mereka kemudia mundur meninggalkan rumah kami. Yang bertahan, hanya dua lelaki tua, namun mereka nampak kebingungan juga menyaksikan fenomena aneh sekaligus menyeramkan ini.<br />Sementara itu, ular-ular rambut itu semakin banyak bermunculan, sementara isteriku terus merintih-rintih kesakitan. Ngeri aku memandangnya, dan tidak tahu harus berbuat apa. <br />Sayup-sayup kudengan adzan Subuh. Anehnya, bersamaan dengan itu, ular-ular mini di perut isteriku, kemudian menghilang dengan meninggalkan guratan-guratan kemerahan seperti bilur. Perempuan yang sangat kucintai itu pun tertidur karena lelah menahan sakit.<br />Ketika matahari menampakkan wajahnya di ufuk timur, isteriku mulai tersadar. Namun, dia nampaknya seperti orang bodoh dan tidak bisa di ajak bicara. Seharian perempuan yang bernama Boru Lubis ini hanya duduk termenung saja. Ketika kucoba menegurnya, dia hanya diam. Paling-paling memandangku dengan sorot mata kosong. Entah apa yang terjadi dengannya?<br />Malam berikutnya, menjelang tengah malam, Boru Lubis kembali mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Kucoba menenangkannya ketika kulihat ular-ular rambut itu muncul lagi dari dalam perutnya. Dengan keberanian yang kupaksakan, nekad aku mencabut ular-ular seekor demi seekor. Isteriku menjerit menahan sakit, bersamaan dengan tercabutnya ular-ular itu dari perutnya. <br />Tetapi…usaha yang nekad ini percuma. Aneh sekali! Begitu tercabut, maka ular-ular itu muncul lagi, seolah berurat akan di dalam perut isteriku.<br />Tetangga yang datang hanya melongo, tanpa mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya merasa prihatin. <br />Penyakit yang dialami isteriku benar-benar aneh dan mengerikan. Datang pada malam telah larut, tapi segera menghilang ketika pagi tiba. Namun, pada siang hari isteriku tidak bisa diajak ngomong sepatah pun, seperti orang bisu. <br />Melihat keanehan ini, terbersit dalam benakku, tidak mustahil ibu dari anak-anakku ini telah terkena guna-guna atau sihir. Untuk mastikan dugaan ini, aku segera melaporkan kasus ini ke ayah mertuaku di kota Sipirok. Ayah rupanya sependapat dengan diriku, bahwa anak perempuannya telah terserang ilmu gaib sejenis sihir. Beliau kemudian berusaha mendatangi orang pintar yang menguasai ilmu, bahkan hingga ke Tapanuli Utara. Namun, tidak seorangpun yang mampu menyembuhkan isteriku. <br />Sementara itu, hampir sebulan setiap malam Boru Lubis mengerang kesakitan pada saat ular-ular itu bermunculan. Tubuhnya mulai kurus, karena sejak kejadian pertama, dia sudah tidak berselera makan dan minum.<br />Upaya terakhir, kuputuskan memboyongnya ke rumah sakit di kota Sipirok. Dan hari itu aku sudah bersiap-siap berangkat mencari kendaraan, ketika pintu rumahku terdengar diketuk seseorang dari luar. <br />Aku bergegas membukanya. Di ambang pintu kulihat berdiri seorang lelaki tua berwajah hitam legam mengenakan jubah putih yang kontras sekali dengan rona wajah dan kulitnya.<br />Lelaki tua yang tidak kukenal ini, sesat mengumbar senyumnya sambil memperkenalkan dirinya. Dia mengaku seorang pengembara yang aslinya berasal dari daerah Benggali, India. <br />“Nama saya Mahipal Ranjit Singh!” ujarnya sembari mengulurkan tangan kea rahku, untuk mengajak bersalaman. Dia juga mengatakan, bahwa dirinya merasa terpanggil singgah, karena mengetahui di rumah kami ada orang yang sedang sakit.<br />“Tahu dari mana kalau isteri saya sedang sakit, Tuan?” tanyaku sedikit curiga. <br />Lelaki tua yang mengaku bernama Mahipal Ranjit Singh ini hanya mengulum senyum tanpa menjawab. Namun, sebagai tuan rumah yang baik, aku masih ingin bersikap santun. Aku menyilahkannya masuk dan duduk di kursi tamu.<br />Setelah duduk, degera saja dia bercerita tentang berbagai penyakit yang disebabkan oleh sihir. Dia juga memastikan bahwa penyakit isteriku datang dari sihir ular rambut yang ganas. <br />Aku hanya heran, karena tamu ini belum melihat kondisi isteriku yang masih terbaring lemah dalam kamar tidur, namun sepertinya sudah mengetahui bagaimana keadaannya.<br />“Boleh saya menjenguk si sakit?” tanyanya dengan nada santun. “Kalau memungkinkan, saya ingin membantu kesembuhannya.”<br />Melihat aku mengangguk-angguk, dia langsung berdiri dan kuantar masuk ke kamar tidur kami. Hanya sebentar saja dia memperhatikan isteriku, kemudian mengajakku keluar kembali dan duduk di kursi tamu.<br />“Dugaan saya benar. Isterimu terkena sihir ular rambut yang ganas. Dan kalau tidak ditolong dengan cepat akan menyebabkan kematian,” tuturnya pula.<br />Untuk meyakinkan diriku, tamua yang sering kupanggil “Tuan” ini kemudian berkisah tentang sejarah keberadaan sihir ular rambut. Konon, sihir itu merupakan peninggalan nenek moyang bangsa India. Agaknya, saudara-saudara dari negeri Hindustan yang datang ke Indonesia sempat mewariskan kepada warga setempat setelah dimodifikasi sedemikian rupa, sesuai dengan situasi dan kondisinya.<br />Menurutnya, sihir ular rambut yang asli, dikenal sebagai pusaka keturunan keluarga. Seseorang yang akan mewarisi sihir ular rambut, wajib melakukan sebentuk ritual pemujaan di rumah nenek moyangnya yang berusia lanjut. Biasanya yang menjadi pewaris adalah keturunan yang berkelamin perempuan yang sudah bersuami.<br />Rumah nenek moyang biasanya terbuat dari dinding yang dilumuri lumpur dan tanpa jendela, kecuali sebuah pintu yang tidak boleh dibuka lama-lama ketika matahari bersinar terang. Saat itu, sebuah lampu minyak segera dinyalakan dekat pedupaan termasuk mengisi air minum dalam tempayan.<br />Manakala mereka yang akan mewarisi pusaka kuno ini memasuki rumah nenek moyang tersebut maka harus merangkak menggunakan kedua lutut dan siku-siku tangan. Tak bleh ngomong sepatah katapun. Semua dilakukan melalui isyarat. Begitu berada di dalamnya, mereka yang akan mewarisi sihir ular, harus melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu duduk bersila.<br />Setelah itu, maju ke depan sambil terus melakukan ritual pemujaan tanpa berbicara apapun, kecuali desah nafas belaka. Melalui pedupaan, kemudian menyeruak asap setanggi. Dan di depan mereka terletak lampu minyak yang menerangi ruangan secara samar-samar. Kemudian ritual pemujaan dilanjutkan dengan lebih khusyuk lagi sambil tegak berdiri dan tubuh mereka yang polos tanpa busana kemudian diarahkan menghadap lampu minyak tanpa bergerak-gerak. <br />Entah dari mana datangnya, seorang bertelanjang dada muncul dan mengangkat pedupaan. Sosok yang ini kemudian menghirup asap pedupaan dan menghembuskan asap setanggi itu keseluruh tubuh mereka yang mengikuti ritual.<br />Setelah itu, mereka diperintahkan duduk kembali di depan sosok telanjang dada. Para pelaku ritual kemudian bersedekap tangan di dada masing-masing. Mata mereka konsentrasi memandang ujung jari yang didekapkan di dada tadi.<br />Pemujaan dengan cara bersedekap tangan ini, dilakukan terus-menerus tanpa melakukan gerakan berupa apapun. Maka, tidak lama kemudian, nampak percikan api menimbulkan kilatan-kilatan sinar terlontar dari lampu minyak yang menyinari tubuh-tubuh mereka. Dan pada saat bersamaan, seluruh helai rambut di kepala mereka akan berdiri. Rambut yang berdiri tersebut kemudian bergerak dan memilin secara otomatis sehingga membentuk wujud ular mini.<br />Ritual ini harus dilakukan tujuh malam berturut-turut. Pada malam ketujuh, pelaku ritual harus menyediakan seekor hewan ternak, biasanya yang dipilih kambing untuk dijadikan korban sihir ular rambut. Kambing itu diikatkan didepan lampu minyak. Jarak antara kambing itu dengan pelaku yang melakukan pemujaan kira-kira 5 meter.<br />Tapi, khusus pada pemujaan malam terakhir itu, sosok telanjang dada meniupkan nafiri kedalam tubuh pelaku ritual melalui lobang tubuh mereka, seperti lobang telinga, pusar, aurat dan naus. Begitu energi nafiri beraktivitas dalam diri pelaku ritual, seluruh rambut mereka berdiri dan terayun-ayun pada saat berjalin-jalin berwujud ular-ular mini.<br />Fenomena itu yang terjadi pada malam ke tujuh, ketika ular-ular rambut yang berasal dari jalinan rambut dikepala pelaku ritual, tiba-tiba melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Menikam atau menusuk tubuh kambing yang sengaja dijadikan sebagai uji coba. Kambing yang dikorbankan, sebelumnya nampak gelisah ingin dilepaskan dari tali yang mengikatnya, menjadi terdiam tak bergerak.<br />Dan dalam hitungan detik, kemudian mati oleh bisa ular rambut dalam kondisi kaku. <br />“Demikian dahsyatnya pusaka karuhun sihir ular rambut yang asli tersebut,” kata Mahipal Ranjit Singh menutup kisahnya. <br />Aku yang sedari tadi menyimak cerita tamuku ini hanya diam, tidak mampu berkomentar sepatah katapun selain manggut-manggut saja. <br />“Seperti saya ungkapkan tadi, bahwa sihir ular rambut yang mendatangkan penyakit pada isterimu, bukan yang asli dari Hindustan, melainkan sudah dimodifikasi,” tambah Mahipal Ranjit Singh. “Jadi, masih ada harapan untuk disembuhkan. Meskipun sudah tiba pada puncak krisis,” tandasnya pula.<br />Tanpa banyak tanya, aku segera menyiapkan apa yang dimintanya. Baskom yang berisi air bersih diletakkan lelaki tua itu didekat isteriku. Kudengar mulutnya melafadzkan beberapa ayat Al-Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mantera-mantera kuno yang sulit kumengerti.<br />Usai itu, Mahipal Ranjit Singh mengambil sesuatu dari balik jubah putihnya. Rupanya sebentuk piring porselin kecil antik yang kemudian dicelupkannya ke dalam air di baskom.<br />“Sebaiknya kamu buka baju isterimu,” pintanya kemudian dengan nada sopan dan berwibawa. Meski agak ragu-ragu, aku mematuhi arahannya demi kesembuhan isteri tercinta. <br />Begitu pakaian Boru Lubis tersingkap, Mahipal Ranjit Singh segera menelungkupkan piring antik tadi di dada isteriku. Apa yang terjadi? <br />Piring porselin ini langsung lengket ke dada isteriku. Bagaikan terhisap oleh energi magnet yang teramat kuat. Sejurus kemudian terdengar bunyi dentingan piring bersamaan mengendurnya tarikan magnet gaib tadi. <br />“Kekuatan sihir ular rambut ini, cukup lumayan juga. Meskipun sudah dimodifikasi oleh mereka yang mewariskannya,” desah Mahipal Ranjit Singh sambil membalikkan piring itu.<br />Aneh, dibalik piring itu nampak lengekt ular-ular rambut. Puluhan ekor jumlahnya, berwarna hitam legam dan wujudnya mirip cacing-cacing tanah. Sementara besarnya tak lebih dari kepala lidi dengan panjang sekitar 30 sentimeter.<br />Tak lama kemudian isteriku terbangun dari tidurnya. Aneh, dia sudah mampu berkomunikasi dengan baik meskipun dengan suara masih terbata-bata.<br />“Apa yang telah terjadi denganku, Bang?” tanyanya, kebingungan. Aku tersenyum haru. <br />“Sudah hampir sebulan kamu mengalami penyakit aneh,” jelasku sambil menahan air mata.<br />Boru Lubis tertegun cukup lama sambil memperhatikan tubuhnya yang kurus kering. Mungkin ingin memastikan apa yang kukatakan barusan. Kami saling berpelukan dan bertangisan, sehingga aku sendiri lupa pada Mahipal Ranjit Singh, tamu sekaligus dewa penolong kesembuhan isteriku itu.<br />Kemana perginya lelaki itu? Dia seperti menghilang tanpa jejak. Setelah kususul keluar rumah, aku kecewa dan menyesal karena belum sempat mengucapkan terima kasih padanya.<br />Namun, di ruang tamu kutemukan selembar kertas yang bertuliskan: “Maaf, saya berlalu tanpa pamit. Jadi saya tidak perlu diberi apapun, bahkan ucapan terima kasih sekalipun. Bersyukurlah dan berterima kasihlah kalian pada Allah SWT. Karena telah menggerakkan saya untuk singgah di rumah kalian yang memang butuh pertolongan. Yang perlu kalian ketahui, bahwa penyakit yang ditimbulkan oleh sihir ular rambut tersebut, dilakukan oleh orang iseng yang ingin mengadakan uji coba keampuhan ilmu yang dimilikinya. Jadi bukan karena ada unsur dendam. Selamat tinggal, dari saya sang pengembara.”<br />Cukup lama aku tertegun setelah membaca kalimat itu. Siapa sebenarnya lelaki tua yang mengaku sebagai pengembara itu? Apakah lelaki tua yang mengaku bernama Mahipal Ranjit Singh itu merupakan sosok malaikat atau jin muslim yang menyamar? Pertanyaan tersebut hingga kini belum pernah kuperoleh jawabannya.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-65573931073863936292008-05-27T01:21:00.000-07:002008-05-27T01:36:25.569-07:00DERITA CALON TUMBAL<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuNiwF2K70GRf_nppj0INl0S2ksRMQm9CNajM2Htr9KzwWf7dYLNajT_uncwQuPtZ7o1w2r4CuRNtrjXoEAaxe8ozXXkyXU7acCuJQK6solgemhmPgGMSK101ihJS9dCSPqTSvGlsSOcMk/s1600-h/0818-ghost.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuNiwF2K70GRf_nppj0INl0S2ksRMQm9CNajM2Htr9KzwWf7dYLNajT_uncwQuPtZ7o1w2r4CuRNtrjXoEAaxe8ozXXkyXU7acCuJQK6solgemhmPgGMSK101ihJS9dCSPqTSvGlsSOcMk/s200/0818-ghost.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5204973635740438306" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Susi dan Yani tewas dengan sebuah tanda merah di telapak tangannya. Kini tinggal Fandi dan ibunya yang tersisa. Siapa yang akan dijadikan tumbal....</span><br /><br />Fandi tampak pucat menghadapi hari yang menegangkan. Ia selalu tertekan jika saat itu tiba. Resah karena ia mengetahui keberadaan keluarganya yang makan minum dari hasil pemujaan. Ayahnya memuja setan dengan mempersembahkan nyawa demi setumpuk harta. Ayahnya telah mengambil jalan sesat, membuat batinnya selalu tersiksa. Kini hari permintaan tumbal itu telah dekat, itulah yang membuat Fandi resah. <br />Keresahan Fandi memang sangat beralasan. Sudah banyak korban manusia yang telah dijadikan tumbal oleh ayahnya. Termasuk kedua adik perempuannya yang masih berusia belasan tahun. Fandi pun amat takut dirinya akan dijadikan tumbal oleh ayahnya. Sementara di rumah itu, kini hanya tinggal ibunya dan dia yang tersisa. Mereka hanya menunggu waktu untuk jadi tumbal ayahnya. Celakanya, Fandi tak mungkin lari dari kenyataan itu. <br /><span class="fullpost"><br />Ditengah lamunan Fandi, wajah Susi dan Yani adiknya melintas dalam ingatan. Wajah yang selalu menggoda dirinya bila sedang bercanda. Benar-benar menyiksa, bayangan itu tak mau pergi dari pelupuk matanya. Mereka terus membayangi sepanjang hari, seperti mengajak Fandi untuk ikut bersama mereka. Atau menyuruh Fandi untuk menghentikan semua penyengsaraan ini. <br />Masih terbayang dalam ingatan Fandi bagaimana kedua adiknya itu meninggal. Tapi hanya tanda merah yang berbentuk seperti bola di kedua telapak tangan serta bercak-bercak merah di kulit tubuh mereka sebagai bukti kematian Susi dan Yani. Namun kenapa kedua orang tuanya tidak merasa heran atas kepergian kedua adiknya yang hanya berselang beberapa hari itu. Tuhan, apa sebenarnya yang sedang menimpa keluarga kami. <br />Lamunan Fandi pagi itu terhenti oleh derap kaki yang mendekatinya. Fandi langsung menoleh dan ternyata langkah kaki itu milik ibunya. Dengan membawa secangkir teh, Fitri mendekati Fandi yang menyambutnya dengan senyuman. Perlahan, Fitri, ibunya, mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan Fandi.<br />"Kenapa pagi-pagi begini kamu melamun? Tidak kuliah?" Tegur Fitri. "Atau kau sengaja berangkat sama sopir? Ayahmu baru saja pergi?" Sambungnya lagi.<br />Tegur sapa Fitri yang halus dan lembut, membuat Fandi tergagap. Tapi ia berusaha menyembunyikannya. Fandi tak menjawab semua pertanyaan ibunya, ia malah balik bertanya.<br />"Bu, apakah perkebunan kita tidak mengalami perubahan? Kita sudah lama tidak menjenguknya. Bila ibu mau, Fandi ingin mengajak ibu kesana. Sekaligus ada sesuatu hal yang ingin Fandi tanyakan," kata Fandi mengajak ibunya.<br />Fandi memberanikan diri mengajak ibunya ke perkebunan dengan harapan dapat mengetahui apakah ibunya benar-benar belum mengetahui kalau ayahnya seorang pemuja setan. Tanpa diduga, ibunya gembira sekali dengan ajakan Fandi.<br />Fitri sebenarnya sedikit was-was karena Fandi tidak biasanya mengajak ke perkebunan. Fandi lebih sering mengajak ibunya belanja ke toko untuk mencari sesuatu. Tapi akhirnya Fitri mengiyakan ajakan anak sulungnya itu. Ia masuk ke dalam dan mengeluarkan mobil dari garasi.<br />Tak lama kemudian berangkatlah mereka ke perkebunan. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam membuat jantung Fandi berdebar-debar. Ia membayangkan wajah ibunya nanti bila ia menanyakan tentang keberadaan ayahnya. Reaksi seperti apa yang akan ditampakkan oleh ibunya. <br />Tiba di perkebunan, Fandi menggandeng tangan ibunya sambil mencari tempat untuk bernaung. Akhirnya mereka singgah di sebuah gubuk reyot untuk mengobrol. Perlahan-lahan Fandi memegang jemari ibunya dan mencoba memberanikan diri untuk bertanya.<br />"Sudah berapa lama perkebunan ini dimiliki oleh ayah Bu?" Tanya Fandi. "Pada saat ayah membeli tanah ini, Fandi tak mengetahuinya. Padahal gaji ayah 'kan cuma pas-pasan. Tidak mungkin ayah memiliki uang sebanyak itu. Apakah mungkin gaji seorang pegawai Asuransi bisa membeli perkebunan ini. Belum lagi ayah telah membeli kendaraan dan semua barang istimewa yang saat ini kita miliki?" Tanya Fandi.<br />Fitri terkejut mendengar pertanyaan yang diucapkan Fandi. Ia hanya menatap kedua mata Fandi dengan tajam. Tak lama kemudian ia berdesah, kekhawatirannya selama ini terbukti. Pertanyaan inilah yang selalu membuat dirinya resah sepanjang malam. <br />"Sebenarnya ibu telah lama menyimpan rahasia ini, dan baru kali ini ibu membukanya. Bagus sekali kamu mengajak ibu kesini. Kesempatan seperti inilah yang ibu tunggu-tunggu. Sekarang kamu sudah dewasa dan mampu berpikir, mana yang baik mana yang buruk. Kamu dapat membedakannya," jawab Fitri yang merasa senang anaknya telah mengetahuinya.<br />Fitri bicara sambil menahan perasaannya yang tertekan. Betapa dirinya selama ini menyimpan rahasia suaminya di dalam batin. Tiga tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menyimpan sebuah rahasia besar yang telah dilalui oleh keluarganya. <br />Fandi semakin tegang melihat wajah ibunya yang menatap dengan tatapan kosong. Akhirnya ia menepuk bahu ibunya sambil berdehem.<br />"Bu....! Ibu kenapa? Apakah pertanyaan Fandi menyinggung perasaan ibu? Maafkan Fandi bu. Fandi telah lancang, seharusnya Fandi tak boleh begitu."<br />"Tidak Fandi......!" Celetuk ibunya. "Ibu hanya ragu untuk mengatakan sesuatu padamu," lanjutnya.<br />Dengan cepat Fandi menyela ucapan ibunya sambil mencium tangannya. "Cepat bu, katakanlah! Fandi sudah lama sekali menunggu jawaban ini. Rasanya Fandi sudah tak sabar mendengarnya. Masalah ayahkan bu? Sekarang begini saja, dari pada ibu sulit untuk membukanya, biarlah Fandi yang mewakili perasaan ibu.<br />Mudah-mudahan ibu dapat menerima apa yang akan Fandi katakan. Sebab Fandi sudah mengetahui apa yang telah menimpa keluarga kita. Bukankah ayah itu seorang pemuja bu? Susi dan Yani telah dijadikan tumbal oleh ayah. Kini giliran Fandi dan ibu yang saat ini tengah diincar ayah. <br />Ketakutan inilah yang membuat ibu sering sakit. Sebenarnya Fandipun seperti ibu. Tetapi apakah kita akan tinggal diam bu? Apakah kita tidak secepatnya minta pertolongan. Biarlah kita pergi diam.-diam selagi masih ada kesempatan dan belum terlambat," jelas Fandi panjang lebar. <br />Betapa terkejutnya Fitri mendengar ungkapan Fandi. Ia tidak menyangka anak sulungnya telah mengetahui ayahnya seorang pemuja. Fitri segera memeluk Fandi sampai bercucuran air mata. Fitri menumpahkan semua jeritan batin yang selama ini menghimpit dadanya. <br />Sementara itu Fandi terlihat sangat lega karena ibunya sudah menerima semua kalimat yang diucapkannya. Keberadaan ayahnya sebagai seorang pemuja setan, telah terungkap. Dengan bersimbah air mata, Fitri melepaskan pelukannya. Perlahan ia mengusap kedua matanya lalu kembali menatap wajah Fandi dengan sayu.<br />"Semua yang kau katakan adalah benar Fandi. Masalah inilah yang selalu mengganggu pikiran ibu. Saranmu akan ibu turuti, dari pada kau dan ibu dijadikan korban oleh ayahmu!" Jawab Fitri.<br />"Mari kita pulang Fandi. Takut ayahmu pulang lebih awal dari biasanya," ajak Fitri pada anaknya. <br />Fandi mengangguk sambil bergegas melangkahkan kakinya menuju mobil. Sementara Fitri mengikutinya dari belakang. Tanpa banyak bicara, Fandi langsung menstater mobil dan segera meluncur pulang.<br />Sampai di rumah, Fitri menerobos masuk ke dalam rumah dan langsung berganti pakaian. Setelah itu ia segera beristirahat untuk meninggalkan jejak bahwa dirinya pulang dari bepergian. Sedangkan Fandi duduk di kursi tamu sambil membaca koran. Dalam hatinya berkecamuk rencana yang telah disepakati dengan ibunya. <br />Tak lama kemudian Sasmito ayah Fandi tiba. Mendengar suara suaminya, Fitri pura-pura tidur. Sementara itu Fandi merasa bersyukur karena ayahnya tidak mengetahui bahwa ibu dan dia pulang dari perkebunan.<br />Malam nampak cerah, purnama bersinar terang. Tapi Fandi dicekam ketakutan menyaksikan purnama itu. Hatinya begitu gelisah. Siapakah yang akan dijadikan tumbal oleh ayahnya pada Purnama ini? Keringat Fandi mengucur deras membasahi kemeja yang ia kenakan. Ia beranjak dari ranjangnya, Fandi mengkhawatirkan keadaan ibunya. Perasaannya gelisah seperti akan terjadi sesuatu pada ibunya. Fandi bergegas mendatangi kamar tidur ibunya dan langsung mengetuk pintu kamar.<br />"Bu, bu......! Ini Fandi bu! Tolong bukakan pintunya bu. Fandi mau bicara. Apakah ibu tidak sholat Isya' dulu?" <br />Lama Fandi menunggu, tapi tak satupun pertanyaan dijawab. Akhirnya ia mengintip melalui lubang kunci. Tiba-tiba Fandi berteriak nyaring memanggil ayahnya.<br />"Ayah.....! Ayah.....! Tolong ibu ayah!" Teriak Fandi.<br />Sasmito menghampiri Fandi sambil bertanya, "Ada apa Fandi? Kenapa dengan ibumu?" <br />"Lihat ayah! Pintu kamar ini terkunci dari dalam. Saat Fandi memanggil-manggil ibu, ia tak menyahut. Sepertinya ibu sedang sakit ayah."<br />Sasmito nampak panik. Ia segera mendobrak pintu tersebut bersama Fandi lalu berlari masuk ke dalam kamar. Fandi bersama ayahnya langsung menghampiri ranjang melihat Fitri tergolek lemah di atasnya. Dan, semua teriakan tak satupun didengar Fitri. <br />"Fitri, bangun Fitri! Ada apa denganmu Fitri!" Sasmito dan Fandi menangis sambil menjerit-jerit.<br />"Fitri jangan tinggalkan aku Fitri. Aku tidak sanggup hidup tanpa kau disisiku!" Sasmito terus berteriak sambil memeluk tubuh istrinya. <br />"Fandi.....! Ibumu sudah tiada. Ibu sudah menghadap Tuhan. Ini memang salah ayah Fandi. Maafkan ayah."<br />Sasmito berbicara sambil meratap, ratapan yang sangat memilukan. Ia menangis bagai bayi yang baru lahir. Hatinya hancur atas kepergiaan Fitri yang telah dijadikan tumbal olehnya. Isak tangis Sasmito terdengar sangat mengharukan. Tapi Fandi merasa muak dengan sikap ayahnya. <br />Mendadak Fandi marah, ia sudah sekian lama memendam kebencian terhadap ayahnya. Kebencian itu muncul akibat perlakukan ayahnya yang tega menjadikan kedua adiknya sebagai tumbal. Apalagi kini ibunya tewas menyusul kedua adiknya. Ibunya telah menjadi korban atas pemujaan ayahnya.<br />"Ayah benar-benar tega berbuat seperti ini. Kenapa ayah lakukan pada kami? Kami butuh kebahagiaan. Kami tidak butuh harta! Beginilah jika ayah tidak percaya dengan adanya Tuhan!"<br />Makian Fandi yang terdengar mengutuk, terlalu pedas bagi Sasmito. Namun Sasmito tidak sedikitpun membalas makian anak sulungnya itu. Sasmito menyadari semua kesalahannya. Akhirnya Fandi keluar dari kamar dan segara memanggil para tetangga untuk memberitahukan kematian ibunya. Usai itu Fandi kembali ke kamar menemui jenazah ibunya.<br />Tubuh Fitri terbujur kaku, tergolek di atas ranjang didampingi Sasmito. Wajahnya tampak pucat dan keriput di wajahnya semakin nampak jelas. Beberapa orang tetangganya berdatangan untuk melayat. Sasmito terlihat shock, ia hanya termenung saat melihat tubuh istrinya dibopong keluar untuk dimandikan. Sementara itu Fandi mengiringnya dari belakang sambil melihat sebuah tanda yang sudah ia kenal. Tanda yang menyebabkan kematian ibunya. <br />Esok harinya, setelah Fitri dimandikan jasadnya segera dimakamkan. Fandi, Sasmito dan seluruh warga menghantarkan jasad Fitri hingga ke pemakaman. Derai air mata Fandi dan Sasmito mengiringi kepergian Fitri hingga masuk ke liang kubur.<br />Selesai pemakaman, Fandi nampak shock dan frustasi. Semangat hidupnya kini sudah tiada lagi. Satu demi satu orang-orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Untuk apalagi dirinya bertahan hidup. Mungkin hanya untuk menunggu gilirannya dijadikan tumbal.<br />Kegundahan hati Fandi yang terlihat nyata dapat dipahami Sasmito. Perlahan-lahan Sasmito mendekati Fandi dan memeluknya sambil berkata, "Kau akan kemana Fandi? Apa kamu akan pergi meninggalkan ayah? Ayah mengakui kesalahan ayah membuat ibu dan kedua adikmu pergi. Tapi tolong dengar kata-kata ayah. Pada waktu itu ayah tergoda oleh harta. Tapi semua itu ayah lakukan demi kehormatan keluarga kita yang selalu dihina karena hidup dalam kemiskinan. Ayah sungguh khilaf waktu itu dan tidak berpikir panjang. Sekarang tolong bantu ayah untuk menyelamatkan ayah. Ayah tak ingin kaupun dijadikan tumbal bagi Raja Siluman itu. Kau harus selamat, biarlah ayah sendiri yang menanggung akibatnya."<br />Hati Fandi terketuk juga oleh kata-kata ayahnya. Walau ayahnya telah salah mengambil jalan, ia tetap ayah kandungnya. Fandipun segera keluar dari rumah tanpa mau disertai ayahnya. Fandi akan berusaha mencari solusi yang bisa melindungi dirinya dan menyelamatkan nyawanya. Dengan berat hati dan perasaan tak kauran Fandi melangkahkan kakinya menembus udara bebas sambil terus berharap semoga nyawanya dapat terbebas dari cengkeraman Ratu Pemilik Harta.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-79558518701500595232008-05-27T01:04:00.000-07:002008-05-27T01:18:05.907-07:00BERISTERI JIN DEMI MERAIH KESUKSESAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrS_Rh94JEH1ck5S7TA8wRw0srVwyWZ0xHCeM3vizEH7APfOnKc0k3AuhV0mwg-eOZlh3pvFoT1cPo9ySqBFpGN7wMT8SX4LpyGg9WOebmRVPCcr8o3vPFQmRWZmxZbIsLZwG827rsnvjF/s1600-h/___Chaos_Queen____by_MorbidiaMorthel.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrS_Rh94JEH1ck5S7TA8wRw0srVwyWZ0xHCeM3vizEH7APfOnKc0k3AuhV0mwg-eOZlh3pvFoT1cPo9ySqBFpGN7wMT8SX4LpyGg9WOebmRVPCcr8o3vPFQmRWZmxZbIsLZwG827rsnvjF/s320/___Chaos_Queen____by_MorbidiaMorthel.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5204968902686478082" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Setelah usahanya bangkrut akibat amukan massa pada peristiwa hura-hura massal tahun 1998, dia akhirnya memutuskan untuk menikahi jin. Ini dia lakukan demi kembali meraih kesuksesan....</span><br /><br />Dalam perjalanan menjelajahi berbagai pelosok, Penulis sempat menemukan kesaksian dari seorang anak manusia yang telah menjalin hubungan sangat erat dengan eksistensi bangsa jin. Ya, dalam sebuah tugas liputan, Penulis secara tak sengaja mampir ke rumah seorang sahabat yang sudan lama tidak dikunjungi. Rasidan, namanya, atau biasa dipanggil Jhony. Dari sinilah kesaksian yang sulit diterima akal sehat itu bermula.<br />Tak seorang pun manusia yang tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya di masa mendatang. Semuanya masih merupakan misteri yang sulit ditebak. Begitu juga halnya dengan Jhony. Dia tidak pernah menduga kalau usahanya sebagai seorang petambak udang dan pemilik toko furniture terbesar di kotanya akan jatuh bangkrut. Menurut perhitungannya, harta yang dimilikinya telah lebih dari cukup untuk menopang hidupnya. Tapi dia lupa bahwa perhitungan manusia kadang-kadang bisa berubah atas ketentuan Illahi.<br /><span class="fullpost"><br />Keadaan telah memporak-porandakan cita-cita dan tatanan kehidupan Jhony yang telah ditatanya sejak lama. Tragedi 12 Mei 1998 merupakan hari-hari kelabu bagi Jhony dan keluarganya. Kerusuhan telah membuat dirinya miskin. Toko furniture dan mobil mewahnya yang diparkir di depan tokonya hangus terbakar, sementara tambak udangnya habis dijarah orang. Sedangkan rumah yang ditempatinya sudah bukan miliknya lagi, karena surat-suratnya telah dijaminkan ke Bank untuk modal pengembangan usaha furniturenya. <br />Melihat kenyataan pahit ini Jhony sempat shock. Dia tidak menyangka akan musibah yang melanda dirinya dan memusnahkan semua harta yang selama ini telah dikumpulkannya, hanya dalam sekejap. Isterinya, Vera tidak kalah shocknya menerima kenyataan pahit ini.<br />Dalam kondisi kalut seperti itu, Jhony dan Vera datang kepada seorang Kyai yang terkenal sebagai ahli spiritual. Kepada sang Kyai mereka berkonsultasi tentang musibah yang dihadapi. Orang tua yang bijaksana itu hanya menggangguk dan tersenyum. Dengan arifnya dia bertutur bahwa di balik semua musibah itu ada maknanya, makna itu bisa bermacam-macam. Di satu sisi bisa bermakna cobaan, di sisi lain bisa juga peringatan bagi keluarga Jhony. <br />Menurut mata batin sang Kyai, selama ini Jhony dan Vera tidak pernah mengeluarkan zakat mal dan bersedekah, padahal selama ini mereka menerima terus menerus rezeki dari Yang Maha Kuasa, Mereka telah ditutupi oleh penyakit hati yakni pelit untuk mengeluarkan sedekah dan zakat maal yang merupakan hak orang lain terutama anak-anak yatim, para janda tua dan kaum dhuhafa. Akibat dari semua itu maka datanglah peringatan bagi mereka. <br />Jhony membenarkan ucapan orang tua yang bijak itu. Namun yang terpenting, bagaimana caranya agar dia tidak diusir dari rumahnya karena tidak mampu lagi membayar cicilan ke bank akibat usahanya telah bangkrut. Orang tua itu berbisik pada Jhony, memberi solusi mencari uang secara pintas, "Bersediakan Nak Jhony menikah dengan jin?"<br />"Menikah dengan jin? Bagaimana mungkin?" tanya Jhony.<br />"Apa yang tidak mungkin itu akan menjadi mungkin kalau Allah menghendakinya," ujar sang Kyai. Menurutnya, persyaratannya tidak begitu susah. Pertama harus seizin isteri karena dia akan dimadu. Kedua, menyediakan kamar khusus untuk menyongsong kedatangan isteri jinnya yang akan datang pada waktu tertentu. <br />Sekaitan dengan syarat pertama, pada masa pengantin Jhony harus menemani isteri jinnya selama satu bulan penuh, mengingat masih dalam suasana pengantin baru. Setelah itu waktu menggilirnya diatur seminggu tiga kali. <br />Syarat ketiga dia tidak boleh main perempuan lain. Dalam artian, Jhony tidak boleh tidur, apalagi menikah dengan wanita lain.<br /> Atau kesepakatan dengan Verra, Jhony akhirnya bersedia mengawini makhluk yang berlainan alam itu.<br />***<br /><br />Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, ritual pun dimulai. Jhony sudah siap di kamar orang tua itu. Suasana di kamar agak lain, seperti ada hawa sejuk yang menyenangkan. <br />Setelah melakukan upacara ritual suasana begitu sangat syahdu, namun terasa berbalut mistik. Sepi namun sesekali terasa mencekam. Tak lama kemudian Jhony mendengar ada suara dari luar. <br />"Assalamu’alaikum!" suara itu begitu lembut.<br />Jhony tersentak. Orang tua itu berbisik, "Pengantin wanitanya sudah datang!" <br />Segera dia bangkit membukakan pintu. Tampak seorang gadis cantik berjilbab putih dengan gaun terusan warna hitam bergaris lembut. Melihat keanggunan dan kecantikan gadis itu, kerongkongan Jhony seperti tercekat. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Hingga kemudian gadis itu berkata, "Inikah calon suamiku, perkenalkan namaku Siti Zubaedah. Kau Jhony, kan?" <br />Setelah berkata demikian gadis itu duduk di sebelah Jhony. Singkat cerita, dengan disaksikan oleh orang tua itu terjadilah proses pernikahan dua makhluk ciptaan Tuhan yang berlainan alam.<br />Sungguh menakjubkan, setelah Jhony beristerikan Siti Zubaedah, kehidupannya teras mengalami peningkatan. "Aku diberikan uang sebagai modal untuk memulai usaha baru," cerita Jhony. <br />Menurutnya, isterinya yang bangsa jin itu memberi suntikan modal untuk membayar hutangnya di Bank, merehab tokonya yang telah terbakar, dan melanjutkan usaha tambaknya yang habis dijarah, bahkan membeli mobil baru. Semua itu atas bantuan Zubaedah, disamping fitrah Jhony sebagai manusia yang terus bekerja keras. <br />Di samping usaha tambak ikan, kini Jhony juga menekuni profesi barunya sebagai suplayer obat-obatan. Mungkin, hal ini dimungkinkan karena ada kekuatan gaib yang mendorongnya, hingga usaha apapun yang dijalankan olehnya selalu berhasil.<br />***<br /><br />Ketika Penulis bertamu ke rumahnya, Jhony bercerita penuh antusias tentang Zubaedah yang penduduk alam gaib itu. Atas keinginannya, dia akan mengundang Zubaedah dan memperkenalkannya denganku. Aku sempat mencegah dengan alasan takut melihat wajah dari makhluk yang berlainan alam itu. Namun Jhony tetap bersikeras untuk mengundangnya. Menurutnya, Zubaedah mempunyai kemampuan untuk mawujud layaknya seorang manusia.<br />"Karena kau memaksa, aku bersedia saja!" begitu akhirnya kata Penulis.<br />Tak lama, kami mendengar deru mobil memasuki halaman rumah. Seketika suasana di penghujung malam itu sudah merubah aura menjadi penuh dengan kegaiban.<br />Kijang kapsul warna putih metalik melewati kami yang sedang duduk di beranda muka, sementara mobil itu berhenti di palvilyun samping rumah. Segera Jhony menyongsong wanita yang turun dari dalam mobil itu. Sekilas pandangan Penulis menoleh dengan diiringi oleh bulu kuduk yang meremang. Jantungku berdetak kencang. Penulis segera paham dengan situasi itu. Memang wanita itu terlihat cantik dengan gaya modis berbusana muslim. <br />Jhony dan wanita yang mungkin adalah Siti Zubaedah itu terlihat masuk lewat pintu samping. Namun tak lama kemudian wanita itu keluar lagi meninggalkan tempat itu tanpa sempat bertemu muka denganku. Aku berdecak kagum atas penampilannya dalam permainan imajinasi sudut pandang. Mobil kijang yang tadi terlihat itu ternyata hanyalah seekor kuda putih, sementara sosok wanita itu tidak terlihat secara jelas karena kesannya terburu-buru.<br />Setelah kejadian yang hanya kurang dari satu menit itu, kembali Jhony menghampiriku dan mengatakan bahwa tadi itu adalah isteri mudanya. Aku hanya terpaku menyaksikan kejadian musykil itu. <br />"Sekarang kau mungkin percaya bahwa aku telah beristerikan wanita dari alam gaib," kata Jhony setelah sensasi aneh itu berlalu.<br />Penulis hanya angkat bahu. Apakah benar yang dikatakan Jhony? Penulis masih sulit untuk mempercayainya.<br />***<br /><br />Sekitar setengah bulan setelah pertemuan itu, tiba-tiba ada kabar melalui hendphone kalau Jhony sekarang dirawat di rumah sakit. Merasa khawatir atas kesehatannya, Penulis pun segera berangkat untuk menjenguk Jhony. Sesampainya di sana kulihat sahabatku itu terbaring lemah. Segera kuhampiri dan kudengar dia berbisik mengatakan bahwa isterinya marah karena Jhony telah mengundangnya secara mendadak dan terasa ada benturan pada dirinya begitu melihatku. Aku katakan bahwa hal itu tidak apa-apa. <br />"Makanya, aku bilang jangan kau lakukan itu. Kau sendiri yang memaksa kan?" ujar Penulis.<br />Jhony hanya tersenyum kecut.<br />Menurut analisis team medis Jhony terkena gejala thypus. Namun berdasarkan terawangan alam kesunyatan yang dilakukan Penulis, sahabatku itu terkena imbas negatif akibat benturan hawa energi antara Penulis dengan isterinya itu. Untuk membantuh penyembuhannya, Penulis segera mengirimkan energi ke tubuhnya untuk memulihkan kondisinya, setelah itu aku pamit pada Verra dengan berpesan segera memberi kabar bila terjadi apa-apa terhadap Jhony. <br />Selang tiga hari kemudian Vera, isteri sahabatku itu mengabarkan bahwa suaminya sudah kembali dari rumah sakit dengan kondisi agak baikan. Aku bersyukur mendengar kabar baik itu. Aku sempat menelepon Jhony dan mengatakan padanya agar dia mulai memikirkan masa depan hidupnya jangan terus beristerikan jin itu.<br />"Aku takut nantinya kau yang berada di bawah pengaruhnya, Jhon!" kataku.<br />Jhony memahami kekhawatiranku. "Aku berjanji akan mencari jalan keluar untuk berpisah dengannya," katanya dengan suara jernih. Ini artinya, Jhony sungguh-sungguh sudah baikan.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com152tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-73136124423239806662008-05-27T00:43:00.000-07:002008-05-27T01:03:31.192-07:00BERBURU MAWAR HITAM<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWN1hYGnMQMbVQOPr-To9-sLigB_INU2Vrk3QY9ZiWW38hUiP_695-Qt40gbOgyJqUnDxDFq6rKE4gXAoiffm9dLxLXKEjVDKtX4cKM63fIT9aIvXL4gNQE4_BPf7WD1mzN9jo-9vapGTG/s1600-h/Roisin_Dubh_by_chix0r.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWN1hYGnMQMbVQOPr-To9-sLigB_INU2Vrk3QY9ZiWW38hUiP_695-Qt40gbOgyJqUnDxDFq6rKE4gXAoiffm9dLxLXKEjVDKtX4cKM63fIT9aIvXL4gNQE4_BPf7WD1mzN9jo-9vapGTG/s320/Roisin_Dubh_by_chix0r.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5204965140295126770" /></a><br />Demi niat baik menolong seorang teman, aku nekad melakukan perburuan "mawar hitam" yang hanya ada di alam gaib. Nyawaku nyaris terenggut setelah mengalami rentetan kejadian aneh....<br /><br />Paranormal muda, itulah sebutan yang sering kuterima dari beberapa orang yang pernah kutolong "tanpa sengaja". Kusebut demikian, karena sesungguhnya aku bukanlah paranormal sungguhan yang memiliki ilmu-ilmu gaib. Aku hanyalah memahami ramuan-ramuan dari tumbuhan (Botani). <br />Hanya sedikit saja pengetahuan kebatinan yang kuketahui. Itupun kumiliki karena aku belajar sendiri lewat buku. Aku memang kutu buku, terutama tentang tumbuh-tumbuhan yang sering digunakan sebagai ramuan obat, dan aku sering berburu tumbuhan langka.<br />Dari ramuan-ramuan yang sering ku buat, telah banyak orang tertolong. Bukan sombong, aku memiliki nama di daerahku sebagai Tuan Tabib. Banyak orang yang menyarankan aku agar belajar dan berguru ilmu kebatinan untuk menunjang keahlianku sebagai peramu obat.<br /><span class="fullpost"><br />Tantangan itu hadir ketika aku berkenalan dengan Trisno Bayat, seorang pedagang valuta asing yang sering nongkrong di Pasar Baru, Jakarta. Kepadaku, lelaki separuh baya itu mengeluhkan sakit yang diderita istrinya yang di kampung halamannya. Isteri Trisno mengalami gangguan jiwa. <br />Konon, menurut beberapa paranormal, sakit istrinya akibat di guna-guna ketika istrinya masih di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Setelah penyakitnya kian parah, istrinya dibawa ke kampung halaman. Sedangkan Trisno sendiri tetap di Jakarta mencari nafkah dengan menjadi pedagang mata uang asing.<br />Menurut Trisno, dari sekian banyak paranormal, rata-rata mereka mengatakan bahwa sakit istrinya itu akibat guna-guna yang dilakukan seorang dukun dari Ujung Kulon. Konon, dukun ini amat sakti dan menyembah berhala. Didapat dari keterangan pula bahwa guna-guna itu akan luntur bila istrinya memakan bunga Mawar Hitam. Katanya, hanya itulah satu-satunya penawar. <br />Kepadaku, Pak Trisno meminta bantuan agar dicarikan bunga itu. Aku bingung, sebab aku sendiripun belum pernah melihatnya selain hanya mendengar namanya saja. Sebuah permintaan yang tak mungkin aku dapatkan. Sebab bunga itu konon hanya tumbuh di alam siluman. Tak sembarang orang dapat mengambilnya. <br />Tapi, aku jadi bersemangat ketika Pak Trisno menawarkan imbalan uang sepuluh juta rupiah bila mendapatkan bunga itu. Walau terus terang aku tak tahu bagaiman caranya, tapi sebagai petualang, sekaligus ingin mengetahui lebih jauh tentang mitos bunga itu, akhirnya dengan sedikit memberi harapan aku bilang akan berusaha mencarinya.<br />"Tolong, jangan berharap banyak dariku, sebab aku bukan dukun!" kataku sambil senyum.<br />"Aku percaya padamu, sebab aku yakin Tuhan memang telah mengutusmu untuk menyembuhkan isteriku," ujar Pak Trisno sambil menepuk bahuku yang bidang.<br />***<br /><br />Aku akhirnya pulang kampung menemui Mbah Gribig, seorang dukun kejawen yang sudah cukup tua. Setelah mengutarakan maksud, dengan sedikit berkelekar Mbah Gribig mengatakan bahwa bunga itu hanya ada dalam dongeng saja. Tapi aku terus mendesaknya hingga aku disarankan untuk lelaku mencari petunjuk.<br />Tanpa buang waktu aku sanggupi saran itu. Dengan bimbingannya aku mulai melakukan ritual yang cukup berat dan menakutkan. Dalam ritual itu, ketika aku bersemedi, di Alam Bawah Sadar aku melihat alam aneh yang di sekelilingnya berseliweran makhluk-makhluk seram dan menakutkan. Mereka seolah ingin melumatku.<br />Godaan itu datang semakin berat. Hingga malam ketiga, aku melihat sebuah kolam air yang ditengahnya banyak perempuan-perempuan sedang mandi. Mereka sangat cantik, mirip bidadari. Di tepi kolam itu, di atas bebatuan sempat kulihat pula beberapa orang menatapku dengan wajah dan gerakan tubuh menggoda birahiku.<br />Suasana tempat itu sangat sejuk dan indah, seperti di sebuah keputren kerajaan jaman dulu. Tapi pemandangan itu tak berlangsung lama. Ketika terdengar kokok ayam, para bidadari itu seperti terkejut lalu saling berebutan untuk keluar dari kolam.<br />Konsentrasiku buyar pula akhirnya. Tiba-tiba aku dapati diriku tersadar dengan (maaf) terbangunnya alat vitalku. Aku tak tahu mengapa begitu, mungkin karena melihat gadis-gadis sedang bugil di kolam itu.<br />Hal itu kuutarakan kepada Mbah Gribig. Aku juga bilang tak menemukan petunjuk tentang mawar hitam. Tapi jawaban yang kuperoleh sangat mengejutkan. Mbah Gribig bilang, gadis-gadis itulah mawar hitam. Aku terkejut bukan main, bahkan aku tak percaya.<br />"Dalam dunia gaib, mata batinmu belum mampu melihat hal sesungguhnya, tapi bisa pula itulah sesungguhnya. Sebab dengan nalar saja itu tak akan berarti disana. Itulah dunia gaib," katanya menakinkan diriku.<br />Tapi aku tetap kekeh untuk mendapatkan bunga itu, entah berujud singa sekalipun, kataku. Dengan geleng-geleng kepala Mbah Gribig akhirnya berjanji akan membantuku mendapatkan bunga itu. Tapi dia juga bilang belum tentu sanggup, sebab taruhannya adalah nyawa.<br />***<br /><br />Malam Selasa Wage, kami berdua kembali melakukan semedi. Cukup lama kami mengosongkan hati dan pikiran. Kata Mbah Gribig, aku akan diajak meraga sukma, dan salah sedikit saja akan sanga fatal akibatnya. <br />Singkat kata, ketika aku bisa mengosongkan pikiran, aku melihat setitik cahaya redup yang lambat laun membesar berwarna-warni. Aku berputar-putar hampir tak kuat karena pusing. <br />Waktu awal semedi kedua tanganku saling berpegangan dengan Mbah Gribig, tapi kini aku seolah seorang diri berputar-putar seperti kitiran. Aku melayang-layang seperti kapas, sedang di belakangku nampak makhluk-makhluk ganjil mengejar-ngerjarku dengan penuh amarah, seolah ingin menangkapku. <br />Aku merasa sedikit tenang ketika Mbah Gribig berada di belakangku dan mencekal kakiku serta menariknya ke sebuah cekungan tanah. Kami bersembunyi. Ketika susana aman kami kembali melayang seperti terbang melawati gurun pasir sangat panas. <br />Kami terus terbang, hingga tiba di sebuah gapura besar seperti pintu gerbang sebuah kerajaan. Kami menyelinap masuk dengan penuh waspada menghindari para penjaga yang berada di setiap penjuru dengan senjata terhunus. <br />Melihat para penjaga itu aku jadi teringat sinetron Mak Lampir. Mungkin ini kerajaan jaman dulu, pikirku. Kami berhasil masuk ke keputren dan melihat kembali gadis-gadis bugil itu. <br />"Kau harus bisa menculik salah satu gadis itu dan mengikatnya dengan tambang pendek yang aku bawa!" bisik Mbah Gribig. <br />Akhirnya, kami mengincar salah seorang gadis yang sedang sendiri. Dia agak jauh dari temannya dan sedang menyisir rambutnya yang panjang. Di suatu kesempatan, dengan nekad aku tangkap gadis itu dari belakang dan mengikatnya. Namun sebelum terlaksana, gadis itu sempat menoleh dan mengetahui keberadaanku. Gadis itu menjerit ketakutan hingga membuat gaduh keputren. Kami berdua jadi panik dan gadis itupun berlari menuju sebuah pintu kecil untuk menyelamatkan diri.<br />Banyak prajurit berdatangan dan terdengar terompet. Mbah Gribig pun panik. Apalagi aku. Di saat suasana mencekam, Mbah Gribig mengeluarkan cermin kecil dan keris. Saat itu kami sudah terkepung dan pasrah. Tapi tiba-tiba Mbah Gribig menancapkan keris itu ke tanah dan melemparkan cermin ke arah para prajurit bersenjata. Terdengar ledakan keras. Tanah tempat keris itu menancap seperti berputar menyedot kami bedua ke dalamnya. <br />Saat aku tersedot ke tanah berputar, tanganku sempat terlepas dari pegangan Mbah Gribig. Aku melihat sekelebatan cahaya menuju arahku yang ternyata ayunan pedang hingga menyerempet tanganku. Untung hanya tergores, tapi lukanya cukup perih. <br />Entah apa yang diperbuat Mbah Gribig, ketika tanganku terpegang kembali olehnya, tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Aku tersadar penuh peluh dan nafas tersengal serta sakit di seluruh badan dan perih. Mbah Gribig lebih parah lagi. Ia kelojotan dan muntah darah. Akhirnya ia mampu duduk dan menenangkan diri.<br />Aku baru sadar, tak mudah mendapatkan bunga itu yang sesungguhnya bukan sekuntum bunga tapi sesosok siluman. Masih untung kami tak tertangkap para prajurit. Menurut Mbah Gribig, bila aku dapat menangkap gadis itu, dan membawanya ke alam dunia, akan terlihat seperti bunga mawar tapi berwarna hitam. Aku tambah terkejut, ternyata bukan sekali ini Mbah Gribig melakukannya, tapi sudah sering kali.<br />"Sayangnya tak pernah berhasil!" kilahnya dengan wajah tegang.<br />Mbah Gribig mengaku telah lama pula mencari bunga mawar hitam. "Sudah beberapa kali aku mencobanya, tapi tak pernah berhasil. Aku berharap kau bisa membantuku, tapi ternyata malah nyawaku terancam!" katanya. <br />Aku kini jadi berpikir negatif pada Mbah Gribig, jangan-jangan ia memanfaatkanku. <br />"Jangan berpikir macam-macam, bunga itu banyak manfaatnya, juga untuk mengobati istri Pak Trisno itu," katanya lagi seolah tahu kecurigaanku.<br />Luka pedang di tanganku pun tak nampak seperti tak pernah apa-apa. Tapi entah, aku masih merasakan perih apalagi bila terkena sinar matahari. Dan atas saran Mbah Gribig, lukaku akan sembuh sendiri bila lewat seratus hari dengan catatan harus rajin mengolesi minyak yang diberikan Mbah Gribig tiap tengah hari.<br />Pengalaman yang tak terlupakan. Walau nyawaku hampir terancam tapi aku tak puas berhenti sampai disini. Kini aku tambah mengerti, ternyata alam gaib tak seremeh yang aku bayangkan.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-73974096961018179262008-03-29T03:55:00.000-07:002008-03-29T03:58:20.577-07:00DESTI, SANTET KHAS BALI<span style="font-weight:bold;">Di Bali tak hanya ada Leak. Ada juga yang namanya Desti, semacam santet yang menumbalkan roh korbannya kepada Btari Durga....<span style="font-style:italic;"></span></span><br /><br />Selama ini kita hanya akrab dengan santet buatan dukun di Jawa, Bahkan sebelum Soeharto lengser kita dikagetkan dengan terbunuhnya ratusan dukun santet di Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan hampir di seluruh Jawa.<br />Santet, teluh, tenung atau apapun namanya disebarkan oleh dukun dengan maksud melampiaskan sakit hati pelanggan yang memintanya. Santet Jawa konon dibuat dengan mendatangi kuburan saat malam Jumat Kliwon, kemudian sang dukun dengan menggunakan telur akan mengirimkan kekuatan kepada para korbannya.<br /><span class="fullpost"><br />“Makanya kami menyebutkannya sebagai kekuatan teluh, karena bahan baku utamanya memang telur,” tutur Tasrip, dukun santet yang berpraktek di Semawang, Sanur.<br />Di Bali, menurut Tasrip yang telah 15 tahun berpraktek membantu korban santet juga ada kekuatan serupa itu. Tapi namanya bukan santet, melainkan Desti. Kekuatan Desti bahkan lebih dahsyat, karena bila santet bisa dipulihkan dalam waktu seminggu, Desti bisa bersemayam di tubuh korban seumur hidup.<br />Seperti yang dialami Putu Ana,18 tahun, yang sejak berusia setahun terserang Desti, bahkan yang terkena bukan dia sendiri. Tapi juga seluruh keluarganya. <br />Seperti dituturkan oleh Nyoman Suparta, 50 tahun, ayah Putu Ana. "Saat anak saya berusia setahun, dia tiba-tiba panas, ini setelah kakak lelakinya meninggal mendadak juga karena serangan Desti itu," Suparta mengawali kisahnya.<br />Anak lelakinya sempat sakit seminggu, dibawa ke dokter kemudian sembuh, tapi saat kumat tanpa jelas penyebabnya langsung mati mendadak. Mungkin karena Putu Ana memang dekat dengan sang kakak dia juga kena pengaruh Desti.<br />"Yang pasti, sejak itu anak saya menunjukkan gejala, kakinya lumpuh, bicaranya cadel dan tak bisa mengingat apapun," tambah Suparta. <br />Telah lebih dari 100 dukun yang didatanginya, lebih dari 100 tempat dikunjungi untuk memohon kesembuhan, tapi sampai saat Putu Ana yang semestinya duduk di bangku SMA itu sikapnya masih mirip seperti bocah umur tiga tahun. Menurut dokter yang memeriksanya Ana ditengarai mengidap sakit kelainan gen, karena orang tuanya ada hubungan darah.<br />"Tapi menurut seluruh dukun yang saya datangi, anak saya dibilang terkena Desti, arwahnya konon telah dipersembahkan pada Btari Durga untuk menambah kesaktian orang yang bermaksud jahat itu,” papar dia.<br />Tasrip menduga Putu Ana terkena Desti, yang pelakunya iri dan sangat benci pada keberhasilan keluarga petani sayur ini. Picu persoalannya adalah ketika Suparta memutuskan kawin lagi karena istri pertamanya tidak setia. Ketika itulah ada orang yang membantu si pemasang Desti untuk melampiaskan sakit hatinya.<br />"Yang pasti dia bukan isteri pertama saya, karena setalah dibawa ke dukun sakti dia diteropong luar dalam dan tak ada kekuatan Desti pada tubuhnya. Jadi ada kekuatan lain yang bukan dari isteri saya yang memasang Desti itu," tegas Suparta.<br />Yang pasti, sejak usia 2 tahun selain menunjukkan kelumpuhannya, Putu Ana juga menjadi lamban cara berpikirnya. Saat berusia 5 tahun, bahkan tubuhnya melonjak dratis, sehingga dia tak bisa berjalan. "Padahal makannya biasa saja hanya tiga kali sehari, menurut bidan puskesmas, itu karena jarang olah raga, tapi menurut dukun memang bawaan Desti yang menyerangnya," tambah Suparta lagi.<br />Desti muncul karena permintaan sang pemohon di kuburan tapi tidak menggunakan telur seperti di Jawa. "Dukun yang mempraktekkan Desti cukup membawa sesajen lengkap, kemudian memohon agar penguasa kuburan melakukan ini dan itu seperti permintaan klien sang dukun, maka dalam hitungan hari si korban akan menunjukkan gejala mati raga, lumpuh, cadel, lamban berpikirnya, bahkan kadangkala bila Destinya kuat si korban bisa mati mendadak," ungkap Tasrip.<br />Konon, sampai sekarang belum ada cara penyembuhannya. Ini karena dukun yang memasang Desti biasanya amat sukar dilacak. “Karena biasanya seperti yang saya alami ada sekitar 8 orang yang saya curigai, mana yang mesti kita mintai pertanggungjawabannya, salah-salah melahan dia balik menyeret saya dari sisi hukum karena dituduh memfitnah,” papar Suparta.<br />Maka upayanya dalam penyembuhan Putu Ana terbilang lamban, apalagi dari hasilnya sebagai petani sayur dia tak bisa datang setiap saat ke dukun pemusnah Desti. <br />Sehari-harinya Ana hanya bisa tergolek lesu di ranjang yang khusus dibuatkan keluarganya. Untuk mandi atau ganti pakaian harus dibantu oleh kakaknya yang bernama Ayu. Tapi saat rumahnya kosong dia kadangkala masih bisa bersijingkat pelahan seperti melata masuk dapur atau ke kamar mandi.<br />"Pernah karena rumah kosong ditinggal penghuni dia nekat pergi ke warung dan hampir diserempet sedan yang melintas, dan dia hanya ketawa-tawa saat dimarahi. Dia memang tak sadar akan dirinya," papar Ayu yang bekerja sebagai clening service di pasar swalayan.<br />Sejak kejadian itu Ana selalu dikurang dalam kamar, selain menghindari bahaya dia keluyuran juga menghindarkan agar dia tak terserang Desti untuk kedua kalinya. <br />"Sang pemasang Desti konon menginginkan agar dia mati, karena arwahnya dipersembahkan untuk mencari kesaktian," tutur Suparti lagi. <br />Dalam ilmu pe-Desti-an, persembahan arwah seperti itu memang diperlukan agar kenaikan tingkat sang pengikut Desti bisa berjalan dengan mulus.<br />Yang dikorbankan umumnya adalah orang-orang yang dibenci atau yang membuat sang Desti iri, seperti halnya Putu Ana tadi. Setelah keadaan keluarganya morat-marit, kekayaannya ludes untuk berobat, rumahnya selama hampir 10 tahun ini terbengkalai tak bisa dirombak dan direnovasi, konon ada kalangan tertentu yang datang mengulurkan tangan untuk membantunya.<br />"Saya curiga jangan-jangan dialah yang menyakiti anak saya, karena sebelumnya dia tak pernah sebaik itu, jadi bantuannya saya tolak. Takutnya setelah bantuannya itu diterima arwah anak sayalah yang kemudian jadi korban ketamakan sang Desti," ujar Suparta penuh curiga.<br />Mereka sekeluarga akhirnya pasrah, perkembangan Putu Ana yang semakin hari semakin gemuk sehingga sulit berjalan walau untuk turun ke halaman, dianggapnya sebagai semacam kutukan.<br />Terakhir usahanya adalah dengan mendatangi beberapa tempat di Bali, Jawa, dan Lombok untuk mengurangi penderitaan Putu Ana. "Belum ketahuan juga hasilnya karena semua dukun di ketiga tempat itu baik Bali, Jawa, maupun Lombok sepertinya angkat tangan, mereka mengaku Desti yang menyerang anak saya sudah menyusup sampai ke sumsum susah diobati," ujarnya sedih.<br />Santet seperti yang menerpa Putu Ana termasuk yang kelas super. Ini menurut penuturan Jro Tapakan Suci, 60 tahun, dukun di Desa Sibang, Bali. Dia baru pertama kali itu ketemu korban yang lumpuh, lambat berpikir, dan bicaranya cadel. <br />"Biasanya hanya berakibat si korban linglung, dengan pijatan di batang leher biasnya sembuh dalam sebulan," tambahnya.<br />Dalam upaya mengobati Putu Ana, ia melakukannya dengan membuatkan tebusan di kuburan kampung Putu Ana, Namun juga tak membuahkan hasil. Juga memberikannya jampi-jampi berupa air suci yang diperoleh di Lumajang, Tengger, sampai ke Tirta Nadhi di Lombok masih belum menunjuk hasil.<br />"Hanya kerakusannya dalam hal makan yang bisa saya atasi. Dulu makannya bisa 5 kali sehari, sekarang sudah seperti orang normal 3 kali sehari," tutur Jro Tapakan Suci lagi.<br />Langkah paling akhir yang bakal dia lakukan adalah menjauhkannya dari lingkungan yang selama ini dicurigai mengirim Desti itu. "Mungkin dia harus disembunyikan selama setahun di tempat yang tidak diketahui oleh orang yang menyakitinya, sehingga kekuatan buruk Desti tak bisa menjangkaunya. Tapi itupun belum bisa dipastikan, apakah bisa membuat Putu Ana bakal bisa normal kembali," ujarnya.<br />Yang pasti, di kala teman seumurnya sudah bersekolah di SMA dan saling kirim surat cinta monyet, Putu Ana masih tergolek dan sering berjalan tertatih tatih walau hanya untuk urusan segelas air.<br />Kalimat yang diketahuinya pun seputar piring, ikan, telur, dan sumur. Namanya sendiri kadang dia lupakan. <br />"Bagitulah hebatnya Desti yang menyerang dia, membuat dia jadi ideot, berkembang lamban dan penderitaannya sungguh-sungguh mengenaskan,” ujar Jro Tapakan Suci penuh antusiasme.<br />Benarkah Putu Ana menjadi korban Desti, santet khas Bali? Mungkin perlu penyelidikan lebih lanjut.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3351790526610959141.post-31457546943155492792008-03-29T03:47:00.000-07:002008-03-29T03:52:21.191-07:00BERGAUL DENGAN PELACUR CANTIK YANG SUDAH LAMA MENINGGAL<span style="font-weight:bold;">Dipecat dari pekerjaan sebagai General Manager Marine View di Jackson Island, Frank Lampard, 41 tahun, membuka usaha Sex Shop di Kingcross, Sydney, Australia. Modal usaha toko kelontong yang menjual pernik kenikmatan ranjang dan alat-alat imitasi seksual itu dijalaninya dengan serius. Hasilnya cukup menggembirakan. Perharinya, Frank bisa memasukan uang sebesar 30 ribu dollar Australia dengan rasio keuntungan 25 persen.<span style="font-style:italic;"></span></span><br /><br />Yang jadi masalah besar bagi Frank, hanya sewa tempat yang cukup tinggi, berikut pajak usaha dan pajak-pajak lain seperti restrebusi parkir dan juga PPN yang cukup besar. Tapi pria bujang tua itu tetap saja melenggang dengan usahanya, walau margin keuntungan begitu tipis setelah menghitung pajak ini dan itu yang memberatkan.<br />Pada suatu malam, sekitar 19.45. waktu Sydney, datang seorang gadis cantik memakai blus merah dengan sal putih di lehernya. Gadis berambut hitam gelap itu berwajah Puerto Rico, suatu negara kecil di Amerika Selatan. Dengan wajah sumringah, gadis yang mengaku PSK di Bondi Beach itu memesan Electric Pomp merk Masculine Talk untuk kenikmatan sebelum tidur. Semacam vibrator karet perangsang kenikmatan seks.<br /><span class="fullpost"><br />"Aku selalu menggunakan alat itu sebelum melayani tamu. Oleh karena itulah aku bertahan selama 10 tahun sebagai pekerja seks komersial, PSK!" desis gadis itu, sambil memainkan kunci sedan Porche warna biru laut yang terparkir di toko Frank.<br />Walau mencuat perasaan ingin tahu menggantung di batin Frank, tapi laki-laki asal Derby County Inggris Utara itu berdiam diri saja. Batinnya, bagaimana seorang pelacur seperti itu menggunakan alat agar dia juga merasa puas dalam melayani tamu. Tapi walau Fank tidak bertanya, gadis umur 35 tahunan mengaku bernama Lila Caparita itu bercerita dengan sendirinya.<br />"Tidak adil dong kalau saya hanya memuaskan pelanggan sementara saya menderita. Walau saya dibayar saat melakukan hubungan seks, saya pun harus menikmati hubungan intim itu secara total," desis wanita berkulit agak coklat dan cantik itu.<br />Frank terus mencari barang yang sedang dicari gadis itu. Tapi sampai 20 menit benda itu tidak ditemukan. Namun Frank yakin bahwa benda yang dicarinya masih ada satu, pekan lalu terjual empat unit.<br />"Aku yakin barang yang anda cari ada, tapi aneh, kemarin saya masih lihat di sini adanya, tapi sekarang kok tidak ada lagi ya?" tanya Frank, tidak menuntut jawaban.<br />Mendengar Frank mengoceh sendiri, Lila Carparita menggoyang-goyangkan kepalanya. Sementara kunci Porche terjatuh ke lantai dan dia memungutnya. Tapi kunci itu ternyata masuk ke bawah kolong rak VCD dan LD yang terpajang di bagian depan. Lila minta bantuan Frank mencari kunci Porche itu. Karena mempertimbangkan pelayanan pelanggan, Frank berbaik hati mencari kunci bergantungan simbol lovers itu.<br />"Oh, terima kasih Anda membantu mencari kunci saya yang terjatuh!" ungkap Lila, berbasa-basi.<br />"Ah, tidak apa-apa, don't mention it!" tekannya.<br />Anehnya, kunci itu ternyata tidak ditemukan. Di kolong rak, di kolong meja kasir dan kolong safety box pun, tidak ada. <br />"Kemana kunci Anda itu?" tanya Frank.<br />Perempuan ayu kemayu itu menggeleng, kemudian mengembangkan kedua tangannya pertanda tidak mengerti. <br />"Oh, misterius! Tempat ini tempat misterius!" celetuknya.<br />Pencarian kunci itu berlangsung lama. Untung malam itu tidak ada pembeli lain yang masuk. Frank Lampard berdua saja dengan Lila dan mereka terus mencari kunci kontak itu ke tiap pojok. Makin jauh pencarian, makin tidak ada setitik pun tanda-tanda kunci itu akan ditemukan.<br />"Gila, benar-benar gila, kemana kunci itu?" batin Frank.<br />Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 21.00 malam. Jam itu adalah jam toko Frank harus tutup. Sementara kunci mobil itu belum ditemukan juga.<br />"Bagaimana kalau Anda telepon ke rumah dan minta dikirim kunci duplikat mobil itu?" usul Frank. <br />"Oh, maaf Tuan, kunci duplikat yang Anda maksud, saya tidak mempunyai. Duplikat kunci mobil itu adalah yang hilang ini, sementara yang aslinya sudah lama hilang!" jawab Lila.<br />"Jadi bagaimana caranya, kunci yang jatuh itu tidak ditemukan sama sekali di sini. Atau bagaimana kalau saya telepon montir dan dashboard dibuka, kabel kontak disambungkan dari dalam. Biasanya hal itu dapat dilakukan bila kunci hilang dan keadaan darurat. Bagaimana, saya telepon montir panggilan di nomor 3344 sekarang?" desak Frank.<br />"Anda mengusulkan cara itu karena Anda mau buru-buru menutup toko ini kan?" tanya Lila.<br />"Jujurnya iya, Nona. Jam sudah menunjukkan angka 9.15 malam, toko ini malah biasa saya tutup pukul sembilan. Jadi, maaf Nona, saya harus menutup toko ini!" kata Frank.<br />"Ya, ya, saya emang mengganggu Anda, ya, saya telah merepotkan Anda karena kunci itu. Tapi mana Electric Pomp yag saya pesan tadi?" tanya Lila. <br />Frank baru ingat, perempuan itu mau beli suatu barang, tapi sebelum barang itu ditemukan, barang yang lain, yaitu kunci Porche hilang. Maka itu, selama beberapa jam, perhatian berubah dari Electric Pomp ke kunci kontak yang raib.<br />Barang yang dipesan ternyata ditemukan. Adanya di rak pojok kanan ujung tertutup dibalik korset karet. Benda itu segera diberikan Frank kepada Lila, dan Lila mengamati benda itu. <br />"Oh, bagus, ini original dan inilah yang biasa saya gunakan!" celetuknya. <br />"Oke, oke, saya ambil barang ini. Oh ya, berapa harganya? Saya kok tidak melihat lebel harga di produk ini!" pancing Lila. <br />Frank kembali memegang benda itu dan mencari lebel harga komputer yang biasa tertera di sisi kanan bungkus plastik bening.<br />"Oh, maaf Nona, lebelnya terhapus karena kaver barang ini pernah terkena bensin. Harganya 700 dollar. Ya hanya 700 dollar!" sungut Frank.<br />Lila mengeluarkan dompet di dalam tas gantungnya. Setelah menghitung-hitung uang dalam dompet, Lila pun memberikan tujuh lembar pecahan seratus dollar kepada Frank. Lila memasukkan benda itu ke dalam tasnya lalu pamit pergi meninggalkan Frank.<br />"Terima kasih tuan, maaf saya telah merepotkan Anda malam ini!" sorong Lila.<br />"Tapi bagaimana cara Anda menjalankan mobil Anda itu?" tanya Frank serius.<br />"Tenang tuan, saya bisa membuka pintu dan menghidupkan mesin mobil itu dengan satu telunjuk kiri!" katanya, cuek, sambil berlalu.<br />Ekor mata Frank terus membuntuti punggung gadis itu. Dengan langkah pasti dia mendekati Porche dan mengacungkan telunjuk kirinya ke arah pintu. Benar saja, pintu secara otomatis terbuka dan Lila masuk ke dalamnya. Di belakang setir, telunjuk itu kembali diacungkan, tapi kali ini mengarah ke decker kunci kontak. Ajaib, mobil langsung menderu dan mesinnya kontan hidup.<br />"Perempuan itu memang hebat. Dia bukan saja pelacur, tapi juga ahli sulap profesional. Dia pastilah bukan WTS biasa!" pikir Frank.<br />Sebelum hanyut memikirkan wanita aneh itu, Frank buru-buru menutup kasir dan melipat rak-rak lipat ke ruang pojok. Hal itu setiap hari dilakukan Frank saat menutup tokonya. Lalu besok pagi pukul 09.00 pagi, dia kembali membuka rak itu dan memperhatikan produk-produk yang dijualnya.<br />Setelah merapikan ruang dalam, Frank menarik pintu rolling door dan menggemboknya. Sebelum meninggalkan toko dan keluar dari pintu darurat, tiba-tiba sebuah benda berdenting jatuh menimpa kaca. Kretek! Bunyinya. Kaca pajangan pun menjadi pecah.<br />"Oh Tuhan, suara apa yang jatuh itu?" pikir Frank.<br />Penasaran mendengar suara benda jatuh, Frank kembali masuk ke dalam dan menyalakan lampu. Frank terkejut bukan kepalang, ternyata benda yang jatuh itu adalah kunci mobil Porche bersimbol lovers.<br />"Astaga, itu kunci mobil perempuan Puerto Rico tadi!" batin Frank.<br />Dengan sigap Frank memungut kunci itu dan mengamatinya. Di balik gambar lovers tertera nama dan alamat jelas gadis pekerja seks komersial itu. Lila Carparita, Elm Palm Street 33 D Hamhsring Long, Nort Sydney. Frank mengantongi kunci itu dan pagi-pagi akan mencari alamat gadis itu dan memberikan kunci yang hilang itu.<br />"Tapi ajaib!" pikir Frank, kunci itu kok jatuh dari atas sementara hilangnya ke bawah. <br />"Aneh, aneh, apa yang terjadi dengan kunci ini?" pikir Frank, bertanya-tanya dalam batin.<br />Frank penasaran. Dia mau mengantarkan kunci itu karena pingin tahu siapa sebenarnya gadis misterius itu. Lila itu siapa, pesulap profesional atau dia seorang yang benar-benar pelacur. Besok paginya, Selasa 16 Juli 1999, Frank ke alamat yang tertera di kunci itu. <br />Pukul 07.15, Frank sudah sampai dialamat itu, kawasan Hamhsring Long, Elm Palm nomor 33 D, North Sydnye. Frank mengetuk pintu sebuah rumah sederhana dengan taman bunga yang mulai kering.<br />"Good morning, Madamme, betulkah ini rumah Lila Caparita? Saya dari Blackboard Shop Kingcross, mau mengantarkan kunci kontak mobil Porche Lila yang hilang di toko saya tadi malam!" ungkap Frank Lampard, pada seorang wanita tua umur 70-an yang membukakan pintu.<br />"Hah? Anda tidak salah lihat tuh! Tapi......ya....bagaimana kalau Anda masuk dulu barang sebentar, kita bicara di dalam!" kata wanita itu sambil menerima kunci kontak Porche yang diberikan Frank kepadanya.<br />Begitu duduk, wanita itu memperkenalkan dirinya bernama Joanna Caparita. Dia datang sebagai imigran asal Puerto Rico dan mukim di Sydney sebagai warga negara Australia baru. Lila Caparita adalah anak kandungnya yang meninggal tanggal 16 Juli 1998 lalu akibat suatu pembunuhan di pinggir laut Bondxi Beach pukul 19.30 malam.<br />Hingga sekarang pembunuh Lila itu masih misterius dan jadi durk number kepolisian negara bagian New South Wales, NSW. Wanita tua itu menunjukkan foto Lila dan Frank mengenali betul wajah gambar itu. Sebab foto itu adalah persis dengan wajah Lila yang dilihatnya tadi malam.<br />Joanna yang berjalan lamban itu membimbing Frank ke garasi samping dan membuka pintu garasi itu. Mobil Porche warna biru laut ada terparkir di dalam garasi. Mobil itu nampak berdebu karena sudah beberapa lama tidak digunakan.<br />"Porche ini adalah kendaraan pribadi Lila dan sudah satu tahun tidak keluar dari garasi ini. Mobil ini seharusnya dijual, tapi karena barang bermotor ini kesukaan Lila, untuk menghormati jasad dan rohnya, saya tidak akan menjual mobil ini, walau harga berapapun!" cetus Joanna, terbata-bata.<br />"Tapi mobil ini tadi malam terparkir di depan toko saya dan Lila membawa mobil ini ke sana. Lila berbaju blues warna merah dan sal berwarna putih di leher serta tas gantung warna hitam merk Lois Vitton. Saya melihat semuanya secara persis!" kata Frank, bingung.<br />Joanna membuka laci dashboard dan mengeluarkan sebuah foto yang tersimpan rapi di dalam sebuah amplop disitu. Foto itu adalah foto terakhir Lila dengan gaun warna merah dan sal berwarna putih di lehernya. <br />"Ya, kostum dan sal inilah yang digunakannya tadi malam!" sungut Frank, antusias.<br />""Ya, ya, saya percaya Anda melihat dan bertemu dengan Lila anak saya tadi malam. Tapi Lila sudah mati satu tahun yang lalu. Persis satu tahun tanggal 16 Juli hari ini. Lihatlah kliping koran Sydney Post, Sydney Tribune dan Australian Time yang saya simpan di dalam!" ajak Joanna.<br />Frank melihat dengan pasti kasus kematian Lila dan sosok mayat yagn tergolek di tepi laut Bondi Beach. Judul koran-koran itu benar-benar mengerikan. Frank tergetar dibuatnya, karena yang datang ke tokonya tadi malam ternyata roh yang maujud. Roh yang membeli barang Electric Pomp dan memberinya 700 dollar. <br />Judul koran itu : PELACUR IMIGRAN PUERTO RICO MATI DIBANTAI DI BONDI BEACH. Yang lain judulnya lebih seran : CABO CANTIK MATI BERSIMBA DARAH DI TEPI PANTAI!" Dan lain-lain.<br />Setelah menyalami Joanna dan ikut berkabung atas kematian anaknya, Frank kembali ke toko. Dalam perjalanan pikirannya berkecamuk hebat. Antara mimpi dan nyata, tapi malam Frank telah menemukan pengalaman baru yang penuh keanehan. Yaitu, melayani pembeli cantik yang meminta Electric Pomp dan memberinya 700 dollar utuh.<br />Uang itu telah tersimpan dalam laci kasir dan benar-benar uang asli. Dan yang menggetarkan batinnya hingga sekarang, pembeli jelita itu ternyata sudah mati satu tahun yang lalu. Tapi buat apa roh gadis itu membeli Electric Pomp dan meninggalkan kunci simbol lovers itu di tokonya? <br />Hal itu tetap menjadi pertanyaan Frank hingga sekarang, pertanyaan demi pertanyaan yang menggantung dan tak bisa terjawabkan sampai kapanpun. Sampai Frank menjadi mayat sebagai mana Lila, gadis Puerto Rico yang malang itu.<br />Yang lebih membuat Frank merasa aneh, uang 700 dollar pembayaran Lila ternyata berubah menjadi 700 ribu dollar dan uang itu memenuhi kotak uang di meja kasirnya. Diatas tumpukan uang, terlihat selembar surat. <br />Isi surat itu berbunyi, "Tuan Frank Lampard yang baik. Uang 700 dollar sudah dirubah menjadi 700 ribu dollar secara sah. Ini uang asli dan sudah menjadi hakmu. Tolong berikan 40 persen dari nilai ini untuk mama saya yang kau temui tadi pagi di Hamhsring. Dari Lila Cariparita. Orang miskin pinggiran pantai yang teraniaya oleh keadaan." Tulis Lila.<br />Setelah memberikan 40 % uang itu kepada Joanna, Frank menutup tokonya dan kembali ke Inggris Utara. Hingga sekarang, Frank tidak pernah balik lagi ke Australia dan mengubur hidup-hidup kenangan mistis yang menggetarkan jiwanya itu. <br />Bulan lalu, Frank jalan-jalan ke Yogyakarta dan bertemu Penulis di sana. Frank menceritakan kejadian itu dan memberitahukan bahwa dia tetap bujangan hingga sekarang. <br />"Kenangan itu begitu indah sekaligus menakutkan di setiap tanggal 16 Juli setiap tahun. Sebab hingga 16 Juli 2003 lalu itu, roh Lila terus maujud dan menemuiku di manapun aku berada," tukas Frank.<br /></span>Kisah-kisah Mistishttp://www.blogger.com/profile/17850324983113281332noreply@blogger.com5